ThorCon bukanlah nama yang asing bagi sektor nuklir Indonesia tapi banyak yang belum paham bahwa ThorCon bukan hanya sekedar akan membangun PLTN Thorium dengan investasi 100% swasta tanpa APBNyang dapat menghasilkan listrik murah dengan harga jual di bawah $7 sen/kwh tetapi akan juga membangun sebuah industri nuklir nasional dengan kapasitas 20 unit PLTN atau setara dengan kapasitas 10,000 MW per tahun serta menciptakan lapangan kerja untuk 10,000 orang serta supply chain lokal.
Itulah komitmen yang di sampaikan oleh David Devanney, CEO ThorCon International kepada Wamen ESDM, Ketua KEIN beserta anggota KEIN lainya dan Ketua DPD RI, Oesman Sapta dalam kunjungannya ke Indonesia pada akhir Mei 2018.
Pra-syarat pertama, PLTN di bangun dengan skema IPP tanpa APBN. Kedua, Â harga jual listrik IPP harus di bawah $7 sen/ kwh. Pra-syarat ini sebenarnya sesuatu yang dapat di pahami karena harapannya PLTN dapat menekan tarif listrik Indonesia yang tergolong mahal (baca: tidak terjangkau) dengan menekan BPP Nasional yang terus naik sehingga mendongkrak inflasi dan pada akhirnya menurunkan daya beli masyarakat.Â
Pra-syarat tersebut Jelas tidak mungkin di capai oleh semua PLTN konvensional yang beroperasi saat ini. Tetapi bagi ThorCon yang menggunakan reaktor jenis garam cair, Molten Salt Reactor bukanlah masalah, bahkan sudah di sampaikan secara tertulis dan lisan kepada ESDM dan KEIN.
Pra-syarat lainya yang juga akan menjadi beban bagi PLTN konvensional adalah yang di tetapkan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir, BAPETEN untuk meningkatkan jaminan keselamatan, yaitu meningkatkan batas waktu reaktor harus dapat bertahan secara pasif tanpa bantuan catu daya, yang di sebut grace period, Â dari awalnya 2 hari menjadi 7 hari, mengikuti jejak Jepang paska Fukushima --Bagi PLTN konvensional berpendingin air hal ini mustahil di capai tanpa mengorbankan keekonomisan, tetapi bukan masalah bagi desain ThorCon yang dapat bertahan sampai 300 hari.
Desain ThorCon telah di review oleh IAEA dan masuk dalam daftar ARIS (Advanced Reactor Information System) sejak 2016 dan juga telah di review oleh US DOE dan Argonne National Lab dan sejak April 2018 telah menerima dua kali menerima bantuan dana program GAIN (Gateway for Accelerated Innovation in Nuclear) untuk penelitian bersama dengan Argonne untuk pengembangan teknologi MSR. --hal ini menunjukan bahwa desain ThorCon adalah desain komersial yang sangat bagus dan dapat segera di bangun dalam waktu dekat.
Apakah Indonesia akan menjadi negara pengguna PLTN seperti Taiwan dan Pakistan atau negara yang memiliki industri Nuklir seperti Korea Selatan dan China sehingga dapat menjadi exportir PLTNÂ -- Pertanyaan mendasar ini dalam setiap pembahasan PLTN selalu luput di bahas. Padahal ketika Indonesia menyatakan untuk membangun PLTN, pertanyaan inilah yang harusnya di bahas, karena akan mempengaruhi roadmap nya . --Bila saya jelas memilih memiliki Industri bukan HANYA SEKEDAR mempunyai PLTN.
Tapi sayangnya sampai saat ini baru ThorCon yang memberikan komitmen secara tertulis dan terbuka akan membangun pabrik PLTN. Sebagian besar vendor PLTN, baik China, Russia maupun lainnya yang sering berkomunikasi dengan pihak Indonesia lebih banyak hanya menawarkan pengadaan PLTN melalui EPC atau melalui skema pinjaman lunak yang pada akhirnya menjadi beban APBN juga dan hanya menjadikan Indonesia pengguna PLTN.
Devanney menjelaskan pada tahap awal ThorCon akan melakukan investasi sebesar $935 juta atau sekitar Rp13,6 Trliliun untuk membangun prototype 500 MW PLTT di Indonesia sebagai skema Independent Power Producer (IPP) yang akan menjual listriknya dengan target di bawah US$ 7 sen/kwh setelah beberapa unit terpasang di Indonesia maka ThorCon akan membangun pabrik  di Indonesia yang di perkirakan paska 2030.