Mohon tunggu...
Bob Aldi
Bob Aldi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Accounting Student at Padjadjaran University | also visit my blog : bobaldi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Akankah Arab Saudi dan Iran berperang?

4 April 2015   22:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:32 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Timur Tengah memang mempunyai sejarah konflik yang berkepanjangan, perang Irak-Iran, perang Israel-Arab, konflik Gaza, perang saudara Suriah, dan yang teranyar adalah konflik Yaman.  Sebelum membahas konflik teranyar ini, perlu kita ketahui konstelasi dua negara besar di kawasan yaitu Arab Saudi dan Iran. Arab Saudi dan Iran merupakan dua negara penting di kawasan negara Arab Teluk.  Keduanya merupakan penghasil minyak terbesar di dunia.  Meskipun jumlah minyak yang dihasikan tidak sebanyak Arab Saudi, Iran tetap memainkan pengaruh penting di kawasan, apalagi semenjak program nuklirnya yang membuat negara sekitar (termasuk dunia barat) ketar - ketir dibuatnya. Apa yang terjadi seandainya kedua negara ini berperang?  Pertempuran dua negara besar ini tentunya tidak akan baik bagi perekonomian global yang sampai saat ini masih membutuhkan minyak bumi sebagai komoditas vital untuk menggerakkan perekonomian.  Namun, jika melihat konstelasi global kedua negara ini sebenarnya selalu berseteru untuk merebut pengaruh politik di kawasan. Dalam konflik Yaman, masalah timbul semenjak Presiden resminya, Abd-Rabbu Mansour Hadi, digulingkan oleh Milisi Syiah Houthi yang didukung penuh oleh Iran.  Saudi pun kebakaran jenggot mengingat Yaman merupakan negara yang sangat strategis secara geopolitik dan ekonomi. Posisi Yaman yang merupakan jalur perdagangan utama antara Eropa dan Asia karena sebagai pintu masuk ke laut merah, selain itu sumber daya minyaknya yang besar turut berpengaruh dalam perebutan posisi strategis ini.  Bagi Arab Saudi, dengan digulingkannya presiden Mansour, membuatnya kehilangan benteng terakhir mencegah pengaruh Syiah masuk dan meluas ke wilayahnya.  Pada akhirnya, kita akan melihat perpaduan antara konflik dua ideologi Islam (Sunni dan Syiah) dengan sosio-ekonomi. [caption id="" align="aligncenter" width="546" caption="Strategic Position of Yemen"][/caption] Merasa terancam, genderang perang pun ditabuh, Saudi mengajak negara mitranya untuk turun langsung melakukan agresi militer demi membela pemerintahan sah presiden Mansour.   Serangan udara telah dilancarkan sejak akhir Maret lalu, berharap milisi Houthi menyerah dan mengembalikan kekuasannya kepada presiden Mansour.  Bukan tidak mungkin jika konflik ini berkepanjangan akan menyeret Iran secara langsung yang akan memasuki babak baru. CNBC dalam artikel 'Iran-Saudi relations: A new Cold War heating up?' menyebut bahwa ketegangan antara kedua negara ini sudah memasuki tahap perang dingin. "Kita saat ini sedang menyaksikan sesuatu yang menyerupai skenario jenis Perang Dingin. Saya pikir ketegangan mungkin akan bertambah buruk di tahun-tahun mendatang," kata pengamat Timur Tengah, Torbjorn Soltvedt, di Maplecroft kepada CNBC dalam sebuah wawancara telepon dalam hubungannya dengan keterlibatan kedua negara di Suriah dan sekitarnya. The Guardian dalam artikel 'Saudi Arabia and Iran must end their proxy war in Syria', menyebut Iran dan Saudi sudah saatnya menghentikan perang antar keduanya yang berakibat nestapa dan kesengsaraan di negara-negara tetangganya. Pada akhirnya, konflik ini hanya menimbulkan kerugian terutama bagi rakyat Yaman sendiri.  Harga minyak dunia yang mayoritas diproduksi oleh kawasan ini mulai terkerek naik.  Tentu hal ini akan berdampak negatif pada Indonesia mengingat saat ini dolar sudah di posisi Rp13.000 dan sebagain besar minyak kita masih diimpor.  Maka siap - siap saja harga BBM akan terus naik (pelan tapi pasti) yang tentunya akan semakin menggerus roda perekonomian nasional dan daya beli masyarakat mengingat sektor konsumsi masih menyumbang separuh dari PDB Indonesia. [caption id="" align="aligncenter" width="496" caption="Harga minyak mulai naik semenjak konflik Yaman"]

[/caption] Pemerintah harus mengambil kebijakan yang sangat hati - hati mengingat perekonomian dunia saat ini pun masih lesu, Amerika baru saja pulih dan Eropa (ibarat pasien di rumah sakit) masih harus menjalani opname.  Saya setuju dengan kebijakan pemerintah dalam hal mengalihkan subsidi BBM ke sektor produktif seperti infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.  Namun, jika nantinya rupiah tak kunjung membaik dan harga minyak kembali menyentuh level $100, maka pemerintah perlu mempertimbangkan ulang untuk memberikan subsidi BBM, karena daya beli masyarakat sangat sensitif terhadap kenaikan harga. Tentu kita semua tidak ingin krisis 1998 terulang kembali oleh karena itu sebagai masyarakat cerdas perlu mengkritisi segala kebijakan pemerintah.  Bukankah untuk menjadi bangsa yang besar kita perlu bersatu?masih banyak pr besar untuk pemerintah ini.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun