Mohon tunggu...
Sosbud Pilihan

Harga Gabah Anjlok, Petani Lereng Gunung Rinjani Kini Menanti Sang Fajar

7 Maret 2018   21:04 Diperbarui: 7 Maret 2018   23:08 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang petani di Desa Suela, Lombok Timur sedang memisahkan beras gabah dengan alat tradisional (greja), Rabu (07/03/2018) pagi.

Memasuki bulan Maret 2018 ini, sebagian besar petani Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), berkelompok-kelompok memanen padinya. Seperti di Desa Suela, petani sudah siap-siap membeli karung, terpal dan menyiapkan buruh.

Di desa lereng Gunung Rinjani tersebut, harga gabah dibeli Rp 155.000 per kuintal. Ini adalah harga terendah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Namun, tahun ini, kualitas gabah para petani berbuah baik, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, yang hampir sebagian besar petani Lombok Timur (Lotim) gagal panen. Termasuk petani di Desa Suela.

Selain didukung oleh hujan yang bercurah normal. Tahun ini juga jarang bahkan tidak pernah turun hujan di malam hari, yang berpotensi merusak seluruh jenis tanaman berdampak buruk. Tak terkecuali tanaman padi.

Terdapat tiga kawasan pertanian di Kecamatan Suela. Pertama kawasan berjenis tanah sawah, tanah perkebunan dan tanah ladang. Saat musim padi, ketiga-tiganya ditanami warga. Kendati demikian, tak jarang kualitas gabah warga di kawasan ladang hampir menyamai kualitas padi di kawasan persawahan yang terbilang lebih subur.

"Buahnya kayak gabah bangket (sawah)," kata warga ketika melihat kualitas gabah tanah ladang yang tampak melimpah saat dipisahkan dari tangkainya (begabah).

Diguyur hujan

Musim panen dengan kualitas gabah yang sebagian besar baik ini, diguyur hujan berkepanjangan. Dalam seminggu, terdapat empat hari hujan dan tiga hari absen. Terkadang dalam tiga hari ini, terdapat gerimis.

Sebagian besar petani gabah pada bulan maret ini, mengharapkan cahaya matahari tanpa hujan untuk dimanfaatkan menjemur gabahnya. Bahkan dalam proses begabah, aktivitas warga yang menyabit, mengumpulkan dan memukul alat tradisional (greja) itu terpaksa dihentikan sementara, menanti sang ajar di hari esok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun