Mohon tunggu...
Nurul Amin
Nurul Amin Mohon Tunggu... Penulis - founder travelnatic dan peatland coffee

Penikmat kopi garis miring. Menyukai kegiatan riset, perkebunan, pertukangan, sains, sejarah, literasi, perjalanan, organisasi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Sendiri Susuri Jogja-Sumbawa-Jogja dengan Onthel (Ringkasan)

9 Oktober 2011   19:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:09 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_134820" align="alignleft" width="300" caption="Bersama anak muda Asembagus di TN Baluran, Situbondo-Jawa Timur"][/caption] Pegal dan lelah, dua kata itulah yang kurasakan setelah dua hari lebih mengayuh sepeda. Kini aku telah tiba di Kota Nganjuk, kota Adipura. Hari ini aku mulai perjalanan lebih pagi daripada biasa. Dingin angin pagi, tidak menggangguku menikmati panorama sawah di kiri dan kanan jalan sejak POM Bensin Moneng (tidak jauh dari pintu gerbang masuk kabupaten Madiun) pada jam 5.20 tadi. Pondok-pondok kecil dengan latar belakang permadani hijau sawah, serta siluet matahari pagi sungguh terlihat indah. Kadang ada burung Sriti bermain diatas tumpukan jerami yang kering Aku sudah beristirahat sebanyak dua kali sejak start, dan di warnet ini adalah istirahat yang ketiga. Jam 10 siang, saat aku tiba di Kota Adipura ini. Suasananya bersih dan terkesan rapi, walaupun lalu lintasnya tidak terlalu ramah untuk pengendara sepeda, apalagi dalam suasana mudik seperti sekarang Hari sebelumnya, Jumat-26 Agustus 2011 aku mulai start jam 6.40 pagi. Sejak mulai jalan dari POM Bensin di depan pasar Jaka Tingkir, Sragen, sampai berhenti untuk istirahat malam di POM Bensin Moneng, Kab. Madiun tak terhitung berapa kali aku istirahat. Hari Jumat lalu aku singgah di Posko Lebaran gabungan antara Polres Sragen, Puskesmas Sragen, Pramuka, Dinas Perhubungan Sragen, dan TNI. Disana aku minta Peta Jawa tengah dan sekalian cek kesehatan. Ternyata tensi darahku turun sampai 100, kata Dokter aku kurang istirahat, lalu aku diberi beberapa multivitamin dan pereda lelah. Sambutan dari semua petugas posko cukup meriah. Mereka antusias bertanya sehingga membuatku makin semangat. "Semangatnya pantas ditiru" Ujar Pak Polisi petugas posko lebaran itu. Kata-kata itu membuatku terharu dan makin semangat. Hari pertama, Kamis 25 Agustus 2011 aku start pada jam delapan. Mundur dua jam dari waktu yang sudah kurencanakan. Padahal awalnya akan ada pelepasan dari depan kampus oleh teman-temanku, tetapi karena jadwalnya mundur, maka acara pelepasan itu ditiadakan. Jam satu malam, tanggal 26 Agustus, aku masih mengayuh sepeda. Aku sudah sampai di Sragen, dan bermaksud ke Polres Sragen untuk membuat Surat Jalan dari Kepolisian. Hari pertama itu sangat melelahkan. Akhirnya aku beristirahat malam pada jam 02.00 WIB setelah bersantai sejenak di alun-alun kota Sragen. Perjalanan yang ibarat mimpi ini akhirnya kulaksanakan juga. Setengah bulan yang lalu aku mulai merancang dan mempersiapkannya. Berbagai usaha kulakukan. Berbagai tanggapan juga kuterima. Kini, tiba-tiba aku sudah ada di Kota Nganjuk dalam rangka mengunjungi Sumbawa, sebagai tempat persinggahan terjauhnya. Hampir disetiap posko yang kusinggahi, ketika kujelaskan maksud dan asal-usulku ke posko itu, petugas selalu menanyakan apa motivasi atau tujuanku mengunjungi Sumbawa. Padahal kampung halamanku di Jambi, dan sekarang saatnya mudik, mengapa aku tak memilih mudik ke Jambi saja? Dan Jawabanku selalu itu-itu saja, terlalu sederhana. Kukatakan aku hanya ingin melihat Indonesia lebih luas lagi. Melihat masyarakatnya, keindahan alamnya, sosio-kulturalnya, kebudayaannya. Sumbawa dan Lombok yang memiliki pantai-pantai yang indah, kata banyak orang lebih indah daripada pantai-pantai di Bali. Aku ingin melihatnya langsung, begitu jawabku. Kini sudah sudah dua hari lebih perjalananku menuju Sumbawa. Masih ada