Mohon tunggu...
Budhi Masthuri
Budhi Masthuri Mohon Tunggu... Seniman - Cucunya Mbah Dollah

Masih Belajar Menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pelayanan Publik di Era Disrupsi; Tantangan dan Peluang

14 Desember 2021   15:10 Diperbarui: 14 Desember 2021   15:29 1403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"...kalau perekonomian masih tumbuh, sementara usaha anda mengalami kemunduran, itu pertanda ada lawan-lawan baru yang tidak terlihat. Temukanlah. Gunakan ilmunya untuk menciptakan sesuatu yang baru...." (Steve Jobs)

Pengantar

Kutipan kalimat Steve Jobs di atas memberikan ilustrasi kepada kita bahwa dunia sedang berubah begitu cepat dengan berbagai disrupsi yang menyertainya. Seringkali kita tidak menyadari atau setidaknya terlambat mengetahui perubahan tersebut, sehingga tidak bisa mengantisipasi kompetitor tidak terlihat yang terlebih dahulu telah melakukan adaptasi dan inovasi.

Era Industri 4.0 memang telah mendisrupsi banyak hal, tidak hanya sektor ekonomi, tetapi juga sektor pelayanan publik, bahkan termasuk pengawasannya. Bagi mereka yang mempu beradaptasi dengan melakukan berbagai inovasi, perubahan yang disruptif adalah peluang. Sebaliknya, bagi mereka yang tidak mampu bahkan tidak mau beradaptasi, disrupsi akan menjadi ancaman, dan tidak sedikit dari mereka nantinya berguguran.

Jika diaplikasikan dalam dimensi pelayanan publik, kutipan kalimat Steve Jobs tersebut juga sangat relevan untuk menjelaskan kondisi saat ini. Pemikiran serta kreativitas masyarakat pengguna layanan terkadang beberapa langkah lebih maju dari penyelenggara layanan. Menguatnya partisipasi warga melalui berbagai komunitas digital mampu mengatasi kebutuhan pelayanan mereka, dan terkadang itu terjadi tanpa peran negara, atau jikapun ada sangat minimalis. Hal ini pada dasarnya menggembirakan, akan tetapi pada saat bersamaan mengandung efek disruptif.       

Disrupsi Pelayanan Publik 

Era Industri 4.0 mengubah pelayanan publik yang selama ini konvensional menjadi digital. Digitalisasi pelayanan publik ini membawa dampak disrupsi yang memerlukan response adaptif dari penyelenggara pelayanan maupun penggunanya. Jika tidak segera beradaptasi melalui berbagai perubahan inovatif, pada masa akan datang bisa saja loket-loket pelayanan perijinan untuk membangun gedung dan membuka usaha pertokoan akan sepi. Orang akan lebih memilih usaha melalui toko-toko online seperti Toko Pedia, Buka Lapak, Bli-Bli, dll yang tidak memerlukan IMB, tidak ribet, lebih mudah dan murah. Demikian juga layanan pinjam meminjam uang melalui perbankan konvensional akan ditinggalkan, karena masyarakat memilih pinjaman online yang lebih mudah dan cepat.

Digitalisasi pelayanan publik juga membentuk budaya baru dalam hal partisipatsi warga terhadap proses pelayanan publik. Warga yang didominasi generasi milenial pemikirannya sangat terbuka dalam menyikapi pelayanan publik. Mereka bahkan lebih memilih media sosial untuk mengekspresikan kekecewaan terhadap pelayanan daripada loket-loket pengaduan yang disediakan penyelenggara pelayanan.

Sebagai contoh, di Yogayakrta terdapat komunitas warganet berbentuk group facebook bernama Info Cegatan Jogja (ICJ), sekarang anggotanya bahkan sudah mencapai satu juta orang lebih. Dalam hal partisipasi warga, group ICJ ini juga menjadi instrumen yang efektif untuk mengawasi pelayanan publik secara digital. Group ini awalnya untuk berbagi info tentang lokasi cegatan (razia lalu lintas) di Jogjakarta. Lalu fungsinya berubah untuk wadah solidaritas sosial bantu sesama, dan menyampaikan kritik, keluh kesah serta komplain terhadap sikap, sarana serta kualitas pelayanan publik. Dalam beberapa hal ICJ bahkan "lebih ditakuti" petugas pelayanan daripada lembaga pengawas pemerintah yang resmi. Begitu ada yang posting informasi (tulisan, video atau gambar) sarana atau petugas yang memberi pelayan publik kurang baik, maka seketika itu bisa viral, ribuan anggotanya akan mengomentari, dan sebagian besar diantaranya tidak terhindarkan melakukan bullying. Jika sudah demikian, biasanya penyelenggara pelayanan cepat-cepat memberi atensi dan perbaikan.

Peran kontrol yang dilakukan ICJ adalah salah satu contoh disrupsi dari aspek pengawasan pelayanan publik. Selain ICJ, komunitas-komunitas sejenis juga berkembang, seperti komunitas Jogja nyah-nyoh yang menghimpun donasi untuk menambal jalan rusak sebelum diperbaiki pemerintah, sebagian komunitas warganet diantaranya juga bergerak dibidang karitas sosial melalui digital crowd funding seperti kitaBisaDotCom, dll.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun