Komunitas Intelijen Daerah
Peran dan misi intelijen tidaklah statis, ia dipengaruhi oleh perubahan lingkungan sosial politik di sekitarnya, seperti teknologi, dan kebutuhan Pemerintah. Menurut CRC empat peran fungsional untuk intelijen adalah melakukan pengumpulan informasi, membuat analisa, melakukan tindakan rahasia, dan kontraintelijen, serta sejumlah "misi" dalam hal memberikan dukungan substantif untuk fungsi pemerintahan tertentu. Dalam prktiknya intelijen bahkan memiliki misi untuk memberikan dukungan untuk diplomasi, operasi militer, dan perencanaan pertahanan, termasuk untuk melawan kegiatan terlarang di luar negeri yang mengancam kepentingan negara seperti terorisme, perdagangan narkotika, dll (Final Report CRC, 1996).
 Di Indonesia, peran intelijen juga diwadahi dan dilekatkan dalam Komunitas Intelijen yang kedudukannya sampai pada daerah administratif kabupaten/ kota. Komunitas intelijen memegang peran sangat penting dalam melakukan deteksi dini terhadap berbagai potensi ancaman yang bersumber dari setiap usaha dan kegiatan baik dari dalam maupun luar negeri yang dinilai membahayakan kedaulatan, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa serta kepentingan nasional lainnya. Termasuk dalam ancaman ini adalah terorisme yang melibatkan anak-anak.
Merujuk pada Permendagri No. 16 Tahun 2011, Komunitas Intelijen Daerah atau yang juga populer dengan sebutan Kominda adalah forum komunikasi dan koordinasi unsur intelijen dan unsur pimpinan daerah di provinsi dan kabupaten/kota, dengan penanggungjawab Kepala Daerah. Tugas dan kewajiban Gubernur dan Bupati/Walikota selama memimpin Kominda meliputi (1) pembinaan dan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban masyarakat terhadap kemungkinan timbulnya ancaman stabilitas nasional di daerah; (2) khusus untuk Gubernur, mengoordinasikan bupati/walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketentraman, ketertiban, dan perlindungan masyarakat, dengan meningkatkan peran dan fungsi Kominda; dan (3) mengoordinasikan fungsi dan kegiatan instansi vertikal di provinsi sebagai jaringan intelijen.
Keanggotaan Kominda terdiri dari Wakil Kepala Daerah, Kepala Pos Wilayah Badan Intelijen Negara (khusus untuk Kominda level Propinsi), Kepala Badan Kesbangpol, Unsur Intelijen dari Badan Intelijen Negara, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Tinggi, Imigrasi, Bea dan Cukai dan unsur terkait lainnya. Adapun tugasnya adalah; (1) merencanakan, mencari, mengumpulkan, mengoordinasikan, dan mengomunikasikan informasi/bahan keterangan dan intelijen dari berbagai sumber mengenai potensi, gejala, atau peristiwa yang menjadi ancaman stabilitas nasional di daerah; dan, (2) memberikan rekomendasi sebagai bahan pertimbangan bagi Kepala Daerah mengenai kebijakan yang berkaitan dengan deteksi dini, peringatan dini dan pencegahan dini terhadap ancaman stabilitas nasional di daerah.
Pelaksanaan penyelenggaraan tugas Kominda di provinsi dilaporkan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Menteri Pertahanan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Keuangan, Kepala Badan Intelijen Negara, Jaksa Agung Republik Indonesia, Panglima Tentara Nasional Indonesia dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sedangkan pelaksanaan penyelenggaraan Kominda di kabupaten/kota dilaporkan oleh bupati/walikota kepada gubernur dengan tembusan kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusla, Menteri Keuangan, Kepala Badan Intelijen Negara, Jaksa Agung, Panglima Tentara Nasional Indonesia dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta unsur pimpinan daerah provinsi.
Beberapa permasalahan klasik yang sering dihadapi adalah soal kordinasi dan komunikasi. Armawi dalam penelitiannya menemukan bahwa kordinasi berkesinambungan yang sangat diperlukan untuk membahas isu-isu strategis, termasuk permasalahan terorisme sejauh ini tidak salalu mudah dilakukan. Tidak hanya soal menjaga kesinambungan, keaktifan anggota Kominda dalam sharing dan eksplorasi informasi juga itu-itu saja, biasanya  hanya dari Polres, Kodim, Den Intel Kodam, dan BIN, itu pun tidak semua informasi diberikan, sebab beberapa informasi kadangkala dianggap bernilai  sangat  rahasia sehingga  tidak diberikan dengan alasan mencegah  kebocoran (Armawi 2013). Hal  seperti ini pada akhirnya membuat  Kominda  tidak  memiliki informasi  yang  akurat  mengenai  isu  strategis, seperti  terorisme,  karena  tidak  semua  informasi dapat  diberikan.
Deteksi Ancaman TerorismeÂ
Terorisme yang memanfaatkan anak sangat mengancam kemanan nasional, karena mereka lebih mudah menyusup atau disusupkan dengan tanpa kecurigaan terhadapnya. Pusat Anti Teroris Amerika Serikat mengungkap bahwa salah satu alasan mengapa kelompok teroris seperti Boko Haram memanfaatkan perempuan dan anak-anak dalam operasi militer bom bunuh diri mereka karena rendahnya kecurigaan aparat keamanan terhadap perempuan dan anak-anak sehingga tidak diperiksa secara teliti (www.parstoday.com).
Di Indonesia setidaknya terdapat beberapa kasus terorisme yang melibatkan anak-anak pernah terjadi dan mengancam keamanan nasional. Akhir tahun 2019 lalu seorang anak dibawah umur berusaha meledakkan bom di dalam komplek TNI, Palembang (www.tribunenews.com). Â Pertengahan tahun 2018, kakak beradik berinisial YF dan FH yang tergolong masih anak-anak juga dilibatkan orang tuanya yang teroris, meledakkan diri di Gereja Santa Maria Tak Bercela Kota Surabaya, dan menelan lima korban tewas, termasuk keduanya (www.nasional.kompas.com).