sekian hari lagi di depan. Barangkali aku akan berlebaran di Bali atau di Banyuwangi dan sekitarnya (jika tidak ada penyeberangan ke Bali pada H-1 ID). Pada teman-teman, sanak saudara semua, dan keluargaku. Selamat merayakan Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Bathin M2 Net Nganjuk-Jawa Timur Sabtu, 27 Agustus 2011 10.34 Am ****************************** [caption id="attachment_134821" align="alignleft" width="300" caption="Di Pantai Pasir Putih, Situbondo-Jawa Timur"][/caption] Setelah menempuh perjalanan selama 18 hari sejak tanggal 25 Agustus lalu, akhirnya kini tanggal 12 September aku sudah tiba kembali di Pulau Jawa. aku ada di Kecamatan Kraksaan, Probolinggo, dalam perjalanan pulang ke Jogja. Sebelumnya saat berangkat aku telah mencapai Gilimanuk, Bali pada tanggal 31 Agustus pada pukul 12.55 WITA,  Pelabuhan Lembar, Lombok pada tanggal 02 September pukul 21.00 WITA, dan Poto Tano, Pulau Sumbawa pada tanggal 03 September 21.15 WITA. Perjalanan pulang kembali ke Jogja aku mulai pada tanggal 05 September 2011 dari Dompu. Sampai di Pelabuhan Kahyangan, Lombok pada tanggal  06 September pukul 19.48 WITA, Tiba di pelabuhan Padang Bai, Bali pada tanggal 08 September pukul 22.43 WITA, dan tiba di Pelabuhan Ketapang, Jawa Timur pada tanggal 12 September pukul 19.30 WIB. Perjalanan di Pulau Sumbawa tidak sepenuhnya ku lakukan dengan bersepeda. Hal ini karena aku akan menemui teman di dompu, yang akan kembali ke Jogja pada tanggal 05 September. Jika perjalanan ke Dompu itu ku tempuh dengan sepeda, kemungkinan aku akan sampai di Dompu pada 07 september 2011, karena jalan ke Dompu dalam keadaan rusak akibat perbaikan dan juga tanjakan yang begitu banyak, jadi tidak mungkin perjalanan kesana akan selesai dalam sehari. Alhasil, sepeda ku titipkan di rumah penduduk di daerah Utan, Sumbawa Barat dan aku pergi ke Dompu dengan Bus (Bodohnya, aku bahkan tidak kenal dan tidak tanya siapa nama bapak yang ku titipi sepeda itu. Untungnya aku ingat lokasinya). Pulang dari Dompu, aku sempat bersepeda ke Taliwang dan bertemu dengan teman disana, setelah itu perjalanan ku lanjutkan ke Pelabuhan Tano. Alam Sumbawa terlihat sangat eksotik. Dengan warna coklat gersang yang dominan. Maklum saat itu disana sedang musim kemarau, jadi hampir semua tanaman di bukit-bukit mengalami kekeringan. Tapi justru itulah kunci utama keindahannya. Sumbawa, menurutku punya kelebihan dalam hal pariwisata. Sumbawa punya dua pemandangan yang ebrbeda di waktu yang berbeda. Kita dapat mengunjunginya kapan saja jika mau. [caption id="attachment_134822" align="alignright" width="300" caption="Di Pantai Gili Trawangan, Lombok"][/caption] Banyak sekali cerita suka dan duka dalam perjalanan bersepeda ini. Mulai dari melihat tempat-tempat wisata seperti situs dan museum Trowulan di Mojokerto, Melihat pantai-pantai yang indah seperti Pasir Putih dan Watu Dodol di Jawa Timur, Merasakan terik dan dinginnya Hutan di Taman Nasional Baluran saat siang dan malam, berwisata dan berjemur di pantai yang terkenal seperti Pantai Kute, Bali dan Pulau Gili Trawangan di Lombok, Menyaksikan ramainya lebaran Ketupat di Narmada dan Senggigi, Lombok, Menyaksikan banyaknya sapi dan kuda di Sumbawa, Melihat orang menambang dan mengolah emas di Taliwang, Sumbawa Barat, Menempuh jalan dengan terik matahari luar biasa di pulau Sumbawa ditemani bukit-bukitnya yang eksotik, panas, dan kaya akan mineral bernilai tinggi. Ada suka tentu ada duka. Duka ini termasuk tantangan dan ujian untuk kesabaran selama perjalanan.Tetapi, menurutku pribadi, kedukaan itu bukanlah untuk membuat sedih. Tetapi melecut semangat untuk tidak menyia-nyiakan perjalanan tersebut. Aku harus dapat menggali sebanyak-banyaknya makna dari perjalanan ini dan membuatnya menjadi bermanfaat bagi orang banyak. Di Bali, Aku kehilangan kamera pocket saat beres-beres setelah tidur di Pantai Kute pada tanggal 02 September pukul 05.45 WITA. Aku mencoba melaporkan pada petugas keamanan, tetapi hasilnya nihil. Maklum pengunjung pagi itu sudah lumayan banyak. Pada perjalanan pulang,sekali lagii aku kehilangan plastik (kresek) berisi oleh-oleh yang ku beli di Narmada, Lombok. Kehilangan itu baru kusadari saat sampai di Gilimanuk saat ingin menyeberang ke Ketapang pada tanggal 11 September pukul 17.30 WITA. Aku sempat berpikir untuk menyusuri jalan sebelumnya. Tapi kuurungkan segera karena rasanya mustahil untuk menemukan bungkusan itu lagi. Duka yang paling besar mungkin adalah lebaran jauh dari keluarga. Pada tanggal 31 Agustus saat sebagian besar umat Islam di Indonesia merayakan Lebaran Idul fitri bersama keluarganya. Saat itu aku sedang berjuang menaklukan meter demi meter hutan di Taman Nasional Baluran. Ketika itu aku bangun jam 6 pagi, agak kesiangan dari rencana sebelumnya. Aku tidur di Pos Waru III milik Dinas Kehutanan di TN Baluran itu. Aku sampai di perkampungan terdekat di daerah Alas Rejo, Kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi, ketika masyarakat disana baru saja selesai Shalat Idul Fitri di Mesjid. Saat itu mereka sedang menyalakan petasan tanda perayaan Lebaran. Sayang sekali, aku tidak sempat Shalat Idul Fitri di Mesjid terdekat. Alhasil, aku pergi ke POM Bensin terdekat dan mandi disana. Malam-malam sebelum tanggal 31 Agustus itu, di setiap kota di Jawa Timur sangat terlihat nuansa bulan Ramadhan. Sholawat, takbir dan suara tadarusan bergema dimana-mana. Orang-orang hilir mudik dengan berpakaian khas umat Islam. Sebagai pemeluk agama Islam, walaupun bukan pemeluk yang taat, aku juga merasakan nuansa yang sama. Aku juga menginginkan hal yang sama, yaitu dapat merayakan bulan penuh berkah itu di dekat keluarga dan teman-teman terdekat, serta orang-orang yang dicintai. Tapi apa daya, aku sedang di jalan. Jadinya aku harus puas menikmatinya bersama sepedaonthel yang setia dan orang-orang baik yang ku temui di jalan.Orang-orang baik itu salah satunya adalah Pak Sei dan Pak Rendy. Mereka berdua itu adalah penjaga di pos Waru III., salah satu dari lima pos jaga di jalan raya TN Baluran, Situbondo. Sejak jam delapan malam tanggal 30 Agustus 2011 itu aku menginap di PosWaru III untuk beristirahat. Sebelumnya sejak jam lima sore aku sudah bermandi peluh, menahan dingin malam, melewati tanjakan berteman bintang di Jalan Raya yang sangat sepi itu. Tiga jam kulalui untuk sampai di pos Waru III. Tidak ada rumah penduduk satu pun selain lima buah pos itu. [caption id="attachment_134831" align="alignright" width="300" caption="Jalan Raya TN Baluran, 20 Km hanya hutan tanpa pemukiman"][/caption] Mereka menyambut dengan ramah. Mengajak bicara, menghidangkan makanan yang ada dan makan bersama. Kami bertiga menikmati malam-malam yang sepi dimana hanya ada suara daun yang bergesek dengan angin dan sesekali suara kendaraan melintas. Di Pos itulah pertama kali aku makan kue lebaran. Roti Khong Guan kalengan, sama persis seperti yang sering ku makan jika pulang kampung. Pak Sei dan Pak Rendy adalah salah satu dari sekian banyak pengabdi negeri ini. Anak istri mereka tinggal di kampung dan malam itu mereka masih harus tetap kerja menjaga pos di TN Baluran. Aku bangga bisa bertemu dengan orang sesederhana mereka itu. Mereka tampak polos dan bersahaja. Selain cerita suka dan duka, juga ada cerita yang menurutku konyol tapi seru. Di Bali, aku dua kali di kejar anjing Kintamani saat melakukan jalan malam. Dua tempat itu adalah di Tabanan sebelum desa Rambut Siwi dari arah barat, dan di Jalan By Pass antara Klungkung-Gianyar pada saat perjalanan dari Padang Bai ke Denpasar. Di Jalur By Pass itu dua ekor anjing mengejar sambil menggonggong sampai sekitar 300 meter. Mereka begitu bersemangat mengejarku, sama halnya denganku yang begitu cepatnya mengayuh sepeda. Aku Hampir menabrak pembatas jalan karena konsentrasi pada jalan agak buyar akibat ketakutan yang luar biasa. Mendengar getaran yang berlebihan itu barulah dua ekor anjing sialan itu berhenti mengejar, namun sampai aku jauh mereka masih menggonggong. Sementara di Tabanan, Kejaran dan gonggongan anjing menyebabkan ban depanku terperosok ke lubang dan mengakibatkan rantai sepeda lepas. Perlahan sepeda berhenti di depan anjing-anjing lain yang ikut-ikutan menggonggong. Matilah aku, ujarku dalam hati sambil mata melirik anjing-anjing itu. Syukurlah, mereka perlahan malah mulai diam. Saat aku pelan-pelan menjauh, mereka juga kembali ke depan rumah tuannya masing-masing. "Sudah cukup perkenalannya" mungkin seperti itu yang ingin dikatakan anjing-anjing itu Cerita konyol dan lucu lainnya adalah saat aku menyeberang ke Pulau Gili Trawangan, Lombok. Aku menyeberang dengan bantuan POL AIR, oleh sebab itu aku bisa menyeberang tanpa bayar tiket. Lumayan menghemat dua puluh ribu. Karena gratis itu, aku secara sukarela duduk paling depan, dekat haluan dan tidak memakai bangku. "Dapat menyeberang gratis saja sudah syukur" begitu pikirku. Ternyata ditengah perjalanan, posisi dudukku itu membawa malapetaka bagi diriku dan sepedaku. Di tengah selat antara Lombok dan Gili Trawangan ternyata ombaknya sangat besar. Maklum saat itu sudah siang, jadi wajar arus dan ombaknya besar. Speedboat kecil itu terombang-ambing oleh ombak yang kadang sama tinggi dengan badan speedboat. Beberapa penumpang perempuan yang ketakutan berteriak-teriak histeris. "La ilaha illallah Muhammdarrasulullah...." seru penumpang perempuan berjilbab yang ketakutan. Aku melihat wajahnya, begitu cemas, sambil memegang sisi speedboat yang hampir menyentuh air. Perempuan yang lain bershalawat "Allahumma shalli ala muhammad....." teriaknya dengan keras. Sampai aku yang duduk paling depan ikut memandang kepadanya, sambil mengimbangi gerakan speedboad yang kadang miring ke kiri lalu dengan cepat berbalik miring ke kanan. Beberapa saat di Speedboat itu diriuhkan oleh suara takbir dan shalawat dan orang-orang yang menyebut nama Tuhannya keras-keras. Tak lebih dari dua puluh menit, dua penumpang yang ketakutan itu tertidur. Entah kenapa. Aku tertawa dalam hati, ada rasa takut dan lucu yang bercampur aduk. [caption id="attachment_134835" align="alignleft" width="300" caption="Sepeda Onthel ikut menyeberang ke Gili Trawangan"][/caption] Selanjutnya adalah jatahku. Ombak yang semakin besar membuat haluan terhempas berulang-ulang. Akibat dari hempasan itu adalah air laut yang muncrat sampai ke bagian dalam speedboat, terutama bagian depan. Kali ini aku harus rela disiram oleh ombak selat Lombok-Gili Trawangan itu dengan air asin. Mau mengelak kemana? didalam sudah penuh dengan penumpang dan barang. Satu-satunya jalan adalah mengatur posisi sebaik mungkin, mengamankan barang-barang yang rentan terhadap air dan berharap ombak besar tidak datang lagi. Namun ternyata doaku tidak makbul siang itu. Ombak besar berkali-kali menghantam haluan speedboat. Air laut berkali-kali muncrat ke dalam speedboat sampai aku dan satu roang lai yang duduk di depan basah kuyup. Betul-betul basah sampai ke celana dalam sekalipun. Tak terbayang sepedaku yang juga ikut mandi air asin itu, pastilah nanti menderita karena karat. Aku, sepeda, satu orang yang duduk didepanku, satu orang kernet speedboat didepan dan satu lagi yang berdiri disampingku harus rela kebasahan karena air asin karena memang tidak ada lagi tempat untuk berlindung. Sampai di Pantai Gili Trawangan, aku merasa sangat lega. Tempat pertama yang kucari bukanlah penginapan atau tempat makan, tetapi pantai yang terbuka untuk menjemur pakaianku yang basah. Sampai di pantai, segera ku turunkan sepeda dari Speedboat dan kubereskan barang-barangku. Sambil menikmati indahnya Gili Trawangan itu, aku menyusuri jalan. Singgah di pos polisi untuk ganti pakaian, namun apa mau dikata, semua pakaian termasuk yang didalam tas juga basah. Aku terus berjalan dibibir pantai, melihat  kanan jalan, mencari-cari tempat paling panas dan pas untuk berjemur. Dua puluh menit mengayuh sepeda diatas jalan pasir, akhirnya tempat itu kutemukan. Aku menjemur pakaian dan buku yang basah di depan sebuah cafe yang mewah, menghadap kearah laut dengan laguna yang tampak berwarna biru kehijauan. Disana ada beberapa bule sedang menyelam di perairan dangkal mencari-cari karang, ada bule yang berjemur diterik matahari sambil membaca buku, ada yang lalu lalang dengan sepeda sewaannya dan ada pula yang bersantai di cafe yang terlindung oleh gazebo dengan atap daun kelapa.  Sementara aku tampak sibuk membentangkan pakaianku diatas pasir. Membentangkan matras, menjemur kertas, dompet, tas, sepeda, dan semua yang basah, kecuali celana dalam. "Bule menjemur badan, aku menjemur pakaian" ujarku menghibur diri dengan lelucon. Beberapa bule memandangiku. meihat kelakuanku yang aneh dipantai itu. Begitu juga dengan beberapa petugas cafe yang terlihat asli Lombok. Yaahh..bukan mereka saja yang merasa aneh dengan hal itu. Aku sendiri juga merasakan hal yang sama. Tapi itulah yang bisa kulakukan saat itu. Dua orang bule perempuan yang lewat dengan sepeda menyapaku dengan peragaan juga. Dia bertanya sesuatu, tapi dalam bahasanya sendiri. Aku tak paham bahasanya. Mirip bahasa Spanyol (latin) yagn sering kudengar di TV waktu kecil. Ku coba artikan dari gerakan tangannya dan gerakan tubuhnya. "Apa yang terjadi dengan pakaianmu, apa kamu disiram ombak disana?" mungkin begitu maksudnya. Aku hanya tersenyum saja sampai dia pun berlalu dengan tersenyum juga. Sungguh bodoh...!

[caption id="attachment_134823" align="alignright" width="403" caption="Bule menjemur badan, aku menjemur pakaian"][/caption] Selama perjalanan, sepeda akunyaris tidak mengalami gangguan, kecuali di bagian as tengah kayuhan sepeda (as pedal) dan karat yang diakibatkan oleh ombak di Gili Trawangan saat menyeberang dari Lombok. Kondisiku pun sampai hari ini masih kuat untuk melanjutkan perjalanan, aku optimis akan sampai di Yogyakarta 5-7 hari lagi. Namun biarpun begitu, masih ada yang ku khawatirkan selama perjalanan ini, yaitu gangguan Truk dan Bus malam. Jika pada perjalanan malam di Pulau Bali dan Sumbawaaku takut pada anjing jalanan, maka di Pulau Jawa yang ku takutkan adalah Bus dan truk malam. Aku memberi nama dua jenis kendaraan itu dengan sebutan "Monster Malam". Selain suaranya yang menakutkan, Bus dan Truk malam juga menyebabkan angin yang seperti dapat menarik pengguna jalan lain kearah mereka. Ditambah lagi suara klakson yang memekakkan telinga, membuat siapa saja terkejut bukan kepalang. Kecepatan yang tak terkira, dan ketidakpedulian pengemudinya terhadap pengguna jalan lain, termasuk pengguna sepeda menambah daftar menakutkan dari dua jenis kendaraan besar ini. Biasanya mereka hanya menyisakan 30 sentimeter badan jalan untukku, atau bahkan seringkali tidak disisakan sama sekali sehingga aku harus menyingkir ke batu-batu disamping jalan utama. Syukur kalau ada jalan batu alternatif disamping jalan utama. Kalau tidak ada, ya mau tak mau harus berhenti sejenak sambil menahan kesal yang tak tersampaikan. Dalam perjalanan pulang ini tujuanku selanjutnya adalah Surabaya. Disana aku akan mengunjungi jembatan Suramadu yang terkenal itu, Lalu ke arah Mojokerto, ke Wonogiri, ke Pacitan untuk melihat pantainya, Ke Waduk gajah mungkur, dan langsung masuk ke Daerah Istimewa Yogyakarta lewat Wonosari. Semoga semuanya berjalan lancar. Salam Nurul Amin dari Ulil Zone Net di Kecamatan Kraksaan, Kab. Probolinggo Senin, 12 September 2011 10.46 Pm *****************************

[caption id="attachment_134834" align="alignleft" width="300" caption="Sampai juga di Kota Klaten...Jogja sudah di depan mata"][/caption] Akhirnya tiba juga di Jogja....!!! Semangatku serasa mau meledak saat melihat pintu gerbang masuk ke Daerah Istimewa Yogyakarta di depan Situs Candi Prambanan. Gapura kehitaman dari batu gunung bersusun itu terasa beda, meski aku sering melihatnya. Kini dia menjadi pertanda bahwa aku telah sampai di tujuan terakhirku dalam perjalanan ini. Selesai sudah petualanganku, melintasi jalur transportasi, mengunjungi beberapa tempat di sepanjang jalan Jogja-Jawa Tengah-Jawa Timur-Bali-Lombok-Sumbawa dan kembali ke Jogja. Aku tiba tanggal 19 September 2011 sekitar jam sebelas itu. Telah 26 hari berlalu sejak aku berangkat. Dari tanggal 13 September lalu, tempat terakhir aku mencatatkan certia perjalanan, aku terus berjalan menjauh dari Probolinggo menuju Pasuruan, lalu memutar ke Sidoarjo untuk mencapai Surabaya. Dari Surabaya langsung menuju Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Caruban, Wonogiri, lalu sampai di jogja tanggal 19 September 2011. Dari Probolinggo, target tempat yang ku kuknjungi adalah jembatan suramadu yang berhasil kucapai pada tanggal 15 September 2011 pukul 13.10 WIB. Untuk kesana, aku melewati Sidoarjo dan Surabaya. Malam hari tanggal 13 September 2011 pukul 21.28 aku sempat singgah di lokasi Lumpur Lapindo, menikmati minum kopi di salah satu warung pinggir jalan, dan naik ke atas tanggul untuk melihat-lihat. Lumpur dan tanggul ternyata permukaannya sudah hampir sama tinggi, berbeda jauh dengan bulan Januari 2011 lalu saat ku kunjungi bersama teman-teman dalam rangka Ekskursi Lingkungan Binaan. Di Probolinggo aku kembali melewati PLTU Paiton yang tampak seperti emas pada malam hari. Dua kali aku lewat jalan yang sama, dengan arah yang berbeda. Sayang sekali, aku tetap tidak beruntung. Lokasi PLTU Paiton ini kulewati pada malam hari, sama seperti saat berangkat dulu. Padahal aku juga ingin melihat suasananya pada siang hari. Di Surabaya, aku singgah sebentar di Putat Jaya, melihat langsung bagaimana kehidupan di Gang Dolly dan sekitarnya. Di kalangan muda, barangkali Dolly lebih dikenal dibanding yang lainnya di Surabaya. Ternyata kehidupan disana pada siang hari biasa saja. Orang berlalu lalang dan beraktivitas seperti biasa layaknya di tempat-tempat lain. Jejak kehidupan malam disana terlihat dari wisma-wisma yang tutup dan banyaknya tulisan yang menyediakan jasa tempat parkir. Aku hampir tidak bisa tidur di Surabaya. Hal ini karena gangguan nyamuk yang luar biasa. Nyamuk-nyamuknya termasuk berukuran kecil tetapi sakit akibat gigitannya sangat luar biasa. Meninggalkan bentol kecil dan rasa gatal yang lama. Banyaknya nyamuk di Surabaya barangkali karena lokasinya yang dekat dengan pantai dan hawanya yang hangat, dan ditambah gorong-gorongnya yang banyak. Alhasil, setelah tidak bisa tidur meski telah berbaring dari tengah malam sampai subuh, akupun memutuskan pergi ke Taman Bungkul, menunggu terbitnya matahari disana. Dari pagi sampai jam sebelas siang tanggal 15 September 2011 aku duduk di Taman Bungkul, lokasi wisata yang cukup ramai di kunjungi arek-arek Surabaya dan wisatawan domestik yang ingin berziarah. Disana aku menunggu "janji" yang sudah disepakati pada malam hari sebelumnya. Namun, sampai jam sebelas, janji yang dimaksudkan tak kunjung datang, akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan taman Bungkul yang ramai itu. Aku menuju Jembatan Suramadu pada siang hari yang panas. Kawasan perkotaan di Surabaya sungguh meriah dan ramai. Sayang panas mataharinya juga luar biasa. Mungkin hal ini dipengaruhi posisi geografisnya yang didekat pantai dan dekat dengan garis lintang kecil. [caption id="attachment_134824" align="alignright" width="400" caption="Jembatan Suramadu"][/caption] Sungguh Suramadu adalah karya yang megah dari tangan anak bangsa Indonesia. Diseberangnya terlihat sayup-sayup Pulau Madura. Pulau yang dikenal sebagai penghasil garam dan populer dengan karapan sapinya. Jembatan ini terlihat seperti benang yang membentang di Selat madura, menghubungkan pulau Jawa dan Madura menjadi satu. Ingin sekali aku menyeberang kesana dan menginjakkan kakiku dan merasakan panasnya pulau itu. Sayang, waktu tak mendukungku, aku harus kembali ke Yogyakarta secepatnya karena jadwal kuliah sudah menunggu. Dari Surabaya, aku langsung berbelok menuju Mojokerto, disana aku mengunjungi bapak tua yang ku kenal saat berangkat dulu, Pak Tumiyo namanya. Aku singgah di petilasan Raden Wijaya di Trowulan dan berjumpa dengannya, berbincang beberapa jam sambil minum teh hangat dan makan mie traktiran, lalu permisi untuk terus melanjutkan perjalanan. Pada malam hari di Mojo Agung, Jombang, aku sempat menemukan tas di tengah jalan. Barangkali tas itu milik seseorang yang tercecer. Aku bingung mau berbuat apa terhadap tas itu. Dua jam aku berpikir dan terdiam di jembatan tak jauh dari lokasi penemuan tas. Tas itu sempat kubongkar untuk mencari nomor kontak yang bisa dihubungi, tapi tak berhasil juga. Syukurlah pemiliknya kembali dan mengambil tasnya. Setelah mencocokkan STNK dan KTP di dalam tas dengan kendaraan dan nama orang itu, barulah aku percaya dia benar-benar pemilik sebenarnya. Aku pun pergi tanpa beban. Roda sepedaku terus berputar. Menempuh meter demi meter perjalanan menuju jogja. Tinggal satu tempat saja yang ingin ku kunjungi, yaitu Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri. Untuk sampai kesana, aku harus memutar haluan agak ke selatan, tidak lewat jalur Caruban-Ngawi melainkan Jalur Caruban-Madiun Ponorogo Bersusah payah aku melewati lalu lalang kendaraan di Jalur Nganjuk-Caruban pada malam hari. Tanjakan yang tinggi di Saradan yang dulu kulewati setengah mati pada siang hari, malam itu terasa biasa saja. Namun, kali ini tantangannya justru adalah bus malam dan truk gandeng besar yang berderet-deret seperti semut mengangkut makanan. Hampir tak ada putusnya mereka melintas. Ditambah lagi jalur Nganjuk-Caruban gelap gulita tanpa penerangan. Aku beristirahat sejenak di pom bensin di desa Bagor, Kab. Nganjuk dimana disana aku bertemu dengan sesama petualang. Mereka menggunakan Vespa gembel (istilah yang populer untuk genre vespa seperti itu). Dua jam duduk bercerita dan berbagi pengalaman dengan dua orang pengendaranya. Mereka sedang memperbaiki mesin yang rusak. Setelah fit, aku melanjutkan perjalanan. Butuh waktu dua jam lebih untuk menaklukkan keramaian truk dan bus malam demi mencapai kota Caruban. Dari pukul 21.49 WIBsampai pukul 00.28 WIB aku berjuang, ketakutan ditabrak bus dan truk atau tersungkur masuk ke jurang di pinggir jalan, akhirnya sampai juga. Ternyata, masih ada tantangan lagi yang lebih berat. Hal ini kujumpai saat bermandi keringat akibat tingginya tanjakan di Purwantoro, Wonogiri. Tanjakan sudah dimulai sejak masuk perbatasan Jawa tengah. Tercatat, aku perlu dua kali istirahat yang cukup lama, bahkan sampai tertidur sebentar karena lelah, dan dua kali pula pakaianku basah dan kering dibadan. "Maaf Mas, sudah mau tutup" kata penjaga angkringan itu dengan hati-hati membangunkanku. Saat itu jam 12 malam. Aku bangun dengan terkejut, tapi dengan cepat nyawaku terkumpul dan kesadaranku pulih lagi. Sungguh tanjakan di Purwantoro, Wonogiri itu tidak akan kulupakan. Luar biasa Aku sampai di kota Wonogiri pada tanggal 18 September 2011 pukul 13.00 WIB. Langsung saja aku menuju Waduk Gajah Mungkur yang tidak jauh dari kota. Sampai disana kurang dari satu jam kemudian. Senang sekali rasanya tiba ditempat itu pada siang hari. Meski jalan menuju kesana agak bergunung, namun semuanya terbayar oleh sapuan angin kencang disana. Waduk Gajah Mungkur terlihat luas sekali. Sekarang musim kemarau, jadi debit air di Gajah Mungkur sedang mengalami penyusutan sehingga beberapa bagiannya sampai dapat ditanami palawija oleh penduduk setempat.

