Mohon tunggu...
Yaser A Suningrat
Yaser A Suningrat Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

..cuma cari senang..

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Yang Nyata di Balik yang Gaib

18 September 2011   13:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:51 1876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul Buku: Ilmu Gaib di Kalimantan Barat

Penulis: Hermansyah

Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta

Cetakan: I, 2010

Isi: xii + 228 Halaman

ISSBN: 978-979-91-0235-5

Citra ilmu gaib memang buruk. Selain identik dengan ketahayulan, ia juga kerap menjadi pemantik kerusuhan sosial di berbagai daerah. Tapi terkait statusnya sebagai tradisi lokal telatah nusantara, ia harus dilihat secara adil. Itulah yang disuarakan oleh Hermansyah dalam buku yang semula merupakan disertasi doktoralnya di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini. Sejak tahun 2000 hingga 2004, dosen STAIN Pontianak ini hidup bersama orang Embau, sekelompok masyarakat Melayu di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat untuk menyirap selit-belit ilmu gaib.

Ilmu, begitu sebutan ilmu gaib di kawasan Embau, telah membelulang dalam ragangan keseharian masyarakat Embau. Bahasa utamanya adalah Melayu. Meskipun ada juga ilmu yang tersusupi bahasa Arab, Sansekerta, dan bahasa yang garib maknanya. Resam, model, dan aturan pakainya terjaga hingga kini karena selalu diwariskan dari generasi ke generasi. Kemujarabannya berporos pada mantra, jimat, dan benda-benda bertuah. Keyakinan, kesucian niat, dan kepatuhan pada pantang-larang juga turut bersaham di sana.

Berdasarkan penamaannya ilmu mencakup; mantra yang disebut tawar, cuca, ilmu, dan pelias; jimat/azimat untuk menyebut benda-benda keramat seperti buntat, kain, kertas, batu, kayu; dan bentuk lain berupa sesuatu yang dipercayai memiliki kekuatan gaib seperti minyak tapang keladi, darah urang mati dibunuh, minyak dilah, dan sebagainya. Dari segi fungsi, ilmu terkait dengan utilitasnya bagi kehidupan manusia. Sedangkan secara etika, ilmu terbagi dalam ilmu yang dipakai untuk maksud positif (ilmu colap) dan ilmu yang dipakai untuk kepentingan negatif (ilmu panas).

***

Meminjam Michel Foucault, ilmu gaib dapat disensus sebagai archive tentang rincihan kehidupan para pengamalnya. Baik psikologi, alam pikiran, nilai kehidupan, hingga itikad dan keimanan. Ia tak boleh dicerna dengan pendiskreditan. Selalu ada yang nyata di balik yang gaib. Seperti ke-nyata-an empat sisi pandangan-dunia orang Embau yang ditangkap oleh Hermansyah di sini (hal. 95-127).

Pertama, pemikiran tentang asal-usul manusia. Orang Embau percaya bahwa manusia pertama yang tercipta adalah Adam dan setelah itu Hawa. Ini terekam dalam ilmu penghalau kejahatan orang bersenjata tajam, ilmu pakai berpantap yang berbunyi: bismillahirrahmanirrahim/serillah nama besiku/seri gumilat nama besimu/telah engkau makan darah Adam/darah anak Adam diharamkan Allah/engkau tida memakan kulitku/berkat doa la ilaha illallah/berkat muhammadurrasulullah.

Kedua, pemikiran tentang alam. Menurut orang Embau, alam terdiri dari langit, bumi, dan seisinya. Bumi berisi tanah, air, batu, dan bahan-bahan mineral seperti emas, perak, timah, intan, dan besi yang merupakan simbol kebaikan sekaligus kejahatan atau penyakit. Maka manusia harus bertingkah-baik kepada alam. Bait-bait ilmu pengampul, ilmu yang diamalkan untuk mendapatkan kekuatan yang berbunyi; uratku seperti kawat/tulangku seperti besi/isiku padat seperti bumi/kulitku tebal seperti belulang/kekuatanku seperti saidina Ali, mencatat hal ini.

Ketiga, pemikiran tentang Tuhan. Hubungan antara manusia dan Tuhan bersifat vertikal dan horizontal. Secara vertikal, Tuhan ditempatkan sebagai pelindung dan penguasa manusia. Sementara secara horizontal, Tuhan didudukkan sebagai “agen” kepentingan manusia. Intinya, orang Embau menganggap betapa menyatunya Tuhan dan manusia. Tak ubahnya darah. Ini termaktub dalam ilmu kalimah yang berbunyi; la bulu dan kulit/Ilaha darah dan daging/illa urat dan tulang/Allah untak dan insum/berkat kalimah la ilaha illallah.

Terakhir, ilmu adalah sejepret potret tentang hubungan manusia dengan kuasa gaib yang tak lain adalah Tuhan, manusia utama seperti Nabi dan wali, dan makhluk halus. Hubungan ini ada yang bersifat membujuk, memaksa, dan memohon untuk suatu tujuan tertentu. Simaklah bunyi ilmu keluhu api yang mencirikan pemaksaan atas makhluk halus supaya tak mengganggu manusia: keluhu api/antu datang antu mati/setan datang setan mati/iblis datang iblis mati/jin datang jin mati/jin jahil seteru Allah.

Selain itu, dari analisisnya atas berbagai mantra, rajah, dan jimat, penulis juga menemukan adanya pengaruh Islam dalam kehidupan orang Embau. Serakan lafal bismillahirrahmanirrahim dan la ilaha illallah hampir di setiap ilmu mendalilkan fakta ini. Sama halnya dengan bertebarannya nama-nama malaikat, nabi-nabi, sahabat dan putri Nabi Muhammad SAW. Tidakkah ini mencirikan perpaduan sempurna antara unsur lokal (Melayu) dan unsur Islam di dalam ilmu?

Secara historis, lebih dari 100 tahun lalu Islam telah masuk ke kawasan Embau. Tapi jika ditilik dari golak kepaduannya dengan lokalitas, Islam yang mengaliri darah orang Embau adalah Islam bergenre sufistik. Buku Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia (Mizan: 2001) karya Alwi Shihab bisa ditilik untuk mengujisahih hal ini. Lagipula, beberapa mantra memang mengandung adonan sufistik yang kental. Misalnya ilmu pembungkam yang memuat konsep kemanunggalan hamba-Tuhan (wahdat al-wujuud) dan ilmu tawar campak yang mengagungkan wali sufi Syekh Abdul Qadir al-Jailani (hal. 104 dan 125).

***

Meski penulis berhasil menguliti ilmu gaib dengan pisau antropologi, tapi ia tampak lalai untuk membidik sisi kekadaluarsaan ilmu. Bagaimanapun ilmu adalah konstruksi sosial yang dipasak oleh sistem pengetahuan (episteme) masa lalu. Bukti-bukti kemanjurannya dalam menghadapi kompleksitas masa kini tentu perlu dipertanyakan. Apalagi jika ditautkan dengan upaya penghalauan tindakan destruktif para penebang hutan dan pengeruk isi bumi Pulau Borneo.

Penulis juga sepertinya lupa untuk menguak sosok pencipta ilmu, entah itu lebih dari 300 mantra (hal. 145-205), rajah, jimat dan benda-benda keramat. Soalnya, dalam tradisi sufisme atau mistisisme Islam, pusparupa mantra dan rajah selalu dapat ditelusuri siapa tokoh penciptanya. Misalnya Hizb al-Bahr, doa ampuh yang mashur diketahui sebagai ciptaan Syekh Abu al-Hasan al-Syadzili. Semoga kelalaian dan kelupaan penulis tak mendalilkan kekurangmangkusan metode etnografi yang dipakainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun