Pertengahan tahun 2016 kita dikejutkan dengan beredarnya video yang menayangkan puluhan anak-anak, mengenakan baju loreng tentara, membakar paspor Republik Indonesia. Dalam video yang berdurasi 2 menit 14 detik ini terlihat adegan anak-anak yang bergantian menembak dengan senjata api. Diduga ini adalah propaganda ISIS untuk melibatkan anak-anak kedalam gerakan mereka (www.nasional.kompas.com).
Menurut pengamat terorisme Al Chaidar, perekrutan anak-anak dalam jaringan terorisme memang masih terbatas pada lingkup keluarga yang bergabung dalam kelompok teroris, meskipun demikian pencegahannya tetaplah menjadi sesuatu yang sangat urgent (www.bbc.com). Pelibatan anak-anak dalam gerakan terorisme dan peperangan juga diungkap UNICEP melalui sebuah dokumen yang diterbitkan pada tahun 2003, Guide to the Optional Protocol on the Involvement of Children in Armed Conflict. Dokumen ini menjelaskan bagaimana anak-anak direkrut, kadang dengan cara-cara paksa, untuk dijadikan tentara anak. UNICEP mencatat bahwa negara-negara yang mengalami konflik bersenjata seperti Afghanistan, Burundi, Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Myanmar, Nepal, Somalia, Sudan, Chad, Kolombia, Filipina, Sri Lanka, Palestina dan Uganda merekrut anak-anak usia 15-18 tahun, bahkan ada yang masih berumur 7 tahun, Â sebagai tentara baik laki-laki maupun perempuan (Unicep, 2003). Human Rights Watch bahkan menemukan setidaknya ada 300.000-an tentara di bawah usia 18 tahun yang sekarang aktif berperang dalam konflik bersenjata, dan ini dikuatkan sumber lainnya dengan menuliskan bahwa tidak sedikit dari mereka adalah anak-anak dibawah 10 tahun, anak-anak ini kadang bertindak lebih kejam dari tentara dewasa ketika menghadapi lawan-lawannya (www.parstoday.com). Padahal, anak-anak yang terlibat dalam perang negara adalah sumber daya yang sewaktu-waktu juga bisa direkrut oleh jaringan terorisme di negara tersebut.
Terorisme, termasuk yang melibatkan anak merupakan ancaman yang serius bagi keamanan sebuah negara, dimanapun. Oleh karena itu dibutuhkan komunitas intelijen yang kuat dan memiliki mampu yang baik untuk melakukan deteksi dini melalui pengumpulan informasi yang akurat. Ini akan sangat menentukan kecepatan pencegahan yang bisa dilakukan. Prasyarat seperti ini 25 tahun lalu telah menjadi salah satu kesimpulan CRC (Commission on the Roles and Capabilities of the United States Intelligence Community), sebuah Komisi yang bertugas melakukan evaluasi terhadap kerja-kerja komunitas intelijen di Amerika Serikat. Menurut Komisi ini, komunitas intelijen merupakan faktor penting yang menentukan keamanan negara, oleh karena itu CRC meminta agar kemampuan dan kinerja intelijen ditingkatkan secara lebih efisien (Final Report CRC, 1996).
Posisi dan peran strategis yang sama juga ada pada komunitas intelijen di Indonesia, terutama dalam mengantisipasi ancaman terhadap keamanan negara yang ditimbulkan oleh fenomena terorisme anak yang potensinya cukup besar. Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) bahkan pernah merelease data BNPT, ada 500 teroris yang ditahan sepanjang 2018 dan mereka ini memiliki sekitar 1.800 anak-anak, yang tentu saja sudah terpapar dengan ajaran orang tuanya. Dengan besarnya jumlah anak-anak teroris ini, upaya mencegah terorisme anak bisa menjadi agenda yang sangat strategis untuk memutus rantai jaringan terorisme di Indonesia. Tentu saja ini harus menjadi concern semua elemen negara, terutama komunitas intelijen. Seperti apa komunitas intelijen di Indonesia menyikapi dan meresponse potensi terorisme anak, kebijaan apa yang dibuat dan bagaimana pula efektivitasnya? Ini menjadi tema bahasan yang menarik dan penting dicermati melalui kajian tulisan ini.
Pemanfaatan Anak Untuk TerorismeÂ
Terorisme menurut UU No. 5 Tahun 2018 adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan. Perbuatan menggunakan kekersan atau ancaman kekerasan ini bisa dilakukan oleh orang dewasa maupun anak-anak. Keduanya berbahaya dan memiliki derajat ancaman yang sama terhadap sistem keamanan nasional.
Saat ini, tindakan terorisme tidak lagi sebagai perbuatan individu, lebih dari itu sudah menjadi sebuah gerakan sosial politik. Ia berjejaring, dan jangkauan kerjanya juga melampaui sekat geografis negara. Terorisme dapat dilakukan dengan berbagai motif, mulai dari motivasi agama, ideologi, alasan untuk memperjuangkan kemerdekaan, membebaskan diri dari ketidakadilan, sampai dengan karena adanya kepentingan tertentu (Ali dalam Mareta 2018). Motivasi terbesar terorisme adalah berlatar belakang idiologis, karena itu selalu melibatkan hubungan keluarga. Dalam pada itulah anak-anak yang berada di lingkungan keluarga teroris pada saat yang sama menjadi bagian dari lingkaran jaringan terorisme itu sendiri. Sehingga keluarga seorang teroris tidak ubahnya menjadi inkubator untuk mencetak geneasi teroris selanjutnya melalui proses indoktrinsi sejak dini. Pola seperti ini terjadi dalam kam-kam ISIS, seperti cerita dalam video anak-anak yang membakar paspor dan menenteng senjata laras panjang di bagian awal tulisan. Ini merupakan bentuk pemanfaatan anak-anak dilakukan oleh kelompok teroris. Secara gamblang hal yang sama dilakukan teroris Boko Haram di Afrika, menggunakan anak-anak dan perempuan dalam banyak operasinya, bahkan sebagai bomber bunuh diri (www.liputan6.com).
Di Indonesia, pemanfaatan anak untuk aksi kekerasan terorisme yang termasuk menonjol adalah dalam kasus peledakan Gereja di Surabaya, sebagai salah satu rangkaian peristiwa terorisme yang terjadi sepanjang Tahun 2018. Dalam catatan penelitian Lusein dkk digambarkan bahwa rangkaian peristiwa aksi terorisme tersebut terjadi dalam rentang waktu 9 s.d. 16 Mei 2018, dimulai dengan insiden kerusuhan di Rutan Kelapa Dua, hingga berlanjut dengan  serangan bom pada tiga gereja berbeda di pusat kota Surabaya, yaitu Gereja  Santa Maria Tak Bercela, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), dan Gereja Kristen Indonesia (GKI). Aksi terorisme ini melibatkan enam orang yang masih memiliki hubungan keluarga terdiri dari ibu, ayah, dua anak laki-laki (18 dan 16 tahun), serta dua anak perempuan (12 dan 9 tahun) dilakukan oleh kelompok Jamaah Anshorot Daulah (JAD) yang merupakan pendukung ISIS di Indonesia (Lusein dkk, 2020) .
Kasus pelibatan anak dalam aksi teror di Surbaya tersebut bisa jadi baru gejala awal yang hanya tampak puncak kecilnya di permukaan. Di Indonesia  potensi pelibatan anak dalam jaringan terorisme (terorisme anak) sangat besar, jumlahnya bisa sampai ribuan. Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) penah merelease informasi bahwa berdasarkan data BNPT 500 teroris yang ditahan sepanjang 2018, mereka memiliki sekitar 1.800 anak-anak, yang tentu saja sudah terpapar dengan ajaran orang tuanya. Ironisnyaa mereka yang sangat potensial mengikuti jejak orang tuanya ini belum tertangani (pemerintah) secara memadai (www.medcom.id.). Padahal mereka ini sewaktu-waktu bisa direkrut jaringan terorisme sehingga menjadi bom waktu yang mengancam keamanan nasional. Kesedihan, dendam, kemarahan bahkan kebencian kepada simbol-simbol negara akibat menyaksikan orangtuanya yang ditangkap bahkan terbunuh di depan matanya saat operasi penangkapan, adalah modalitas psikologis yang lebih dari cukup untuk menjadikan mereka terperangkap atau bahkan diekspolitasi kedalam terorisme anak.Â
