Globalisasi mengakibatkan terbukanya sekat-sekat negara bangsa dengan karakter sosial budaya masing-masing yang sangat beragam. Realita ini menjadikan kepemimpinan tidak bisa lagi lepas dari keterhubungan, interaksi bahkan pergesekan antara budaya satu bangsa dengan budaya bangsa lainnya. Indonesia sebagai bangsa yang majemuk, dengan beragaman suku, agama, ras dan golongan, juga tidak bisa lepas dari globalisasi.
Globalisasi semakin menemukan jalan terangnya melalui revolusi industri 4.0 yang membentuk karakteristik masyarakat digital. Multikulturalisme di era masyarakat digital menghadapi tantangan bahkan tekanan lebih kuat karena desrupsi yang terjadi akibat berbagai inovasi teknologi dan informasi. Salah satu ciri masyarakat digital adalah menuntut kecepatan. Setiap orang harus bisa berpikir dan bertindak cepat dalam gelombang informasi yang setiap saat mengalir deras. Sementara itu konservatisme dan praghmatisme sosial juga berkembang lebih pesat karena ditopang oleh ketersediaan informasi yang melimpah ruah.
Pada satu sisi, informasi yang melimpah ruah adalah menjadi jalan untuk membuka akses pengetahuan yang luas bagi masyarakat, tapi pada sisi lainnya dapat mengakibatkan reproduksi perbedeaan bahkan kebencian begitu mudah terjadi, meluas bahkan meruncing menjadi konflik, dan ini menjadi tantangan serius bagi seorang pemimpin. Secara empirik, kita merasakan bagaimana praghmentasi poliitik yang menguat dan meruncing pada saat pilkada DKI dan Pemilu lalu. Eskalasi perbedaan, kebencian, bahkan konflik, terjadi karena persebaran informasi yang sangat masif dan cepat melalui berbagai platform media sosial, tidak peduli apakah itu benar atau HOAX. Ironisnya, sepektrum perbedaan dan konfliknya tidak terbatas isue politik tetapi juga SARA.
Indonesia sebagai negara bangsa merupakan arena terjadinya interaksi sosial antar subkultur yang ada di dalamnya. Orang-orang yang ada di dalamnya saling melakukan interaksi sosial, meskipun dengan latar belakang budaya berbeda. Kualitas relasi sosial yang dihasilkan dari proses interaksi ini sangat ditentukan oleh pemahaman, kedalaman, bahkan penjiwaan terhadap berbagai aspek multikulturalisme yang melekat dan dimiliki oleh masing-masing subklutur.Â
Pemimpin saat ini harus memiliki visi dan misi yang kuat untuk menjaga antar warga negara mampu dan bersedia menerima perbedaan, tidak hanya sekadar sebagai "saya berbeda dengan kamu", tetapi juga bersedia menempatkan karakter kultural yang dimiliki warga lain sebagai sebuah keunikan yang  diterima dan memperoleh ruang aktualisasi yang sama dalam arena sosial yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H