"Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar"
Ayat ini mengisahkan seorang perempuan yang menjadi kepala negara (Ratu) pada zaman Nabi Sulaiman Alaihissalam dan beliau pun tidak mengingkarinya. Akan tetapi menurut usul fiqh: Syariat nabi-nabi terdahulu bukanlah syariat untuk kita ummat Muhammad SAW. Oleh karena itu, ayat ini tidak bisa dibuat dalil diperbolehkannya perempuan menjadi
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً البخاري: 5/136. 8/197 . الترمذي : 3/360 . النسائي: 8/228
لَنْ يَفْلَحَ قَوْمٌ تَمْلِكُهُمُ امْرَأَةٌ : مسند أحمد: 5/43. 5/51
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ أَسْنَدُوا أَمْرَهُمْ إِلَى امْرَأَةٍ. مسند أحمد: 5/38. 5/47
مَا أَفْلَحَ قَوْمٌ يَلِي أَمْرَهُمْ امْرَأَةٌ. مسند أحمد: 5/50.
هَلَكَتِ الرِّجَالُ حِينَ أَطَاعَتِ النِّسَاءَ. مسند أحمد: 5/50
لن يفلح قوم ملكوا عليهم امرأة. لباب التأويل في معاني التنزيل 3/343
Pada garis besarnya, arti daripada hadits-hadits tersebut adalah: Tidak beruntung (setiap) kaum yang menyerahkan urusannya kepada seorang perempuan (siapapun).
Semua hadits tersebut, riwayat dari Abi Bakroh dan redaksi hadits 2,3,4,5,6 adalah riwayat bil ma'na. Hadits tersebut jelas menunjukkan persyaratan kepala negara harus laki-laki. Kalimat lan yufliha bisa kita ambil kesimpulan bahwa nabi tidak suka. Yang berarti tidak membolehkan. Kata Qoumun menurut ushul fiqh adalah kata umum Syumuliy (keseluruhan) sebab berupa nakiroh (umum) yang jatuh setelah nafi (meniadakan) yang berarti untuk setiap kaum. Sedangkan kata imroatan adalah kata umum badaliy (berganti) yang berarti perempuan siapapun orangnya.
Hadits ini tentu ada asbabul wurudnya (sebab timbulnya hadits), yaitu kisah tentang pengangkatan kepala negara oleh orang-orang Persi terhadap seorang perempuan. Akan tetapi bukan berarti hanya husus untuk orang-orang Persi semata, karena:
العِبْرَةَ بِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَبب
Artinya: Yang dianggap dalil adalah keumuman kata, bukan kekhususan sebab
Dengan kata lain, dalil yang lafadlnya umum dan timbul karena sebab yang khusus, itu yang dianggap adalah keumuman lafadlnya. Dengan demikian syarat menjadi kepala negara harus seorang laki-laki adalah syarat yang dijelaskan oleh hadits dan disepakati oleh para ulama'. Yang harus benar-benar diperhatikan adalah, kita jangan sampai salah memahami ta'bir (redaksi) yang seolah-olah At-Thobaroniy dan lama' lain memperbolehkannya.
Maka jawaban untuk pertanyaan diatas adalah: *Selama masih belum jelas siapa yang ternyata mempunyai pengikut atau suara pemilih terbanyak (menang) maka ummat Islam wajib memilih calon laki-laki.* Sedangkan jika ternyata nantinya calon perempuan yang menang dengan mengantongi suara terbanyak maka kita harus mengakui keabsahannya dan wajib mentaatinya.
Wallahu a'lam bisshowab.