 Pada bagian lainnya, anak-anak sekolah di Indonesia sekarang juga rentan terpapar paham radikalisme. Survey-survey dan penelitian yang pernah dilakukan berbagai lembaga mengkinfirmasi hal ini. Survey PPIM UIN Jakarta misalnya, menyimpulkan bahwa pengaruh intoleransi dan radikalisme di kalangan generasi Z Indonesia, yakni mereka yang lahir setelah 1995, dapat dikatakan dalam kondisi seperti "api dalam sekam" (Muthahhari, 2017). Penelitian lain yang dilakukan oleh Balai Litbang Agama Makassar, juga menemukan bahwa layanan pendidikan agama di sekolah-sekolah yayasan atau organisasi keagamaan, hanya memberikan layanan pendidikan agama yang menjadi ciri khas yayasan. Hal in terjadi di sekolah Yayasan Islam maupun Kristen (Hyadin, 2017). Tingginya potensi keterpaparan paham radikalisme dikalangan anak-anak Indonesia ini perlu disikapi dan diresponse secara tepat oleh komunitas intelijen melalui berbagai kebijakan dan program yang mengena. Â
Komunitas Intelijen Daerah
Peran dan misi intelijen tidaklah statis, ia dipengaruhi oleh perubahan lingkungan sosial politik di sekitarnya, seperti teknologi, dan kebutuhan Pemerintah. Menurut CRC empat peran fungsional untuk intelijen adalah melakukan pengumpulan informasi, membuat analisa, melakukan tindakan rahasia, dan kontraintelijen, serta sejumlah "misi" dalam hal memberikan dukungan substantif untuk fungsi pemerintahan tertentu. Dalam prktiknya intelijen bahkan memiliki misi untuk memberikan dukungan untuk diplomasi, operasi militer, dan perencanaan pertahanan, termasuk untuk melawan kegiatan terlarang di luar negeri yang mengancam kepentingan negara seperti terorisme, perdagangan narkotika, dll (Final Report CRC, 1996).
 Di Indonesia, peran intelijen juga diwadahi dan dilekatkan dalam Komunitas Intelijen yang kedudukannya sampai pada daerah administratif kabupaten/ kota. Komunitas intelijen memegang peran sangat penting dalam melakukan deteksi dini terhadap berbagai potensi ancaman yang bersumber dari setiap usaha dan kegiatan baik dari dalam maupun luar negeri yang dinilai membahayakan kedaulatan, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa serta kepentingan nasional lainnya. Termasuk dalam ancaman ini adalah terorisme yang melibatkan anak-anak.
Merujuk pada Permendagri No. 16 Tahun 2011, Komunitas Intelijen Daerah atau yang juga populer dengan sebutan Kominda adalah forum komunikasi dan koordinasi unsur intelijen dan unsur pimpinan daerah di provinsi dan kabupaten/kota, dengan penanggungjawab Kepala Daerah. Tugas dan kewajiban Gubernur dan Bupati/Walikota selama memimpin Kominda meliputi (1) pembinaan dan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban masyarakat terhadap kemungkinan timbulnya ancaman stabilitas nasional di daerah; (2) khusus untuk Gubernur, mengoordinasikan bupati/walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketentraman, ketertiban, dan perlindungan masyarakat, dengan meningkatkan peran dan fungsi Kominda; dan (3) mengoordinasikan fungsi dan kegiatan instansi vertikal di provinsi sebagai jaringan intelijen.
Keanggotaan Kominda terdiri dari Wakil Kepala Daerah, Kepala Pos Wilayah Badan Intelijen Negara (khusus untuk Kominda level Propinsi), Kepala Badan Kesbangpol, Unsur Intelijen dari Badan Intelijen Negara, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Tinggi, Imigrasi, Bea dan Cukai dan unsur terkait lainnya. Adapun tugasnya adalah; (1) merencanakan, mencari, mengumpulkan, mengoordinasikan, dan mengomunikasikan informasi/bahan keterangan dan intelijen dari berbagai sumber mengenai potensi, gejala, atau peristiwa yang menjadi ancaman stabilitas nasional di daerah; dan, (2) memberikan rekomendasi sebagai bahan pertimbangan bagi Kepala Daerah mengenai kebijakan yang berkaitan dengan deteksi dini, peringatan dini dan pencegahan dini terhadap ancaman stabilitas nasional di daerah.
Pelaksanaan penyelenggaraan tugas Kominda di provinsi dilaporkan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Menteri Pertahanan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Keuangan, Kepala Badan Intelijen Negara, Jaksa Agung Republik Indonesia, Panglima Tentara Nasional Indonesia dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sedangkan pelaksanaan penyelenggaraan Kominda di kabupaten/kota dilaporkan oleh bupati/walikota kepada gubernur dengan tembusan kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusla, Menteri Keuangan, Kepala Badan Intelijen Negara, Jaksa Agung, Panglima Tentara Nasional Indonesia dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta unsur pimpinan daerah provinsi.
Beberapa permasalahan klasik yang sering dihadapi adalah soal kordinasi dan komunikasi. Armawi dalam penelitiannya menemukan bahwa kordinasi berkesinambungan yang sangat diperlukan untuk membahas isu-isu strategis, termasuk permasalahan terorisme sejauh ini tidak salalu mudah dilakukan. Tidak hanya soal menjaga kesinambungan, keaktifan anggota Kominda dalam sharing dan eksplorasi informasi juga itu-itu saja, biasanya  hanya dari Polres, Kodim, Den Intel Kodam, dan BIN, itu pun tidak semua informasi diberikan, sebab beberapa informasi kadangkala dianggap bernilai  sangat  rahasia sehingga  tidak diberikan dengan alasan mencegah  kebocoran (Armawi 2013). Hal  seperti ini pada akhirnya membuat  Kominda  tidak  memiliki informasi  yang  akurat  mengenai  isu  strategis, seperti  terorisme,  karena  tidak  semua  informasi dapat  diberikan.
Deteksi Ancaman TerorismeÂ
Terorisme yang memanfaatkan anak sangat mengancam kemanan nasional, karena mereka lebih mudah menyusup atau disusupkan dengan tanpa kecurigaan terhadapnya. Pusat Anti Teroris Amerika Serikat mengungkap bahwa salah satu alasan mengapa kelompok teroris seperti Boko Haram memanfaatkan perempuan dan anak-anak dalam operasi militer bom bunuh diri mereka karena rendahnya kecurigaan aparat keamanan terhadap perempuan dan anak-anak sehingga tidak diperiksa secara teliti (www.parstoday.com).
Di Indonesia setidaknya terdapat beberapa kasus terorisme yang melibatkan anak-anak pernah terjadi dan mengancam keamanan nasional. Akhir tahun 2019 lalu seorang anak dibawah umur berusaha meledakkan bom di dalam komplek TNI, Palembang (www.tribunenews.com). Â Pertengahan tahun 2018, kakak beradik berinisial YF dan FH yang tergolong masih anak-anak juga dilibatkan orang tuanya yang teroris, meledakkan diri di Gereja Santa Maria Tak Bercela Kota Surabaya, dan menelan lima korban tewas, termasuk keduanya (www.nasional.kompas.com).
Dalam banyak kasus, posisi anak yang terlibat dalam jaringan dan aksi-aksi terorisme kecenderungannya adalah sebagai bentuk pemanfaatan bahkan ekspolitasi. Oleh karena itu, KPAI misalnya, menempatkan posisi anak yang terlibat dalam terorisme pada dasarnya adalah korban, bukan pelaku (www.nasional.kompas.com). Paradigma ini menjadi pegangan komunitas intelijen dalam melaksanakan deteksi dini, pencegahan dan penangkalan terorisme anak. Merujuk pada pengalaman penanganan Bom Surabaya misalnya, berbagai peran strategis komunitas intelijen, termasuk deteksi dini, seharusnya bisa dijalankan secara baik sehingga bom bisa dicegah. Dalam penelitian Lusein dkk (2020) terungkap bahwa Komunitas Intelijen di Kota Surabaya memang telah bersinergi dalam hal perencanaan, pencarian dan pengumpulan informasi dari berbagai sumber untuk mendeteksi potensi, gejala atau peristiwa yang menjadi ancaman stabilitas nasional di Kota Surabaya. Hasil dari deteksi dini tersebut juga sudah disampaikan kepada Walikota Surabaya dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan pertimbangandalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan stabilitas nasional di kota Surabaya. Namun, Lusein dkk tidak menjelaskan lebih lanjut seperti apa substansi yang dibahas dalam proses deteksi dan apa materi dari rekomendasi komunitas intelijen yang diberikan kepada Walikota Surabaya? Rapat memang diselenggarakan secara periodik setiap bulan atau sewaktu-waktu diperlukan ditambah pembentukan Posko Kominda Kota Surabaya sesuai kebutuhan, tetapi publik tentu masih bertnya mengapa bom masih meledak ?