[caption id="attachment_134825" align="alignleft" width="450" caption="Di Waduk Serbaguna "][/caption] Selain dimanfaatkan sebagai PLTA (pembangkit listrik tenaga air) dan kolam penampung cadangan air, waduk ini juga dimanfaatkan sebagai obyek wisata. Terlihat banyak warung dan pengunjung disana. Wilayahnya yang luas dan nyaris tidak ditumbuhi pohon besar menyebabkan angin leluasa bertiup. Cukup kencang, hingga bendera merah putih di sepedaku tak henti-hentinya berkibar. Darisana, aku segera menuju Jogja. Seharusnya, dari sore pukul 16.00 WIB aku berangkat itu, ku prediksi malam atau subuh aku telah tiba di Jogja. Ternyata kenyataan berkata lain. Sore hari pukul 17.30 WIB sepedaku mulai bertingkah tak seperti biasanya. Saat itu untuk pertama kalinya aku memperbaiki sepeda secara serius. As tengah dekat pedal harus diganti karena aus, dan pelornya pun harus ditambah dan diganti yang baru. Aku singgah di rumah warga di Desa Tiaran Kec. Bulu, Sukoharjo-Jawa Tengah. Setelah memperbaiki sepeda dan beristirahat sejenak sampai selesai azan Maghrib, perjalanan kulanjutkan lagi. Aku masih berharap bisa mencapai Jogja pada malam hari. Lagi-lagi sepedaku bertingkah. Kali ini rantainya kendor, sehingga setiap berjalan tak lebih dari seratus meter, rantainya selalu lepas. Aku berhenti di Polsek Bulu. Disana aku meminta cap surat jalan sekaligus memperbaiki sepeda sampai hampir jam sepuluh malam. Putus sudah harapan untuk mencapai Jogja malam itu. Akupun mencari pom bensin terdekat untuk beristirahat. Pagi hari, tanggal 19 September 2011 Aku bangun sekitar jam lima. Sempat menikmati matahari terbit dan sarapan sate di pinggir sawah di desa Ringin Putih, Klaten. Semangatku hari itu lebih banyak dari biasanya. Pukul 11.25 Aku melintasi gerbang masuk perbatasan Jawa Tengah-Jogja. Aku mengayuh sepeda perlahan, merasakan angin yang panas siang itu menerpaku. Jam tiga sore, setelah singgah di Kantor kedaulatan Rakyat dan MAPOLDA Daerah Istimewa Yogyakarta, aku singgah di kampusku tercinta, UPN "Veteran" Yogyakarta. Di depan warung mas eko, beberapa teman dekatku sudah menunggu. Saat melihat gedung kaca Rektorat yang berwarna hitam itu, terlintas wajah teman-temanku melayang-layang. Aku membayangkan ekspresi mereka melihat kulitku yang hitam terbakar matahari. Ah, aku rindu bercanda dengan mereka. Selamat berjumpa kembali Yogyakarta, ujarku dalam hati. Negeri kita, Indonesia sungguh terlalu indah untuk dilupakan. Rugilah orang yang hanya menghabiskan waktunya untuk memecah belah negeri ini. Setiap daerah di Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa punya keindahan yang berbeda-beda. Ramah tamah dan tingginya budaya Jawa, Khasnya budaya dan pariwisata Bali dengan aroma mistis-religius yang kental, Begitu Indahnya Lombok-Gili trawangan, Kandang kuda, bukit yang eksotik, dan pantai yagn berkelok-kelok di Sumbawa takkan di jumpai dimanapun. Em, seorang gadis Australia yang ku jumpai di Kuta, Bali mengatakan : “You live in paradise..!!”. Ya benar. Kita tinggal di Surga, mengapa harus kita sia-siakan kesempatan yang hanya satu kali ini. Mengapa harus kita rusak negeri yang indah ini. Jika wisatawan asing berbondong-bondong untuk datang menikmati indahnya alam, budaya, dan segalanya di Indonesia, mengapa kita harus berdiam diri.

[caption id="attachment_134827" align="aligncenter" width="672" caption="Em, Australian Girl at Kute, Bali-September 10, 2011. She Said : "Good luck in all your endeavours. I hope you find true happines along the way as well as many fun adventures. You live in paradise""][/caption] Sampai jumpa di petualangan berikutnya Nurul Amin Yogyakarta, 21 September 2011 Rabu, 21 September 2011 07.55 Pm ***************************** Untuk melihat catatan beserta video yang lain dapat dilihat di blog berikut : Susuri Jogja-Sumbawa-Jogja dengan Onthel Mau liat foto-fotonya lebih lengkap? Silahkan lihat di Album I, Album II, Album III, Album IV (Sebelumnya harus menjadi teman facebook saya terlebih dahulu) Terima kasih sudah berkunjung VIDEO :

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun