Dalam banyak kasus, posisi anak yang terlibat dalam jaringan dan aksi-aksi terorisme kecenderungannya adalah sebagai bentuk pemanfaatan bahkan ekspolitasi. Oleh karena itu, KPAI misalnya, menempatkan posisi anak yang terlibat dalam terorisme pada dasarnya adalah korban, bukan pelaku (www.nasional.kompas.com). Paradigma ini menjadi pegangan komunitas intelijen dalam melaksanakan deteksi dini, pencegahan dan penangkalan terorisme anak. Merujuk pada pengalaman penanganan Bom Surabaya misalnya, berbagai peran strategis komunitas intelijen, termasuk deteksi dini, seharusnya bisa dijalankan secara baik sehingga bom bisa dicegah. Dalam penelitian Lusein dkk (2020) terungkap bahwa Komunitas Intelijen di Kota Surabaya memang telah bersinergi dalam hal perencanaan, pencarian dan pengumpulan informasi dari berbagai sumber untuk mendeteksi potensi, gejala atau peristiwa yang menjadi ancaman stabilitas nasional di Kota Surabaya. Hasil dari deteksi dini tersebut juga sudah disampaikan kepada Walikota Surabaya dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan pertimbangandalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan stabilitas nasional di kota Surabaya. Namun, Lusein dkk tidak menjelaskan lebih lanjut seperti apa substansi yang dibahas dalam proses deteksi dan apa materi dari rekomendasi komunitas intelijen yang diberikan kepada Walikota Surabaya? Rapat memang diselenggarakan secara periodik setiap bulan atau sewaktu-waktu diperlukan ditambah pembentukan Posko Kominda Kota Surabaya sesuai kebutuhan, tetapi publik tentu masih bertnya mengapa bom masih meledak ?
Masih menurut hasil penelitian Lusein dkk (2020), antar unsur Kominda kota Surabaya memang masih terjaga harmonisasi dalam pelaksanaan wewenang masing-masing instansi, demikian juga rasa saling percaya juga tetap terjaga dengan baik. Untuk mempercepat proses pencegahan dan penanggulangan potensi konflik dan ancaman keamanan yang lebih luas, Pemerintah Kota Surabaya juga bekerja sama dengan pemerintah propinsi Jawa Timur. Kominda Jatim membuat suatu aplikasi "SIAP MAS" (Sistem Informasi dan Aplikasi Pelaporan Masyarakat) sebagai instrumen pelaporan masyarakat berbasis android, antara lain meliputi pelaporan potensi konflik sosial, pelaporan perkembangan/kejadian radikal/teroris, Pelaporan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, Pelaporan kegiatan orang asing (tenaga kerja asing, wartawan asing, rohaniawan asing, peneliti asing), ormas asing dan lembaga asing, pelaporan perkembangan/aksi radikalisme/terorisme, pelaporan perkembangan/aksi sparatisme, pelaporan kebencanaan, pelaporan pelanggaran HAM, serta pelaporan kerawanan sosial dan keamanan/ ketertiban lainnya. Ini juga belum cukup menjawab pertanyaan, mengapa aksi bom bunuh diri yang melibatkan anak itu tetap tidak tercegah? Hasil penelitian Armawi (2013) barangkali sedikit bisa menjelaskan sebuah kemungkinannya, bahwa itu bisa terjadi karena terbatasnya informasi yang diberikan oleh Anggota Kominda sehingga tidak semua unsur anggota Kominda Surabaya dapat melakukan optimalisasi pencegahannya.
     Â
Kebijakan Deradikalisasi dan Rehabilitasi
Tingginya potensi terorisme anak di Indonesia perlu diantisipasi dengan berbagai kebijakan untuk mengatasinya. Terhadap potensi terorisme anak ini pendekatan penanganannya menjadi bagian dari kerangka besar penanganan terorisme di Indonesia. Seperti diketahui bahwa Indonesia menganut dua pendekatan dalam penanganan terorisme, yaitu pendekatan lunak (soft approach) dan pendekatan keras (hard approach). Hard approach biasanya dilakukan untuk menjamin keamanan melalui proses penegakan hukum maupun operasi militer untuk memberantas terorisme.