Masih menurut hasil penelitian Lusein dkk (2020), antar unsur Kominda kota Surabaya memang masih terjaga harmonisasi dalam pelaksanaan wewenang masing-masing instansi, demikian juga rasa saling percaya juga tetap terjaga dengan baik. Untuk mempercepat proses pencegahan dan penanggulangan potensi konflik dan ancaman keamanan yang lebih luas, Pemerintah Kota Surabaya juga bekerja sama dengan pemerintah propinsi Jawa Timur. Kominda Jatim membuat suatu aplikasi "SIAP MAS" (Sistem Informasi dan Aplikasi Pelaporan Masyarakat) sebagai instrumen pelaporan masyarakat berbasis android, antara lain meliputi pelaporan potensi konflik sosial, pelaporan perkembangan/kejadian radikal/teroris, Pelaporan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, Pelaporan kegiatan orang asing (tenaga kerja asing, wartawan asing, rohaniawan asing, peneliti asing), ormas asing dan lembaga asing, pelaporan perkembangan/aksi radikalisme/terorisme, pelaporan perkembangan/aksi sparatisme, pelaporan kebencanaan, pelaporan pelanggaran HAM, serta pelaporan kerawanan sosial dan keamanan/ ketertiban lainnya. Ini juga belum cukup menjawab pertanyaan, mengapa aksi bom bunuh diri yang melibatkan anak itu tetap tidak tercegah? Hasil penelitian Armawi (2013) barangkali sedikit bisa menjelaskan sebuah kemungkinannya, bahwa itu bisa terjadi karena terbatasnya informasi yang diberikan oleh Anggota Kominda sehingga tidak semua unsur anggota Kominda Surabaya dapat melakukan optimalisasi pencegahannya.
     Â
Kebijakan Deradikalisasi dan Rehabilitasi
Tingginya potensi terorisme anak di Indonesia perlu diantisipasi dengan berbagai kebijakan untuk mengatasinya. Terhadap potensi terorisme anak ini pendekatan penanganannya menjadi bagian dari kerangka besar penanganan terorisme di Indonesia. Seperti diketahui bahwa Indonesia menganut dua pendekatan dalam penanganan terorisme, yaitu pendekatan lunak (soft approach) dan pendekatan keras (hard approach). Hard approach biasanya dilakukan untuk menjamin keamanan melalui proses penegakan hukum maupun operasi militer untuk memberantas terorisme.
Meskipun hard approach ini memberikan hasil signifikan, tetapi pendekatan dengan kekerasan ini diperkirkan tidak akan efektif memberantas terorisme, sebab ini menyangkut masalah idiologi. Â Akar masalah terorisme berkenaan dengan keyakinan ideologis yang bertemu dengan masalah sosial, ekonomi, politik, bahkan budaya. Oleh karena itu, pendekatan soft approach diperlukan dalam penanganannya. Soft power dilakukan dengan non-senjata kepada para pelaku. Titik tekannya adalah bagaimana menghilangkan atau mengikis pemikiran-pemikiran radikal yang tertanam pada para pelaku terorisme (Firmansyah, 2019).
Pencegahan terorisme anak lebih menggunakan pendekatan soft approach. Pada tataran kebijakan dengan soft approach ini dituangkan menjadi bentuk-bentuk program deradikalisasi, rehabilitasi, dan penanaman multikultiuralisme di sekolah. Â Leading sector kebijakan deradikalisasi ada pada BNPT, sedangkan rehabilitasi ada pada Kementerian Sosial, adapun kebijakan penanaman multikulturalisme dipimpin oleh tiga Kementerian sekaligus, yaitu kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama dan Kementerian dalam Negeri.
Kebijakan deradikalisasi terhadap anak teroris oleh BNPT dilakukan kepada mereka yang berada di luar tahanan sebelum menjadi terpidana dengan mengambil fokus pada upaya perubahan kognitif atau memoderasi pemikiran atau keyakinan seseorang dengan berbagai pendekatan seperti pendekatan hukum, psikologi, agama, ekonomi, maupun sosial budaya. Strtategi ini dipandang efektif, dibandingkan ketika mereka sudah berstatus terpidana karena deradikalisasi yang dilakukan dalam penjara masih memberikan peluang kepada anak untuk mendapat pengaruh dari penghuni lapas lainnya sehingga akan mempersulit proses deradikalisasi itu sendiri (Firmansyah 2019).
Adapun kebijakan rehabilitasi sosial dilakukan terhadap pelaku tindak pidana serius seperti pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba, dan juga terorisme. Terhadap anak pelaku tindak pidana terorisme tidak dapat dilakukan diversi, namun dalam pedoman pelaksanaan rehabilitasi sosial vide Peraturan Menteri Sosial Nomor 9 tahun 2015 anak berumur kurang dari 12 tahun dan telah mendapat penetapan/putusan hukum tetap dapat dikenakan program rehabilitasi sosial. Dengan demikian anak pelaku tindak pidana terorisme, walaupun tidak dapat dikenakan diversi, tetap dapat dikenakan program rehabilitasi sosial setelah mendapatkan putusan dari pengadilan. Rehabilitasi sosial terhadap anak pelaku tindak pidana terorisme diselenggarkan oleh sebuah lembaga rehabilitasi di bawah Kementerian Sosial bernama LPKS (Lembaga PenyelenggaraanKesejahteraan Sosial).
Selain deradikalisasi dan rehabilitasi, dalam lingkup dunia pendidikan dasar menengah ada juga kebijakan penanaman nilai-niali multikulturalisme di sekolah. Pelaskanaanya didasarkan pada Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (SKB Tiga Menteri) ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama, Nomor 02/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, dan Nomor 219 Tahun 2021 Tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerinta Daerah Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (kecuali Sekolah di Propinsi Aceh). Isinya mengatur bahwa hak untuk memakai atribut keagamaan melekat pada individu, bukan menjadi keputusan sekolah maupun pemerintah daerah, sehingga Pemerintah Daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang penggunaan seragam dan atribut dengan kekhususan agama oleh peserta didik, pendidik, maupun tenaga kependidikan (Masthuri 2021).
PenutupÂ
Potensi terorisme anak di Indonesia sangat terbuka. Hal ini bisa dilihat dari data BNPT yang direlease oleh Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak. Selain faktor keluarga teroris, anak berpotensi masuk dalam gerakan terorisme sebagai dampak desruptif dari industri 4.0, melalui penyebarluasan konten-konten secara digital melalui medsos dll yang setiap saat dapat menyebabkan mereka terpapar paham radikalisme. Jumlah anak-anak terpapar radikalisme sudah pada tahap mengkhawatirkan, ini bisa dilihat dari beberapa hasil survey dan penelitian yang pernah dilakukan selama ini.
Terorisema anak, seperti halnya terorisme pada umumnya, merupakan ancaman yang sangat serius bagi keamanan nasional. Oleh karena itu negara perlu menempatkan ini menjadi salah satu isue prioritas, diikuti dengan penguatan komunitas intelijen secara nasional agar kemampuan deteksi dininya semakin baik, untuk mencegah terjadinya peristiwa teror yang membahayakan keamanan negara serta  keselamatan rakyat semesta.
Sejauh ini peran komunitas intelijen di daerah sudah cukup baik, tetapi dalam beberapa hal masih menghadapi sejumlah kendala, terutama soal sharing informasi antar anggota komunitas yang seringkali terbatasi oleh alasan kerahasiaan. Pada bagian lain, program deradikalisasi dan rehabilitasi hanya mampu memutus jaringan (disenggagement) dan tidak akan pernah bisa, atau setidaknya sangat sulit mengubah keyakinan idiologis mereka yang sudah terpapar. Sehingga ke depan pemerintah perlu mempertimbangkan strategi counter discourse terutama di media sosial untuk mengimbangi, bahkan menghantikan penyebaran doktrin sistem keyakinan yang selama ini begitu mudahnya masuk dan menemukan persemaiannya fikiran sebagian anak-anak Indonesia.Â
Â
DAFTAR PUSTAKA
Armawi, Armaidy (2013), Kajian Penguatan Komunitas Intelijen Daerah, Jurnal Mimbar Hukum Vol 25 No.1 2013, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Dewi, Citra (2017), Boko Haram Kian Gencar Jadikan Anak-Anak Bomber Bunuh Diri, https://www.liputan6.com/global/read/3067970/boko-haram-kian-gencar-jadikan-anak-anak-bomber-bunuh-diri, 23 Agustus 2017, diakses 17/03/2021 Pukul 16.30 WIB
Firmansyah, Ridho (2019), Rehabilitasi dan Deradikalisasi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Terorisme, Jurnal Jurist-Diction: Vol. 2 No. 2, Maret 2019
Hayadin (2017), Layanan Pendidikan Agama Sesuai Agama Siswa di Sekolah, Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, 15 (1), 2017, 13-31
Jurnaliston, Reza, Â KPAI Sebut Anak dalam Aksi Teror adalah Korban, Â https://nasional.kompas.com/read/2018/05/15/14422631/kpai-sebut-anak-dalam-aksi-teror-adalah-korban?page=all, 15 Mei 2018, diakses 18/03/2021, pukul 01.02 WIB
Kuwado, Febian Januarius, Anak-anak Terlilit Bom dan Meledakkan Diri, Pelaku atau Korban?, https://nasional.kompas.com/read/2018/05/15/10101531/anak-anak-terlilit-bom-dan-meledakkan-diri-pelaku-atau-korban?page=all, 15 Mei 2018, diakses 18/03/2021, Pukul 00.49 WIB
Lusein, Apriles, Gede Sumertha dan Bambang Wahyudi (2020), Sinergi Komunitas Intelijen Daerah Dalam Membantu Pencegahan Potensi Konflik di Kota Surabaya Tahun 2018, Jurnal Damai dan Resolusi Konflik | Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020
Mareta, Josefin (2018), Rehabilitasi Dalam Upaya Deradikalisasi Narapidana Terorisme, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47 No.4, Oktober 2018, Halaman 338-356 p-ISSN : 2086-2695, e-ISSN : 2527-4716
Masthuri, Budhi (2021), Tantangan Multikulturalisme di Sekolah, Paper, Manuskrip 2021
Movanita, Ambaranie Nadia Kemala (2016), "Beredar Video Kelompok Diduga ISIS Bakar Paspor Indonesia yang Libatkan Anak-anak", https://nasional.kompas.com /read/2016/05/19/06564951/beredar.video.kelompok.diduga.isis.bakar.paspor.indonesia.yang.libatkan.anak-anak, diakses 17/03/2021 pukul 00.00 WIB
Mukasmar, Maszielal Syafriansyah Fitrah (2018), Kajian Hukum Internasional Perekrutan Anak Sebagai Pasukan Perang (Combatant), Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, 2018.
Muthahhari, Terry (2017), Survei UIN Jakarta: Intoleransi Tumbuh di Banyak Sekolah dan Kampus, https://tirto.id/survei-uin-jakarta-intoleransi-tumbuh-di-banyak-sekolah-dan-kampus-czQL, 8 Nopember 2017, diakses 16/04/2021, Pukul 00.48 WIB
Prabowo, Kautsar Widya (2019), 1.800 Anak Pelaku Terorisme Tidak Terjamah Pemerintah, https://www.medcom.id/nasional/hukum/lKY6ZoWN-1-800-anak-pelaku-terorisme-tidak-terjamah, 30 Maret 2019, diakses 17/03/2021, Pukul 10.18 WIB
Sutriyanto (ed), Pelaku Teror Bom di Komplek TNI Talang Aman Palembang, Ternyata Masih Anak-Anak, https://www.tribunnews.com/regional/2019/12/10/pelaku-teror-bom-di-komplek-tni-talang-aman-palembang-ternyata-masih-anak-anak, 10 Desember 2019, diakses 18/03/2021, Pukul 00.38 WIB
__________. Tentara Anak di Afrika dan Berbagai Dampaknya, Â https://parstoday.com/id/radio/world-i46348-tentara_anak_di_afrika_dan_ berbagai_dampaknya, 29 Oktober 2017, diakses 18/03/2021 Pukul 00.24 WIB
___________ Berapa Banyak Anak-Anak Dilibatkan Dalam Jaringan Teror? www.bbc.com/ indonesia/indonesia-39263678,edisi 15 Maret 2017, diakses 17/03/2021, Pukul 00.46 WIB
Final Reeport of The Commission on the Roles and Capabilities of the United States Intelligence Community, 1996
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Komunitas Intelijen Daerah
UNICEF (2003) Guide to the Optional Protocol on the Involvement of Children in Armed Conflict, The United Nations Children's Fund (UNICEF): New York.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H