Mohon tunggu...
arthur
arthur Mohon Tunggu... Wiraswasta - .

manusia biasa yang belum masak dan senang menulis..berharap bisa berbagi informasi lewat kacamata sempit, yang tersimpan diruang kecil di bagian otak saya....mencoba meramu masakan hidup dalam aliran kata-kata, dari bahan berupa mata, telinga, hidung, mulut, dan hati....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Puncak Garuda Usai Merapi ‘Menangis’

21 Oktober 2010   18:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:13 926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Geliat lava Gunung Merapi di Yogyakarta hingga Kamis (21/10) malam berdasarkan pemberitaan Kompas.com, menjadikan status Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya menjadi siaga. Erupsi lava yang dikandung ‘mulut’ Gunung Merapi, tinggal menunggu waktu. Apakah Gunung yang dikawal Mbah Marijan sebagai juru kuncinya itu akan mengeluarkan airmata cairan panas atau menahan isaknya tetap di perut bumi????....

Indikasi yang menguatkan kemungkinan Gunung Merapi akan mengurai cairan inti bumi ke permukaan daratan di Yogyakarta dan sekitarnya, sudah bermunculan. Harimau, kera, bermacam burung, dan lainnya, turun gunung hijrah dari tempat asal. Tangisan Gunung Merapi tentunya akan mengakibatkan berubahnya morfologi gunung, yang pernah saya jajaki bersama teman kuliah sekitar 2003, lalu. Satu di antaranya adalah Puncak Garuda, yang menjadi titik terakhir pijakan kaki pendaki, sebagai puncak tertinggi. Meletusnya Gunung Merapi otomatis akan melenyapkan puncak lama sekaligus memunculkan Puncak Garuda baru. Letak Puncak Garuda baru di mana, entahlah. Hanya para pendaki yang tahu.

Sedikit memori saat mendaki ketika itu. Pendakian yang dimulai dari daerah Kaliurang setelah magrib, melalui lintasan yang tak bisa dibilang sepele. Plus pengalaman sedikit mistis saat menghabiskan malam di tenda, sebelum menuju puncak yang dilakukan pukul 05.00 pagi, sesuai kesepakatan bersama. Sekitar pukul 22.00 malam, teman asal Kalimantan Tengah, Sendo dan saya yang asyik mengobrol di luar tenda tentang cewek yang ditaksir dan ikut serta, bergegas masuk setelah melihat sesuatu berwarna putih seperti kain, melayang di antara pohon. Saya berhasil mendahului Sendo menempatkan tubuh di antara teman lain yang sudah melantunkan nyanyian ngorok. Sedangkan Sendo, saat masuk ke tenda, misah misuh sebentar, dan keluar lagi. Ketika diingatkan bahwa sudah menjelang pagi dan perlu istirahat untuk persiapan stamina melanjutkan pendakian, ia menjawab : “Sudah penuh gitu, ndak ada tempat lagi. Mending tidur di luar saja!”. Weleh, padahal ada satu tempat yang memang sudah dikosongkan untuk manusia buncit itu tidur. Saat saya masuk, ada dua tempat kosong. Siapa yang mengisi tempat satu lagi????....Saya diam dan berujar : “Sudah kosong, Ndo. Masuk saja,”. Sendo manut dan terheran karena tempat yang dilihatnya sudah terisi itu, kosong. Padahal, tidak ada yang keluar dari tenda. Kami diam, tahu sama tahu tentang sesuatu seperti itu. Sekitar pukul 03.00 pagi, saya terbangun tiba-tiba dan mendengar suara langkah lebih dari satu orang mengitari tenda. Saya menurunkan kupluk hingga melewati mata dan berusaha tidur lagi.

Sekitar pukul 04.30 pagi isi tenda menampakkan tanda kehidupan. Saatnya melakukan persiapan untuk melanjutkan perjalanan. Peni dan Manda (Yogya), Richard (Papua), Sendo, menyerah dan hanya ingin menunggu tenda. Lainnya, bertekad mencapai puncak. Pendakian semakin berat saat tiba di batas vegetasi. Lintasan menuju puncak berupa batu-batu besar, kerikil, dan batu yang mudah luruh bila dipijak. Pendaki harus menaikkan level kehati-hatinya saat melangkah dengan rute zig-zag. Sutris dan Rio (Kalimantan Barat), menjadi kepala jalan. Agus Lotok dan Agus arsitek (Padang) pemula yang mengekor di belakang. Agus, (Tangerang) hampir terkena batu-batu yang luruh. Puja (Bali), bahkan harus ngesot dengan perlahan. Satria (Yogya), penjaga barisan belakang. Dag dig dug saya rasakan. Apalagi saat menapak di atas bongkahan batu yang menutup sebuah lubang besar. Bau belerang tercium menyengat. Merayap di dinding batu juga dilakukan, hingga mencapai Puncak Garuda. Gunung Merapi yang berada 2965 meter di atas permukaan laut, menjadi catatan perjalanan yang masih terekam dalam ingatan. Apakah tetap seperti itu tinggimu, Merapi, setelah engkau menangis nanti????....

(setelah turun dan cerita-cerita tentang pengalaman mendaki, saya baru tahu jika lokasi mendirikan tenda merupakan pesanggrahan yang biasa digunakan untuk meletakkan sesajen saat ritual adat. Saya lupa nama lokasinya).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun