Ketika berbicara mengenai karakter yang terlintas dalam pikiran adalah pernyataan bahwa karakter itu mempunyai banyak interpretasi tergantung dari individu itu sendiri. Jika meminjam pendapat dari Ki Hadjar Dewantara, karakter bisa disebut sebagai “watak” yaitu paduan segala tabiat manusia yang bersifat tetap, sehingga menjadi “ciri” khusus yang membedakan orang satu dengan yang lain. Bagi saya orang yang berkarakter merupakan orang yang mampu membangun dan merancang masa depannya. Karakter merupakan identitas, inilah yang nantinya menjadi ciri bagi individu baik tingkah laku maupun sifat-sifat dasar yang mewakili pribadinya.
Namun, yang menjadi pertanyaan besar saya adalah apakah benar bahwa karakter suatu bangsa terkait dengan prestasi yang diraih oleh bangsa itu dalam berbagai bidang kehidupan dimasa sekarang?
Indonesia dewasa ini sedang mengalami krisis multi dimensional sebagai wujud nyata dari keterpurukan jati diri bangsa Indonesia adalah anarkisme, konflik horisontal, korupsi, kerusakan lingkungan hidup dan disintergasi bangsa. Bahkan krisis ekonomi yang tidak kunjung henti yang berdampak pula pada krisis sosial dan politik, pada perkembangannya justru akan menyulitkan upaya pemilihan ekonomi. Konflik horizontal dan vertikal yang terjadi dalam kehidupan sosial bisa saja merupakan salah satu akibat dari semua krisis yang terjadi, yang tentu akan melahirkan disintergasi bangsa. Apalagi bila melihat bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural seperti beragamnya suku, budaya daerah, agama, dan berbagai aspek politik lainnya, serta kondisi geografis negara kepulauan yang tersebar. Semua ini mengandung potensi konflik (latent Social conflit) yang dapat merugikan dan menggangu persatuan dan kesatuan bangsa. Krisis yang dialami bangsa Indonesia tersebut akan semakin parah jika Indonesia tidak memiliki tiang yaitu sebuah karakter bangsa.
Lalu, karakter seperti apakah yang diperlukan Indonesia sekarang? Pendidikan merupakan sarana dalam usaha menumbuhkan karakter bangsa Indonesia, sudah sejak lama Indonesia telah mempunyai konsep pendidikan karakter diantaranya berbagai program pendidikan dan pengajaran mengenai Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara (PPKN), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), meskipun saya hanya menikmati program PPKN namun kenyataannya sampai sekarang belum mencapai hasil yang optimal, mungkin karena program pendidikan dan pengajaran tersebut terkesan adanya sebuah pemaksaan mengenai konsep yang sekularistik dan kurang seriusnya aspek pengalaman. Sebenarnya bagi saya dalam pendidikan karakter hanya memerlukan contoh dan sebuah keteladanan.
Sebagai contoh, bahwa kesuksesan Cina sekarang ternyata merupakan hasil dari penerapan pendidikan karakter sejak awal tahun 1980-an. Pendidikan karakter bagi Cina harus melalui proses knowing the good loving the good and acting the good yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga bisa terukir menjadi habit of the mind heart and hand. Bahkan Pemimpin Cina, Deng Xiaoping, pada tahun 1985 juga mencanangkan pentingnya pendidikan karakter: Throughout the reform of the education system, it is imperative to bear in mind that reeform is for the fundamental purpose of turning every citizen into a man or woman of charcter and cultivating more constructive members of society.
Tanpa sebuah karakter akan terlihat bahwa suatu bangsa tidak mempunyai identitas, mungkinkah hal ini yang terjadi pada Indonesia sekarang? Melalui pendidikan karakter tanpa adanya sebuah kesan pemaksaan dan pengalaman yang lebih diutamakan Indonesia mungkin saja akan menumbuhkan dan membangun karakter bangsanya, karena karakter inilah yang nantinya menjadi tiang utama jati diri bangsa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H