Katamu, kau butuh seseorang yang sama denganmu, setidaknya, yang mampu berjalan bersama untuk meraih mimpi itu. Tapi aku ingin menjadi manusia biasa saja karena aku terlampau lelah…
Mungkin bagimu aku pengecut yang lari dari mimpi. Mungkin itu benar.. Sebab terlampau banyak kesedihan dan keresahan yang tertampung dan itu membuatku merasa sakit. Bukan berarti aku berhenti, tapi dengan menyederhanakan pikiran dan melebur menjadi manusia lainnya, itulah caraku.. Bukankah ada banyak cara dalam hal ini?
Memahami makrokosmos? Hahaha, tidak.. tidak. Terlalu tinggi jika kau katakan bahwa aku memahami hal-hal seperti itu. Aku hanya merasa lebih memahami semesta (itupun merupakan kata-katamu) dan berharap mendapatkan kebebasanku di muka bumi. Tidak lebih.. Egois kan?! Maka darimana kau dapatkan bahwa aku memahami hal-hal seperti ini..
Manusia mungkin tak mengerti apa yang kita pikirkan. Bahkan kusadari, bahwa aku pun tak pernah bisa mengerti diri ini. Jadi bagaimana orang bisa memahami? Jika bagimu aku mampu, justru ku khawatir bahwa suatu saat aku benar-benar terjatuh di tengah perjalanan dan membuat tubuhku terluka. Terlalu mengerikan untuk membayangkan, dan terlalu rapuh untuk itu.. Aku benar-benar hanya manusia biasa.
Satu hal yang aku sepakati, bahwa menemukan manusia yang sama dengan kita memang sangat sulit. Kukira aku telah menemukan beberapa laki-laki yang sama sepertimu, meski tak sempat atau tak berani ku uji dirinya. Suatu ketika, aku menemukan seorang perempuan yang sama denganku..  Aku menilainya dari energi jiwanya yang kurasakan (tentu saja ini tidak logis, namun semacam kedekatan emosional yang secara tiba-tiba terasa ketika kau bertemu dengan orang asing atau mengalami perasaan yang sama.. Sama halnya saat kau bertemu dengan orang yang se-ras denganmu. Seperti itu bukan?!), kunilai juga dari percakapanku dengannya, tingkahnya, dan muslihatnya. Sayangnya, aku tak sempat membaca dia dalam memahami dan memandang dunia.. Namun ternyata, lagi-lagi aku hanya sendirian… Tampaknya dia bukan. Hal ini tentu membuatku tertekan karena tak ada lagi yang bisa kuajak bicara mengenai ini selain dirimu. Itu pun jika kita sempat bersua. Selebihnya, aku harus mengunci hati dan jiwaku dari ketukan-ketukan orang lain yang hanya sekadar bertandang.
Aku kesepian dengan hal ini.. Dan sangat melelahkan karena terus mencari.  Pertanyaannya: sampai kapan seperti ini?! Maka aku putuskan untuk berhenti saja. Meskipun, benar katamu, seringkali keresahan muncul atas dasar luapan-luapan jiwa yang tak tertahankan—yang tak bisa dibagi dengan orang lain selain sesama kita. (kita sudah sangat tahu konsekuensinya jika bercakap tentang hal ini dengan manusia biasa. Kita akan dianggap gila, aneh, dan mengerikan. Jangankan membicarakan hal ini, kau berbicara tentang sesuatu yang tak pernah mereka pikirkan sebelumnya saja telah membuat mereka memandangmu dengan begitu takjub sekaligus ‘mengerikan’. Aku pun mengalami hal sama, meski lebih sering dianggap aneh dan autis.. haha)
Aku pikir, pasangan jiwa tak harus menjadi pasangan hidup. Bukankah begitu? Ada hal-hal yang tetap menjadi sangat pribadi untuk pasangan hidup kita yang mungkin akan menjadi sangat terbuka pada pasangan jiwa. Dan aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya jika kita saling tahu semua hal tentang diri kita sendiri… karena kita sama. Tak ada cerita baru yang belum kita ketahui sebelumnya, dan itu tidak akan menjadi menarik jika dijalani bersama.. Menjadi buku yang seringkali dibaca, bukan buku yang tiada halaman akhir yang memberi kita kejutan-kejutan. Pada akhirnya, kita hidup bersama hanya karena tugas ini. Sungguh tak terbayangkan bagaimana jadinya.. Bagiku hal itu akan sangat mengerikan. Kurasa kau tahu itu bukan, pasangan jiwaku?!
Kau sangat memahamiku, aku tahu itu. Kau tahu bahwa aku tak cukup baik untuk mengejewantahkan apa yang ada di dalam pikiranku ke dalam wujud kata-kata. Artikulasi kata-kataku dianggap tak cukup bisa dipahami oleh orang lain, aku pun merasa begitu. Dengan melihat mereka menatapku saja aku tahu bahwa mereka tidak memahami yang aku maksud, bahasaku terlampau berbelit-belit mungkin.  Sebenarnya itu meresahkanku tapi aku berusaha berpikir bahwa mungkin pengetahuan itu hanya untuk diriku sendiri, bukan untuk dibagi bersama yang lain. Seperti konsep nabi dan rasul. Mungkin aku adalah nabi dan kau rasul. Itulah yang membedakan kita. Tak banyak orang yang tahu bahwa aku juga punya masalah dengan komunikasi. Orang-orang melihatku sebagai orang yang komunikatif dan cair. Tidak, mereka salah persepsi. Aku hanya memainkan peranan dengan cukup baik sebagai seorang manusia biasa. Jika mereka tak berada di sekitarku, aku akan menjadi diriku sendiri—diam dan dingin.. (hm.. atau sebenarnya aku yang salah memersepsikan diriku sendiri?!)
Apakah jika aku menginginkan lebih dari satu, berarti aku serakah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H