Meskipun hard approach ini memberikan hasil signifikan, tetapi pendekatan dengan kekerasan ini diperkirkan tidak akan efektif memberantas terorisme, sebab ini menyangkut masalah idiologi. Â Akar masalah terorisme berkenaan dengan keyakinan ideologis yang bertemu dengan masalah sosial, ekonomi, politik, bahkan budaya. Oleh karena itu, pendekatan soft approach diperlukan dalam penanganannya. Soft power dilakukan dengan non-senjata kepada para pelaku. Titik tekannya adalah bagaimana menghilangkan atau mengikis pemikiran-pemikiran radikal yang tertanam pada para pelaku terorisme (Firmansyah, 2019).
Pencegahan terorisme anak lebih menggunakan pendekatan soft approach. Pada tataran kebijakan dengan soft approach ini dituangkan menjadi bentuk-bentuk program deradikalisasi, rehabilitasi, dan penanaman multikultiuralisme di sekolah. Â Leading sector kebijakan deradikalisasi ada pada BNPT, sedangkan rehabilitasi ada pada Kementerian Sosial, adapun kebijakan penanaman multikulturalisme dipimpin oleh tiga Kementerian sekaligus, yaitu kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama dan Kementerian dalam Negeri.
Kebijakan deradikalisasi terhadap anak teroris oleh BNPT dilakukan kepada mereka yang berada di luar tahanan sebelum menjadi terpidana dengan mengambil fokus pada upaya perubahan kognitif atau memoderasi pemikiran atau keyakinan seseorang dengan berbagai pendekatan seperti pendekatan hukum, psikologi, agama, ekonomi, maupun sosial budaya. Strtategi ini dipandang efektif, dibandingkan ketika mereka sudah berstatus terpidana karena deradikalisasi yang dilakukan dalam penjara masih memberikan peluang kepada anak untuk mendapat pengaruh dari penghuni lapas lainnya sehingga akan mempersulit proses deradikalisasi itu sendiri (Firmansyah 2019).
Adapun kebijakan rehabilitasi sosial dilakukan terhadap pelaku tindak pidana serius seperti pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba, dan juga terorisme. Terhadap anak pelaku tindak pidana terorisme tidak dapat dilakukan diversi, namun dalam pedoman pelaksanaan rehabilitasi sosial vide Peraturan Menteri Sosial Nomor 9 tahun 2015 anak berumur kurang dari 12 tahun dan telah mendapat penetapan/putusan hukum tetap dapat dikenakan program rehabilitasi sosial. Dengan demikian anak pelaku tindak pidana terorisme, walaupun tidak dapat dikenakan diversi, tetap dapat dikenakan program rehabilitasi sosial setelah mendapatkan putusan dari pengadilan. Rehabilitasi sosial terhadap anak pelaku tindak pidana terorisme diselenggarkan oleh sebuah lembaga rehabilitasi di bawah Kementerian Sosial bernama LPKS (Lembaga PenyelenggaraanKesejahteraan Sosial).
Selain deradikalisasi dan rehabilitasi, dalam lingkup dunia pendidikan dasar menengah ada juga kebijakan penanaman nilai-niali multikulturalisme di sekolah. Pelaskanaanya didasarkan pada Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (SKB Tiga Menteri) ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama, Nomor 02/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, dan Nomor 219 Tahun 2021 Tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerinta Daerah Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (kecuali Sekolah di Propinsi Aceh). Isinya mengatur bahwa hak untuk memakai atribut keagamaan melekat pada individu, bukan menjadi keputusan sekolah maupun pemerintah daerah, sehingga Pemerintah Daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang penggunaan seragam dan atribut dengan kekhususan agama oleh peserta didik, pendidik, maupun tenaga kependidikan (Masthuri 2021).
PenutupÂ