Mohon tunggu...
Budhi Masthuri
Budhi Masthuri Mohon Tunggu... Seniman - Cucunya Mbah Dollah

Masih Belajar Menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sawit dan Ketergantungan Sosial, Berkaca dari Asahan

7 April 2021   14:08 Diperbarui: 7 April 2021   14:20 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika diuraikan lebih lanjut, unsur mafia sawit ini terdiri dari penampung, Organisasi Kepemudaan (OKP), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM); RAMP; PKS tanpa kebun; aktor intelektual; pemodal; bandar narkoba; oknum-oknum karyawan nakal; dan beking (Junaedi, 2020).

Aksi mafia sawit di lapangan mulai terhambat dengan strategi kanalisasi batas terluar perkebunan yang berhasil memotong jalur transportasi dan mobilitas para Ninja Sawit, dan akhirnya memaksa mereka berhenti atau setidaknya mengurangi aktivitas pencurian TBS. Meskipun demikian, para mafia sawit ini diduga terus mengakumulasi kapital ekonominya dengan membuka area perkebunan rakyat dan membangun pabrik-pabrik pengloahan CPO.

Perkebunan sawit rakyat di Asahan memang berkembang pesat dalam periode yang hampir sama dengan fenomena Ninja Sawit. Bahkan ketika itu masyarakat beramai-ramai melakukan alih lahan pertanian mereka dari komoditas coklat menjadi sawit (Hanum dan Krisna Murthi, 2018). Sampai saat ini luasan lahan perkebunan sawit rakyat di Asahan telah mencapai 75.368,19 Ha dengan kapasitas produksi 1.611.748,50 ton/tahun. 

Merujuk data laporan Bareskrim Polri No. TBL/937/XII/2017 di atas, patut diduga sebagian diantara perkebunan sawit rakyat tersebut tidak bisa dilepaskan sama sakali dari persinggungan akumulasi modal ekonomi bersumber dari praktik mafia sawit yang terjadi. Pada saat yang sama, pengalihfungsian lahan pertanian tersebut juga menunjukkan bahwa sawit sudah sangat diterima bahkan menjadi tempat masyarakat menggantukan ekonominya.

Selain itu, ada juga aktor Ninja Sawit yang melakukan konversi modal ekonomi yang dimilikinya menjadi modal politik, antara lain dengan mengikuti kontestasi pemilihan anggota legislatif, dll. Informasi seperti ini setidaknya sudah menjadi rahasia umum, saking terbuka dan gamblangnya praktik pencurian TBS oleh Ninja Sawit dalam periode tersebut, sehingga siapa saja terduga pelakunya bisa diketahui dengan mudah. 

Akibat dari proses akumulasi modal politik ini, bisnis sawit di Asahan pada akhirnya masuk menjadi bagian dari dinamika dan memberikan pengaruh pada aspek sosial, politik dan kebijakan. Tidak hanya soal perijinan, tetapi juga kebijakan pembangunan infra struktur dan rekomendasi perpangangan serta rencana realokasi HGU yang akan berakhir.

Besarnya kontribusi kelapa sawit terhadap pemasukan daerah dan dampaknya yang sigifikan terhadap sosial ekonomi masyarakat di Asahan (Abdina dkk, 2018) tentu saja memberi pengaruh terhadap proses sustainability industri perkebunan kelapa sawit. Besaran kontribusi tersebut dapat dilihat dalam data Prooduk Domestik Regional Bruto (PDRB)  Kabupaten Asahan yang menunjukkan bahwa kelapa sawit menjadi penopang utama struktur ekonomi di Asahan yang didukung oleh produk manufaktur yang juga merupakan penyangga sawit seperti pabrik-barik minyak sawit, dll (BPS Asahan 2021).

Berdasarkan uraian di atas, disadari atau tidak, dominasi sawit di Asahan pada akhirnya menciptakan ketergantungan ekonomi dan sosial yang tinggi bagi masyarakat dan pemerintah daerahnya. Dalam kondisi seperti ini program sustainability industri perkebunan kelapa sawit bisa jadi akan mengalami kendala tersendiri. 

Penataan aspek legal dan lingkungan misalnya, sangat mungkin akan menghadapi hambatan dari masyarakat yang selama ini sudah merasa nyaman mengelola perkebunan sawit dengan mengabaikan prinsip-prinsip legalitas dan kelestarian lingkungan hidup (www.daerah.simdo.com) . Di sisi lain, kuatnya relasi politik pebisnis sawit dengan pemerintah daerah, akan menjadi jalan yang memudahkan pemberian rekomendasi perpanjangan HGU dan tidak optimalnya proses-proses fasilitasi penyelesaian konflik sosial antara masyarakat dengan para pemilik perkebunan sawit, dan ini akan selalu menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah diselesaikan.

*) edisi revisi dari tulisan asli Budhi Masthuri berjudul: Sawit dan Ketergantungan Ekonomi Sosial Masyarakat di Kabupaten Asahan

 DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun