Mohon tunggu...
arthur
arthur Mohon Tunggu... Wiraswasta - .

manusia biasa yang belum masak dan senang menulis..berharap bisa berbagi informasi lewat kacamata sempit, yang tersimpan diruang kecil di bagian otak saya....mencoba meramu masakan hidup dalam aliran kata-kata, dari bahan berupa mata, telinga, hidung, mulut, dan hati....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Indonesia Negaraku, Malaysia Produk Sehari-hariku

15 September 2010   15:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:13 945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_258957" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Plesir atas nama study banding????.... Wuih, siapa yang tak mau. Kalau nama Anda diikutsertakan dalam daftar peserta study banding tersebut, Anda pasti akan dengan secepat kilat menganggukkan kepala (begitupula saya). Bayangan keindahan negara Afrika Selatan tempat perhelatan piala dunia 2010, negara matahari terbit Korea Selatan, dan negeri Sakura Jepang, sudah menari di pelupuk mata. Lengkap dengan pose narsis seperti bertuliskan : "uhuy, saya sudah pernah ke sini, lho". Mudah-mudahan saja, anggota DPR RI yang menghabiskan dana 3,7 Miliar tersebut tidak tertidur saat melakukan study banding, seperti yang dilakukan saat rapat di rumah rakyat. Sehingga, saat mereka pulang ke Indonesia, hasil study banding tersebut bisa bermanfaat untuk masyarakat Indonesia yang lupa tentang Praja Muda Karana (Pramuka). Salut untuk wakil rakyat yang peduli akan Pramuka. Memang seharusnya pelajaran tali temali dan kemandirian untuk mengobati diri sendiri harus dikenalkan sejak dini. Terutama, mempersiapkan diri membuat kerajinan tangan untuk menyambung nyawa di negara yang penuh dengan koruptor terampuni, plus uang negara yang digunakan untuk membangun gedung mewah daripada digunakan untuk perbaikan infrastruktur dan kesejahteraan rakyatnya. Ditambah, banyak bencana alam yang terjadi dan tak ada yang perduli penderitaan luapan lumpur lapindo. Oh, iya, ada ndak wakil rakyat yang mau plesiran ke daerah perbatasan Indonesia-negara tetangga????....Saya jamin, plesiran study banding ke daerah perbatasan, akan mencengangkan Anda. Saya akan bercerita sedikit tentang daerah perbatasan di daerah saya, sebagai oleh-oleh plesiran pekan lalu, saat menjadi backpacker pemula ke Brunai Darussalam-Kota Kinabalu-Kuching, yang melintasi gerbang Entikong sebagai beranda depan rumah kita. Saya dan Sonny (teman backpacker dari Yogya) harus bermalam di rumah teman es-em-pe bernama Alex di Entikong, Minggu (5/9) lalu, sebelum menjejakkan langkah ke negara tetangga yang dituju. Ini dikarenakan keterlambatan kami yang menggunakan angkutan umum ke gerbang lintas batas, yang sudah tutup pukul 17.00 WIB (kami tiba sekitar pukul 20.00 WIB). Sebelum beristirahat, tuan rumah memasak dan menyuguhkan makanan sebagai santap malam. Sembari makan, Alex menceritakan kondisi Entikong dan masyarakatnya. Ia mengatakan, listrik menjadi kebutuhan dasar yang belum terpenuhi di Entikong. Agar rumahnya terang dikala malam, Alex harus 'nyantol' listrik tetangga. Hebatnya, ia menjadi orang ke enam yang ikutan nebeng listrik pada tetangganya itu. Tak heran jika listriknya berlabel "kadang kala". Kadang kala nyala, kebanyakan mati. Tahu diri menjadi keharusan setiap pemilik rumah yang ikut 'nyantol' listrik. Bagaimana tanggapan penduduk Entikong tentang kericuhan Indonesia-Malaysia????.... Ia mengatakan, ribut-ribut memanasnya hubungan Indonesia-Malaysia, tidak membuat takut masyarakat sekitar. Namun, dampak di bidang perekonomian, sangat terasa. Terutama kenaikan harga beberapa barang kebutuhan masyarakat. "Penduduk sini menggunakan tabung gas dari Malaysia. Sebelum keadaan memanas, harga per tabung Rp. 85 ribu. Sekarang, sudah naik menjadi Rp 95 ribu," ujarnya. Mengapa memilih tabung gas Malaysia????.... Menurut Alex, masyarakat Entikong enggan menggunakan tabung gas Indonesia. Pemberitaan di televisi tentang bom tabung gas 3 kg yang merenggut ribuan nyawa, membuat mereka takut. Apalagi, banyak keuntungan dari produk Malaysia, yaitu : isi tabung 16 kg, murah (dibandingkan harga tabung gas Indonesia 12 kg yang berharga Rp 120 ribu per tabung), mudah diperoleh di pasaran. Tentunya, aman dan tidak membahayakan nyawa. Saya dan Sonny, mengangguk-angguk mendengar penuturan Alex. Makan malampun usai. Piring bekas makan dan sisa lauk pauk diangkut ke dapur. Lalu, air mineral kemasan botol disuguhkan tuan rumah. Kami lagi-lagi harus tercengang. Merek pada kemasan menarik perhatian. Bukan MPRETvit atau aquaSU yang biasa beredar di toko-toko kita, tapi "Borneo". Nama merek tersebut tak asing bagi saya. Karena, saya memang tinggal di pulau Borneo. West Borneo, orang londho bilang. Namun, perusahaan minuman kemasan tersebut adalah Malaysia. Lagi dan lagi. Faktor murah dan kemudahan memperoleh produk tersebut menjadi alasan masyarakat Entikong untuk mengutamakan membeli produk Malaysia dibandingkan produk Indonesia. Hanya itukah produk Malaysia yang digunakan masyarakat Entikong????....Tidak, bung. Transaksi sehari-hari masyarakat menggunakan Ringgit dan Rupiah (tuh, persahabatan dua negara ini sebenarnya tak bisa dipisahkan). Camilan teman ngupi berupa biskuit dan cake negeri jiran. Gula dan beras made in Malaysia. Kendaraan yang berseliweran di gerbang lintas batas, kebanyakan bernomor kendaraan asal Ipin-Upin (bahkan, ada penduduk Entikong yang memiliki kendaraan bernomor Malaysia). Nah, wakil rakyat (yang membaca) terhormat, tak perlu jauh-jauh study banding dan menghabiskan uang negara. Datanglah ke daerah perbatasan dan lakukan upaya percepatan pembangunan di sana. Mungkin lebih baik dilihat faktor dan cara mengatasi permasalahan di daerah perbatasan, daripada tepuk tangan Pramuka ke tiga negara. Oiya, bagi yang berkoar ingin perang dengan Malaysia, mendingan kita ikut sumbang pikiran bagaimana memajukan daerah kita dan percayakan diplomasi yang dilakukan pemerintah. Coba bayangkan berapa banyak jumlah penduduk yang hidup di daerah perbatasan dan sangat tergantung pada produk Malaysia. Kalau negara tetangga kita itu menyetop produk mereka masuk ke Indonesia, masyarakat tersebut bisa melarat kelaparan sebelum perang. Menyedihkan sekali.... images%3Fq%3Darthurio%2Boktavianus%26um%3D1%26hl%3Did%26biw%3D1366%26bih%3D607%26tbs%3Disch:1&um=1&biw=1366&bih=607&tbs=isch:1&start=0#tbnid=EmxjUXRYLDgoXM&start=4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun