[caption id="attachment_301262" align="alignleft" width="225" caption="wulan sutito"][/caption]
Penampilannya sederhana. Tak ada kesan mewah melekat pada dirinya. Ia sangat bersahaja dan memiliki berbagai pengalaman tak terhingga. Itulah, kekayaan sejatinya. Namanya Phiangduean Paweenawath. Dia kelahiran Negeri Gajah Putih, Thailand. Lahir di Bangkok. Ia keturunan China di Thailand. Dia lebih senang menggunakan nama Wulansari Sutito. Nama Wulan adalah pemberian ibu mertuanya. Menurut sang ibu, nama Thailand-nya, berarti inti dari bulan. Nama itu diterjemahkan dalam bahasa Jawa. Jadilah, nama Wulansari. Nama itu menyangkut spirit atau semangat. Setelah menikah, ia menambahkan nama sang suami di belakang namanya. Sang suami, Agus Sutito, pernah menjabat kepala Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK).
Ia biasa dipanggil Wulan. Siang itu, kami berbincang di teras coffe shop sebuah hotel bintang tiga di Pontianak, sembari menyerutup secangkir black coffe dan cappucino. Derasnya hujan yang mengguyur, tampak dari langit-langit hotel beratap plastik tembus pandang.
Bahasa yang kami gunakan, gado-gado. Bahasa Indonesia dan Inggris. Bila ada kata kalimat tak bisa diungkapkan, ia mendiskripsikannya.
“Saya anak kota,” katanya.
Wulan anak ketiga dari lima bersaudara. Sedari belajar di tingkat menengah, ia aktif di berbagai kegiatan. Ia pernah menjabat sebagai ketua di Student Club for Conservation. Ia tertarik dan bergiat, karena banyaknya permasalahan lingkungan di sekitar tempat tinggalnya.
“Limbah pabrik gula mencemari Mae Klong River,” kata Wulan.
Ia mengatakan kalimat itu, seraya menerawang. Mengenang pada masa yang telah lewat. Pabrik gula itu membuat pipa panjang dari pabrik hingga ke sungai. Melalui pipa itulah, air limbah dialirkan. Penduduk tak ada yang tahu. Limbah menimbulkan bau busuk dan polusi udara. Melihat kondisi itu, ia dan rekannya mulai bergerilya. Mereka mengambil bukti pencemaran dengan cara merekam dengan kamera, keadaan di sekitar lingkungan. Tak lupa, berbagai laporan dan hasil penelitian ditulis. Tak hanya itu, mereka pun menggalang isu dan melakukan diskusi dengan penduduk setempat.
“Kami mencoba mengangkut isu tersebut ke publik, melalui majalah dan surat kabar lokal,” kata Wulan.
Kegiatan tersebut, mendapat berbagai tentangan dari perusahaan. Menginjak usia dewasa, ia kuliah di Chulalongkorn University di Fakultas Biologi. Ketika menginjak dunia akademis, ia bergabung dengan 2516 Budhist Era atau 1973. Organisasi ini merupakan pergerakan mahasiswa Bangkok pertama. Dalam berbagai kesempatan, ia turut serta berunjuk rasa. Dalam salah satu unjuk rasa, tentara datang menggunakan helikopter dan menembaki mahasiswa.
“How long you can stand to see it?” kata Wulan, mengenang peristiwa itu.
Banyak korban jatuh. Ia tak jera. Pada Budhist Era 2519 atau 1976, sebuah peristiwa pahit kembali terjadi. Ketika mahasiswa berunjuk rasa, tentara menyambutnya dengan serbuan senjata dan lemparan bom. Tidak mudah mendapatkan demokrasi di Thailand, kata Wulan. Setelah lulus dari S-1, Wulan menjadi guru di desa. Ia mengajar pelajaran biologi. Meski menjadi guru, jiwa aktivisnya terus berkobar. Ia mengumpulkan guru-guru. Bersama dengan guru lain, ia membentuk Radio Programme for Children. Pada setiap akhir pekan, ada pertemuan terjadwal. Saat bertemu dan bercengkerama dengan penduduk, Wulan merasa sangat terenyuh. Ia merasa beruntung. Meski dari keluarga biasa saja, namun bisa mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Tak puas lulus S-1, ia melanjutkan ke jenjang S-2. Pendidikan S-2 diraih Kantsart University. Ia mengambil jurusan Ilmu Lingkungan. Di sini, ia bergabung dengan Consument Right Student Club. Bersama klub mahasiswa ini, Wulan turut menentang perusahaan yang menjual produk penyedap makanan, MSG (Mono Sodium Glutamat). Menurutnya, penyedap makanan ini tak bagus untuk otak. Klub mahasiswa mengenai hak konsumen itu, mempunyai banyak cabang di seluruh dunia. Karena protes itu, perusahaan penyedap makanan yang punya cabang di Jepang itu, mengundang klub untuk datang dan melihat secara langsung pembuatan penyedap masakan tersebut. Saat berada di perusahaan, mereka diancam. Tangan karyawan perusahaan, membentuk gesekan di leher, saat melintasinya.
Selain mendatangi perusahaan, Wulan dan anggota klub lainnya belajar mengelola pertanian organik. Pelajaran ini, mereka serap dan mereka sebarkan ke penduduk ketika ke Bangkok. Ia turut menjual hasil panen. Ada rasa bangga pada kalimat yang ia ucapkan. Kekuatan secara legal melindungi lingkungan, diperolehnya setelah lulus dan menjadi konsultan. Ia bisa melindungi lingkungan dengan analisa dampak lingkungan (AMDAL). Perlindungan terhadap lingkungan, juga dilakukan dengan mengecek dan membuat laporan penelitian terhadap air dan udara. Pada 1990, kantornya mengirim Wulan ke Indonesia, untuk pelatihan selama sembilan bulan di Balai Latihan Kehutanan, Gunung Batu, Bogor. Selama pelatihan, banyak tempat konservasi kunjungi. Ia pernah menjejekkan kaki ke Bali barat, Ujung Kulon, dan Gunung Gede Pangrango, dan lainnya. Semasa pelatihan inilah, ia mengenal Agus Sutito. Terjalin hubungan istimewa. Hubungan terus berlanjut, walaupun ia mesti kembali lagi ke Bangkok. Komunikasi melalui telepon dilakukan. Sekedar sapa dan perhatian terus berlangsung. Pada 1992, Agus Sutito melamarnya di Bangkok.
“That time my life was change,” kata Wulan, yang ketika itu bekerja di Field Coordinator Kapuas Hulu, untuk TropenBos International. Ia harus rela meninggalkan berbagai kegiatannya di Bangkok. Tak lama di Indonesia, ia mengikuti suaminya, yang melanglang buana ke Kanada, karena mendapatkan beasiswa. Di Kanada, ia kerja serabutan. Menjadi penjual kopi, pencuci piring, dan mendorong gerobak hot dog untuk berjualan. Di negeri itu, ia menyimpan banyak kenangan. Ketika musim salju, ia mesti bangun pukul enam pagi, setiap hari. Saat suami harus belajar, ia harus bekerja. Ia harus melewati salju yang tingginya selutut. Dari kerja itulah, Wulan bisa menabung. Ia tak suka menghamburkan uang. Dengan tabungan hasil kerja, mereka mengunjungi taman nasional di Amerika. Ia ingin tahu bagaimana cara mengatur taman nasional. Sekitar dua tahunan, pasangan ini di Kanada. Pada 1994, mereka kembali ke Indonesia. Sekembalinya ke tanah air, mereka harus berpisah. Agus mesti berangkat ke Surabaya untuk pekerjaannya. Ia mulai merasa kesulitan. Ada kendala bahasa menghadang. Wulan tak bisa bahasa Indonesia. Ia mulai belajar bahasa Indonesia, dan membeli kamus dan buku gambar. Bila berkomunikasi, ia harus menggambar. Selain itu, Wulan tinggal bersama mertua yang sehari-har menggunakan bahasa Jawa. Sulitnya mendapatkan pekerjaan ia rasakan. Sebagai “orang asing”, ia harus melapor ke kantor Imigrasi setiap tahun.
“Pekerja instansi di negara ini, sangat rakus,” ujar Wulan kesal.
Setiap kali melapor ke kantor Imigrasi, dia harus membayar berbagai pungutan. Padahal, penggunaan itu tak jelas. Kedutaan besar Bangkok di Jakarta, akhirnya memberinya pekerjaan di Universitas Indonesia, sebagai dosen tamu untuk mata kuliah Bahasa Thailand 1 dan 2. Itu mata kuliah pilihan. Wulan mengajar 150 mahasiswa/si. Bantuan juga diberikan sahabatnya, Adi Sasmianto, yang pernah menjabat kepala Balai Nasional Gunung Halimun. Ia diminta memberikan pelatihan kepada polisi hutan. Ia menerimanya, karena sangat ingin bekerja. Pada 2001, suaminya pindah ke Palangkaraya, sebagai Project Leader untuk Orang Utan. Wulan pasrah terhadap keadaan. Ia harus rela melepas pekerjaannya. Dia mengikuti suaminya.
“Entah apa yang terjadi, saya harus mengikutinya dalam keadaan apapun juga,” kata Wulan.
Ketika pertama datang ke Palangkaraya, kondisi daerah itu masih “panas”. Di sana baru saja terjadi kerusuhan antarkelompok. Banyak cerita menyeramkan hadir.
“They tell about potong kepala, mandau terbang, it’s so real!” Wulan tak gentar. Ia bahkan jatuh cinta pada daerah itu. Berbagai kerajinan tradisional, seperti ukiran dan manik-manik, menarik perhatiannya. Selain itu, lingkungan itu masih alami. Ia hidup bersama masyarakat Dayak Ngaju, Kahuringan, Palangkaraya. Hidup di lingkungan itu memberikan pengalaman tersendiri. “Budaya mereka sangat kental dan terkenal dengan magic-nya,” kata Wulan.
Wulan mengikuti upacara adat yang berlaku. Ia menghormati kebudayaan mereka. Ada peristiwa unik terjadi. Suatu ketika, ia mengikuti prosesi penerimaan sebagai penduduk di sana. Setelah ritual yang dijalani, Wulan mendapatkan batu Zambrut berwarna hijau. Batu ini muncul tiba-tiba, saat prosesi berlangsung. Menanggapi hal ini, dia berkomentar. “Saya sudah diterima sebagai penduduk oleh leluhur mereka. Bahkan, dapat present.” Pada 2003, Wulan turut serta ke Putussibau. Agus ditugaskan menjadi Kepala Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK). Kurangnya fasilitas pendidikan di daerah tersebut, membuat dirinya bersedih. Wulan mengatakan, daerah itu bangunan sekolah ada, tetapi gurunya tidak ada. Jiwa dan kepeduliannya terusik. Ia berinisiatif dan mengajar di situ. Namun, ia kecewa dengan kenyataan yang dihadapi. “No body want me to teach, they always think about economic more than education,” ujar Wulan sedih. Ia menerima hal itu dengan lapang dada.
“I have to change my Nation,” ungkap Wulan, “But, lanjutnya, everything is ok.” Pada 2005, Wulan resmi menjadi warga negara Indonesia. Pintu pekerjaan terbuka untuknya. Tropen Bos International, yang bergerak dalam pelestarian hutan, mencari seorang koordinator lapangan yang dapat berbahasa Inggris, baik oral dan tulisan. “No one there have qualify for the job,” Wulan memberitahu.
Selama menjalani pekerjaannya, banyak hal ditemui di lapangan. Banyak penebangan hutan dilakukan oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Pengalaman membuatnya sedih, adalah ada penduduk terbunuh dan tidak ada tindakan apapun menangani hal itu. “Dimana perasaan mereka saat melakukan hal itu?” kata Wulan dengan air mata yang menetes.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H