Mohon tunggu...
bob bob
bob bob Mohon Tunggu... -

only a guy

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Rovolusi Petani

9 Maret 2010   17:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:31 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_89945" align="alignleft" width="300" caption="Family farming"][/caption] Bung Karno yang berlatar belakang pendidikan tehnik itu mempunyai obsesi menciptakan petani Indonesia  yang akrab dengan peralatan modern sebagaimana petani di negara maju.  Pada awal tahun 50 an, proyek percontohan familiy farming  yang merupakan bagian dari proyek revolusi pertanian mulai dilaksanakan. Proyek tersebut ditawarkan kepada para ahli pertanian yang bersedia menjadi petani dengan mendapat hibah lahan yang cukup luas dan peralatan pertanian modern serta sapi perah sebagai motivator untuk para petani kita. [caption id="attachment_89950" align="alignright" width="298" caption="Pasar Tradisional"][/caption] Sayangnya, yang menjadi kendala adalah pada aspek pemasaran hasil produk yang dihasilkan sehingga tidak dapat untuk membiayai peralatan modern yang digunakan serta kesulitan dalam tehnis pemeliharaan peralatan karena ketiadaan suku cadang. Pasar yang masih tradisional pada waktu itu belum mampu menyerap hasil produksi yang dihasilkan akibatnya produksi yang berlimpah itu terbuang percuma. Hampir 60 tahun lamanya proyek family farming tersebut berlalu, para petani kita yang berjumlah hampir 28 juta orang itu masih banyak yang tetap mengikuti pola leluhurnya pada zaman Singosari ratusan tahun yang lalu. [caption id="attachment_89953" align="alignleft" width="300" caption="Kekeringan ........"][/caption] Hampir 40 % dari total populasi negeri ini menggantungkan nafkah dari sektor pertanian ini, berbagai masalah selalu akrab dengan para petani ini, mulai dari kelangkaan pupuk, serbuan hama, sengketa lahan sampai bencana kekeringan dan banjir. Petani yang selalu akrab dengan kemiskinan harus pula menahan derita akibat tidak terjaganya keseimbangan alam.  Melawan hama akibat hilangnya predator serta pola bercocok tanam yang tidak menjaga protein tanah harus dibayar mahal dengan terus naiknya pembasmi hama serta kelangkaan pupuk. Produksi akan sangat tergantung dari ketersediaan modal yang dibutuhkan dalam pengolahan yang juga makin memperkecil margin yang diperolehnya. Mati dilumbung beras, begitulah nasib yang masih dialami sebahagian para petani kita, ketiadaan pangan justru dialami oleh produsen pangan ini. [caption id="attachment_89967" align="alignright" width="300" caption="multi fungsi..."][/caption] Yang diperlukan dalam pembangunan pertanian itu sesungguhnya bukanlah alat pertanian modern tetapi SDM yang memadai yang mampu mengatasi permasalahan yang ada dibidang pertanian ini. Indonesia sebagai negara agraris tetapi hanya slogan. Departemen tehnis yang menangani sektor pertanian ini sudah ada sejak awal kemerdekaan, sekolah dan perguruan tinggi pertanian juga sudah tersebar diseluruh negeri ini. Tenaga terdidik dalam sektor pertanian ini anehnya banyak yang tidak berminat terjun kedunia pertanian, justru menjadi sales racun pertanian, mencari pekerjaan dibalik meja atau menjadi sales otomotiv. Para petani yang mampu membeli alat pertanian sederhana juga lebih sering menggunakan alatnya untuk transportasi dengan modifikasi. [caption id="attachment_89971" align="alignright" width="300" caption="mengembalikan hutanku"][/caption] Tidaklah terlalu berlebihan kalau masih sangat mungkin menjadikan petani kita makmur dengan memulai kesadaran menjaga kelestarian lingkungan. Mengembalikan keadaan ekosistem negeri ini serperti pada awal tahun 50 an adalah langkah awal yang harus menjadi prioritas utuk meningkatkan produksi pertanian. Larangan pembabatan hutan, larangan perdagangan kayu yang dilindungi, makin dilarang makin disiasati untuk mempertebal kantung orang2 yang tidak bertanggung jawab. Kebutuhan kayu untuk perumahan masih tinggi, larangan itu akan percuma jika subsistusi bahan yang dibutuhkan itu tidak tersedia. Pengalihan lahan konservasi untuk tanaman yang dianggap lebih menguntungkan dengan mengorbankan sektor pertanian lainnya bukanlah pilihan yang baik. Harus ada pemahaman seluruh komponen masyarakat serta pemerintah, menyelamatkan kehidupan petani adalah menyelamatkan nasib seluruh bangsa ini. [caption id="attachment_89981" align="alignleft" width="300" caption="Mana mobil mewah jatahku....?"][/caption] Sungguh sangat memprihatikan sekaligus memalukan apabila negara agraris menjadi negara importir pangan. Tidak ada import beras tahun ini, begitulah pernyataan dari penguasa kita yang menggambarkan keadaan ragu bangsa ini terhadap kemapuan bangsa sendiri untuk menyediakan kebutuhan pangannya. Lalu siapakah yang harus mulai berpikir untuk menyelamatkan bangsa ini dari bencana kelaparan ?. Enam puluh tahun telah berlalu sejak dicanangkan modernisasi pertanian oleh Bung Karno, saat ini faktanya kehidupan ekonomi petani banyak yang belum beranjak seperti zaman kolonial. [caption id="attachment_89993" align="alignright" width="170" caption="Petani belum mengamuk seperti ini ...."][/caption] Mungkin para penguasa harus melihat sejenak kehidupan petani kita dengan mata kepalanya sendiri, yang mereka butuhkan adalah lahan yang dapat ditanami dengan subur, lahan yang subur itu adalah sebuah berkah yang luar biasa.  Lahan yang kering dan kurus itu sangat kontras dengan isi kantong para penguasa yang makin subur, itupun belum puas jika belum mendapatkan mobil mewah.  Jika sekarang penguasa masih buta dan tuli, mungkin dengan melihat nasib petani itu adalah sebuah therapy yang tepat untuk menyembuhkannya, jangan menunggu terjadi revolusi yang dilakukan kaum tani. Hampir 40 % persen populasi negeri ini yang menggantungkan hidup dari sektor pertanian, sementara ini masih menjadi sasaran untuk mendulang suara, ketika rasa lapar itu tidak tertahan akibat lahannya makin merana, bukan tidak mungkin terjadi revolusi, menuntut perubahan politik negeri ini. Mungkin saat ini mereka menginginkan revolusi dalam peningkatan harkat dan martabat, rasa lapar itu akan mendorong orang berbuat apa saja demi mempertahankan hidup. Kisruh kaum tani, akan berimbas pada kisruh kaum kota yang secara langsung akan terganggu supplay pangannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun