Relasi kuasa dengan Youtube mulai terjadi pada saat seorang calon Youtuber membuat kanal youtube. Agar persyaratan menjadi Youtuber diketahui, Youtube juga memproduksi informasi syarat dan cara membuat kanal youtube. Informasi ini menjadi pengetahuan dan disiarkan terus menerus oleh Youtube maupun para Youtuber profesional yang telah terlebih dahulu malang-melintang dalam dunia per-youtuban, dan kemudian bertranformasi menjadi episteme, mengikat bahkan memaksa seorang Youtuber pemula untuk mengikutinya, seakan tidak ada pilihan menolak, bahkan pada saat dimana Youtube belum menggaji mereka sepeser-pun.
Untuk membuat kanal Youtube, seorang calon Youtuber harus punya pengetahuan tentang, dan memiliki akun google. Ia harus memilih menu setting dan meng-klik "create a new channel". Bagian terpenting yang menjadi pengetahuan seorang calon Youtuber adalah bahwa Ia harus setuju dan menundukkan diri pada "youtube term of service". Ini berisi seperangkat aturan yang powerfull tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, serta penjelasan tentang kekuasaan Youtube untuk mengambil tindakan terhadapan sebuah kanal. Pada level ini, relasi kuasa antara seorang calon Youtuber dengan Youtube terbentuk agak cair, dalam pengertian bahwa apabila Ia tidak setuju dengan syarat dan ketentuan tersebut masih punya pilihan yang mudah untuk tidak melanjutkan langkahnya sebagai youtuber. Akan tetapi sebaliknya, jika berkeinginan menjadi Youtuber, maka tidak punya pilihan kecuali harus menundukkan diri terhadap term of service tersebut.
Level relasi kuasa selanjutnya dapat dilihat setelah seseorang memiliki kanal Youtube dan mulai terikat terhadap pengetahuan tentang bagaimana menjadi seorang Youtuber yang berhasil, seperti apa konten yang boleh atau tidak boleh diposting, bagaimana cara memperoleh subscriber yang sah, dan vewer yang diakui, dll. Pengetahuan seperti ini diproduksi oleh para Youtuber profesional dan disiarkan secara berulang-ulang melalui kanal-kanal mereka dalam bentuk video-video tutorial, selanjutnya menjadi episteme yang menggerakkan alam bawah sadar para Youtuber pemula untuk mematuhinya. Rezim wacana menguasai para Youtuber pemula, mereka dipaksa mengikuti konsep ideal tentang sosok Youtuber yang berhasil sesuai gambaran pengetahuan yang diproduksi, diperkenalkan dan disiarkan secara berulang oleh para Youtuber profesional. Beberapa Youtuber profesional yang berpengaruh dapat diidentifikasi dari jumlah subscriber mereka, seperti misalnya Yudist Ardhana 9.850.000 subscriber, Khairunnisa Adlina 842.000 subscriber, Den DC 597.000 subscriber, Jobs Riset TV 517.000 subscriber, Niko_Channel 298.000 subscriber, dan banyak lagi. Setiap hari video-video tutorial mereka ini berseliweran dan muncul di halaman depan kanal para Youtuber pemula yang mengikutinya.
Substansi pengetahuan tentang standar sosok Youtuber yang berhasil selanjutnya direproduksi oleh pihak Youtube menjadi beberapa perangkat aturan. Pelanggaran terhadap perangkat aturan ini bisa berakibat fatal, kanal youtube bisa kena suspen bahkan dihapus tanpa kompromi dan tidak ada negosiasi.Sampai di sini Youtube juga bisa bertransformasi sebagai souvereign power, ditandai dengan penjatuhan sanksi bagi siapapun Youtuber yang melawannya (baca:melakukan pelanggaran), tanpa melihat apakah mereka sudah memperoleh atau belum memperoleh gaji dari aktivitas pekerjaanya sebagai Youtuber.
Seorang Youtuber mulai menerima gaji ketika kanal yotube-nya sudah dimonetisasi. Untuk memperoleh monetisasi, kanal youtube seorang Youtuber harus memenuhi persyaratan dan mematuhi kebijakan; tinggal di negara atau wilayah tempat Program Partner YouTube tersedia, memiliki lebih dari 4.000 jam waktu tonton publik yang valid dalam 12 bulan terakhir, memiliki lebih dari 1.000 subscriber dan memiliki akun AdSense yang ditautkan. Proses monetisasi ini tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui pengajuan. Youtuber yang sudah memenuhi persyaratan jumlah minimum subscriber dan jam tonton publik dapat mengajukan permohonan monetisasi. Selanjutnya Youtube akan melakukan peninjauan standar untuk memeriksa kepatuhan kanal seorang Youtuber terhadap kebijakan dan pedoman Youtube. Penolakan permohonan bisa saja dilakukan apabila ditemukan bahwa sebagian besar tindakan Youtuber dan kontennya tidak memenuhi kebijakan serta pedoman. Setelah proses monetisasi diterima, maka Youtube sudah dapat menyiapkan preferensi iklan dan mengaktifkan monetisasi pada video yang diupload oleh seorang Youtuber.
Syarat dan ketentuan tentang proses monetisasi dari Youtube selanjutnya kembali diproduksi menjadi pengetahuan oleh para Youtuber profesional dan disiarkan secara berulang-ulang. Proses ini kembali membentuk episteme tentang standarisasi sosok Youtuber yang berhasil, yaitu mereka yang viewernya banyak, menghasilkan uang (monetisasi) dan harus menundukkan diri pada kuasa Youtube. Pada level ini relasi kuasa antara Youtuber dengan Youtube lebih solid. Seorang Youtuber akan semakin terikat dan tertundukkan untuk mengikuti peraturan, syarat, dan mereplikasi diri ke dalam konsepsi sosok Youtuber yang berhasil. Episteme telah menormalisasikan para Youtuber pemula sehingga tanpa disadari mereka mengikuti apapun yang harus dilakukan agar menjadi Youtuber yang dianggap berhasil.
NILAI TENTANG PEKERJAAN SEBAGAI YOUTUBER
Pengetahuan tentang nilai pekerjaan pada umumnya dijelaskan dalam penelitian Nurani Siti Anshori (Anshori, 2013). Nilai tersebut memaksa seseorang menyesuaikan diri, termasuk mematuhi serta menjaga etika dan norma sosial yang ada agar memperoleh pengakuan positif tentang pekerjaanya. Ini sedikit berbeda dengan nilai tentang pekerjaan sebagai Youtuber. Bisa dilihat dari ragam konten yang disajikan mereka, meskipun menabrak nilai sosial, budaya dan etik, toch tetap memperoleh tempat, bahkan diendorse/disematkan iklan sehingga menjadi sumber penghasilan.
Kanal Youtube  adalah sarana  berbagi  video  secara online, isinya dapat dikualifikasi menjadi vlog, challenge, tutorial, review dan react (Fitriawati dan Ratnasary, 2018). Kualifikasi tersebut tergambar sebagai jenis aktivitas bekerja seorang Youtuber yang seringkali berbeda dengan nilai-nilai tentang pekerjaan dalam berbagai penelitian sosial sebelumnya (Anshori 2013, Thamrin & Bashir 2015). Selama ini, bekerja dan pekerjaan mengandung nilai secara ekonomi, sosial juga psikologis. Bekerja adalah upaya mencari uang sekaligus memperoleh pengakuan sosial dan ketenangan serta kebahagiaan hidup. Pengetahuan tentang nilai ini menjadi rezim wacana yang memaksa serta mengikat seseorang untuk mematuhi etika dan norma sosial agar memperoleh pengakuan sebagai pekerja (Anshori, 2013), tidak demikian halnya dengan pekerjaan sebagai Youtuber
Tantangan pekerjaan sebagai seorang Youtuber adalah bagaimana meraih sebanyak mungkin viewer atas konten video yang disiarkan dalam kanal youtube-nya. Jumlah Viewer adalah kunci yang sangat menentukan bisa tidaknya kanal dimonetisasi, serta seberapa banyak iklan yang akan disematkan. Oleh karena itu, dituntut krativitas yang tinggi, unik, dan tidak jarang mengandung kontroversi, bahkan menabrak norma-norma dan etika sosial budaya dalam masyarakat. Semakin kreatif, unik dan kontroversial sebuah konten youtube, maka akan semakin ramai pula dikunjungi dan ditonton. Setelah itu iklan akan disematkkan dan pundi-pundi penghasilan mengalir tanpa batas waktu. Ini bisa ditemukan misalnya di kanal Youtuber  Ferdian Faleka yang sempat kontroversi karena konten frank-nya memberi kado sampah kepada sekelompok waria, Youtuber Hasan Abdillah yang pernah menjadi sorotan dengan video prank memesan enam kotak pizza sampai  Rp 1 juta, tetapi saat orderan tersebut tiba mengaku tidak membuat orderan hingga membuat driver ojol menangis, ada juga Youtuber Ericko 'Soapking' Lim yang sangat kontroversi karena konten youtube-nya kurang terpuji, memakan bulu kemaluannya sendiri dengan roti (Listianti,2020).
Kreatifitas seorang Youtuber kadang menggeser nilai-nilai tentang kerja yang selama ini menjadi pengetahuan dan standar moral sosial. Dalam dunia kerja seorang Youtuber, kreativitas menjadi pengetahuan dan nilai yang dominan selain nilai ekonomi. Kreativitas menjadi penanda sekaligus penentu eksistensi dan keberhasilan seorang Youtuber untuk memperoleh gaji/penghasilan sebanyak mungkin dari Youtube. Berbeda dengan pekerja konvensional, seorang Youtuber tidak terlalu memerlukan pengakuan sosial di lingkungannya. Statusnya sebagai Youtuber tidak menyebabkan kelas sosialnya menjadi lebih tinggi, seperti halnya ketika seorang menjadi PNS, Hakim, Jaksa atau Pegawai Bank. Jikapun terjadi pengakuan dan perubahan kelas sosial, itu semata-mata karena materi kekayaan yang dihasilkan dari pekerjaanya sebagai Youtuber.