Setelah munculnya pemberitaan tentang rencana pembangunan Reaktor Daya Eksperimen BATAN dengan Kapasitas 10 MW yang rencananya akan di targetkan selesai pada tahun 2019 yang menghabiskan biaya 1,8 Triliun APBN, penentangan terhadap pembangunan RDE tersebut bermunculan di media massa. Sebagian besar kekuatiran para penentang adalah masalah keselamatan PLTN. Walaupun pada akhirnya Kepala Batan memberikan tanggapan terhadap serangan pembangunan RDE tetapi beliau tidak mengupas secara dalam masalah keselamatan PLTN lebih memberikan pembelaaan terhadap jenis reaktor HTGR yang di pilih sebagai RDE.
Walaupun secara pribadi saya juga kurang setuju terhadap pemilihan jenis reaktor HTGR tetapi hal penting yang perlu di bahas saat ini adalah pertanyaan “Seberapa amankah sesungguhnya PLTN ? dan Apakah benar PLTN adalah opsi terakhir?” Untuk pertanyaan kedua akan saya bahas dalam tulisan berikutnya – Saya beranggapan bahwa banyak informasi yang di ungkapkan oleh penentang PLTN tidak mendapatkan gambaran yang utuh tentang aspek keselamatan PLTN, khususnya tentang Kecelakaan PLTN dan Radiasi.
Bila kita berbicara tentang keselamatan tentunya kita selalu mengaitkan kepada kecelakaan. Sebelum membahas tentang keselamatan PLTN saya ingin mengingatkan tentang kecelakaan pabrik pestisida dan pupuk milik Union Carbide di Bhopal, India pada 2 Desember 1984 yang menewaskan seketika 3700 orang dan 39.000 luka-luka, 8000 orang tewas dalam 2 minggu karena keracunan dan lebih dari 500,000 orang mengalami cacat karena keracunan gas. Angka ini jauh lebih besar dibanding kecelakaan PLTN terbesar dalam sejarah, Chernobyl pada 26 April 1986 yang menewaskan 31 orang karena runtuhnya bangunan dan 64 orang tewas karena radiasi langsung. Sekitar 3900 orang tewas karena kanker akibat terkena radiasi dalam kurun waktu 1 tahun. Walau Bhopal menewaskan orang jauh lebih banyak dibanding seluruh korban kecelakaan PLTN di gabungkan tetapi tetap saja tidak mengurangi pembangunan pabrik pupuk dan pestisida berikutnya bahkan tidak ada kelompok-kelompok penentang pembangunan pabrik pupuk dan pestisida. – Jelas masalah keselamatan sebuah industri atau teknologi tidak dapat kita menilai hanya dari satu atau dua kecelakaan yang terjadi dan mengeneralisasi bahwa tidak aman.
Tetapi tidak demikian di Negara-negara G-20 yang mulai memberhentikan pembangunan PLTU termasuk China bahkan Presiden Obama telah menandatangi Kepres yang menutup sepertiga PLTU di Amerika pada tahun 2020 bagian dari komitmen terhadap penurunan gas rumah kaca yang di tanda tangan anggota G-20 pada COP-15 pada tahun 2009. Sebagai anggota G-20 seharusnya Indonesia menjalankan komitmen mengurangan gas rumah kaca dengan mengurangi pemakaian batu bara sebagai sumber pembangkitan listrik tetapi tidak demikian kenyataannya. Dalam Kebijakan Energi Nasional pemakaian batu bara kedepan malah meningkat padahal komitmen Indonesia yang di tanda tangani oleh Presiden SBY pada COP-15 adalah untuk mengurangi gas rumah kaca sampai 26% dengan upaya sendiri dan 40% dengan bantuan pada 2020 -- Jelas dengan kebijakan energi nasional saat ini tidak akan tercapai tentunya akan membawa dampak politik dan ekonomi pada akhirnya.
Salah satu kecelakaan PLTN yang selalu di jadikan contoh adalah Chernobyl. Ada beberapa hal yang harus di pahami, Chernobyl di bangun pada tahun 1971 – 1977 dimana saat itu Soviet sedang mengalami krisis ekonomi, tetapi sedang juga berlomba membangun arsenal persenjataan nuklir menandingi Amerika dan Sekutunya untuk itu mereka membutuhkan plutonium yang tidak terdapat di alam sehingga harus di produksi melalui proses fisi di PLTN. Untuk keperluan tersebut Soviet membangun PLTN sebanyak-banyak dalam kurun 1960 – 1980 tentunya karena kurangnya dana banyak faktor keamanan yang di kompromikan, bahkan membangun dengan desain reaktor yang sesungguhnya tidak aman.
Dalam laporan temuan IAEA pada tahun 1986, di sebutkan bahwa ada tiga penyebab utama kecelakaan Chernobyl 1) prosedur keamanan yang tidak di lakukan , bahkan banyaknya fitur keselamatan yang tidak di hidupkan 2) Desain Control Rod yang cacat sehingga kurang dapat memperlambat reaksi 3) Desain reaktor RMBK-1000 yang tidak sesuai standard keamanan – Artinya kecelakaan Chernobyl adalah akibat ketelodoran operator yang tidak ikuti aturan dan desain reaktor yang juga tidak mengindahkan keselamatan.
Jadi perumpamaan kasus Chernobyl adalah seperti bus metro mini yang sudah berumur lebih dari 40 tahun, jarang servis ke bengkel secara berkala, karat dimana-mana, rem sudah tipis, lantai sudah jebol, supir bawanya ugal-ugalan dan suatu saat kecelakaan menewaskan seluruh penumpannya kemudian kita menganggap bahwa seluruh bus di Indonesia dan seluruh dunia berbahaya... lucu kedengarannya bukan.
Hampir semua PLTN yang terjadi kecelakaan adalah PLTN generasi II yang di bangun antara tahun 1970 – 1980’an antara lain : Three Mile Island (dibangun 1968 – 1970), Chernobyl (dibangun 1971 – 1977), dan Fukushima (dibangun 1967 – 1971). Sehingga ketika terjadi kecelakaan Chernobyl pada tahun 1986, para ilmuwan Nuklir dunia sepakat untuk mendesain ulang reaktor nuklir dengan tingkat keamanan yang jauh lebih tinggi yang kemudian di sebut generasi ke III yang mulai di bangun pada akhir 1980’an yang sampai saat ini masih beroperasi dan belum ada masalah sedikitpun. Mengambil pengalaman dari kecelakaan Fukushima pada tahun 2011, para ahli mulai meredesain reaktor dengan fitur keamanan yang di sebut passive safety dimana tidak di butuhkan operator ataupun listrik sistim akan bekerja sendiri mengamankan supaya tidak terjadi meltdown, yang kemudian dikenal sebagai Generasi III+ atau Advanced Nuclear Reactor, yang sebagian besar masih dalam proses kontruksi saat ini. Salah satu generasi III+ yang hampir rampung pembuatannya adalah reaktor AP1000 buatan China.
Hampir semua kecelakaan PLTN adalah akibat Meltodown yang biasanya terjadi karena sistim yang tidak bekerja dimana hampir sebagian besar sistim pendingin PLTN adalah air, biasanya pompa tidak berfungsi sehingga air tidak mengalir kedalam reaktor yang dalam keadaan panas karena sedang terjadi reaksi fisi yang tidak dapat di berhentikan tetapi hanya dapat di hambat dengan memasukan control rod yang dapat menghambat proses fisi tersebut tetapi tanpa adanya air sama sekali reaktor akan menjadi panas sekali dan akhirnya meleleh dan akibat tekanan di dalam reaktor sangat besar sekitar 144 ATM atau setara dengan tekanan pada kedalaman laut 1,5 km, dapat terjadi ledakan yang luar biasa dasyaht akibat gas hidrogen yang terakumulasi yang akhirnya menyebabkan runtuhnya struktur containment beton yang tebalnya hampir 1,5 meter dan menyebabkan uap radiasi tekanan tinggi keluar dan terbawa angin. – Hampir semua Meltdown terjadi seperti itu. Dimulai dengan gagalnya air pendingin mengalir ke reaktor dan ledakan terjadi karena tekanan tinggi pada reaktor.
Sehingga sederhana berpikir nya adalah bila pendingin dan bahan bakar menjadi satu dalam keadaan cair bukan padat, maka tidak akan terjadi meltdown karena sudah dalam keadaan cair. Dan reaksi fisi dilakukan dalam tekanan normal (1 ATM) sehingga tidak akan terjadi ledakan. – Jelas fitur reaktor seperti ini akan membuat tingkat keamanan jauh lebih aman dibanding jenis reaktor pendingin air atau gas yang masih menggunakan bahan bakar padat. Reaktor seperti ini di sebut Molten Salt Reactor (MSR) yang pernah beroperasi di Amerika pada tahun 1965 – 1969 di Oak Ridge National Laboratory yang dapat memakai bahan bakar Uranium cair maupun Thorium Cair.