Untuk menjaga keberlangsungan kebijakan inovasi tersebut, pemerintahan Hasto Wardoyo juga menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Pasar Tradisional Satu Atap serta Penataan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Salah satu konsekwensi akibat dari Perda ini misal dilakukannya perubahan nama toko modern berjejaring dalam lokasi tertentu menjadi TOMIRA, kependekatn dari Toko Milik Rakyat.Â
Meskipun behind the story dari perubahan nama tersebut adalah hasil dari negosiasi jalan tengah berkenaan dengan pemberlakuan Perda yang berkonsekwensi pada penertiban toko modern berjejaring yang tidak memenuhi syarat jarak minimal dengan pasar tradisional, tetapi penyusunan dan pelaksanaan Perda serta deklarasi di Alun-Alun Kota terbukti mejadikan proses defusi inovasi berjalan baik dan mampu mencegah terjadinya penolakan.
Pada akhirnya kebijakan Inovasi Bela-Beli ini mulai dirasakan manfaatnya bagi masyarakat dan pemerintah kabupaten Kulon Progo. Menurut hasil penelitian Roslina dkk, setidaknya ada empat manfaat nyata yang dirasakan yaitu; meningkatkan kesejahteraan masyarakat; meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD); Mengurangi angka kemiskinan; serta  meningkatkan rasa kepedulian masyarakat dan rasa cinta terhadap produk-produk lokal Kabupaten Kulon Progo (Roslina dkk, 2018).
Rahasia keberhasilan Hasto Wardoyo dalam melahirkan berbagai kebijakan inovasi dalam kepemimpinannya dapat dijelaskan dengan teori esensi inovasi Kevin McManus. Ada tiga esensi pendorong inovasi dalam sebuah kepemimpinan yaitu; empowerment, engagment, dan creativity. Tiga esensi pendorong inovasi dalam teori McManus ini menjadi determinasi yang melahirkan berbagai inovasi, termasuk kebijakan inovasi Bela-Beli. Proses empowerment atau pemberdayaan dilakukan Hasto dengan cara pelibatan OPD (Organisasi Pemerintahan Daerah) menjadi fasilitatur dan inkubator inovasi. Masyarakat Kulon Progo juga dimotivasi sedemikian rupa dengan cara mendorong kemitraan bersama perusahaan swasta melalui koperasi dan toko modern berjejaring. Terpenting dari itu adalah disiapkannya perangkat hukum yang memayungi inovasi-inovasi tersebut.
Sepeninggalan Hasto, Pemerintahan Kulonprogo menghadapi tantangan dalam menjaga keberlanjutan berbagai inovasi, terutama Bela Beli ini. Untuk menjawab tantangan tersebut, proses inovasi yang selama ini sudah dijalankan harus mampu membentuk sistem inovasi yang mewadahi keterhubungan antara aktor, kelembagaan, jaringan, kemitraan, serta interaksi dan proses produktif serta pembelajaran yang terjadi (Taufiq, 2007).Â
Perda Nomor 11 Tahun 2011 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Pasar Tradisional Satu Atap serta Penataan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern warisan pemerintahan Hasto Wardoyo bisa menjadi modal yang cukup untuk menjamin keberlanjutan kebijakan inovasi Bela-Beli. Pada masa akan datang bisa saja terhadap Perda tersebut dilakukan amandemen untuk memberikan ruang pemberdayaan dan kemandirian yang lebih luas, sebab sejauh ini kemitraan koperasi dengan toko modern berjejaring (TOMIRA) dalam praktiknya masih memberikan ruang yang terbatas bagi pelaku UMKM, terutama untuk memasok barang-barang produksinya karena adanya mekanisme seleksi yang ketat oleh Koperasi (Ferdian, Johan, 2019).Â
Tentu hal ini tidak akan menjadi masalah jika pada saat yang sama Dinas terkait dan toko modern berjejaring serta koperasi menjalankan program penguatan kapasitas berproduksi secara baik dan berkala.
*) Tulisan ini adalah ringkasan dari manuskrip karya Budhi Masthuri (Penulis Sendiri) berjudul "Pemimipin Transformatif, dan Legacy Inovasi dari Kaki Menoreh", ditulis 29 Oktober 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H