Pada suatu malam, seorang teman mengajak bertemu sambil makan di warung Harjo Bestik, Pasar Kembang. Saya sudah tahu, pasti akan mengisi obrolan dengan tema sentral, strategi pemenangan Pak Jokowi di pemilihan gubernur DKI. hari-hari itu sekira dua pekan menjelang kampanye putaran pertama.
“Mas, sudah ada beberapa pengusaha mau ketemu Pak Jokowi. Mereka menyatakan siap nyawer, membantu biaya kampanye. Tapi, sampai saat ini belum memperoleh konfirmasi dari Pak Jokowi, kapan bisa diagendakan bertemu dengan mereka. Bisa bantu, Mas?” kata teman itu.
“Wah, itu dukungan bagus. Tapi maaf, saya tak bisa membantu apa-apa. Tanya jadwal ke ajudan saja,” jawab saya.
Singkatnya, teman saya mengaku sudah menghubungi ajudan, meminta diagendakan waktu pertemuannya, namun belum memperoleh jawaban kepastian. Sang teman pun lantas berkeluh kesah. Dua pekan sebelumnya, ia dan seorang temannya berniat membantu Pak Jokowi dengan cara menghimpun dana kampanye lewat jejaring mereka. Saya tahu, teman saya itu berniat membantu dan tulus, dan memiliki kelompok diskusi di Jakarta, di mana beberapa anggotanya ada tokoh-tokoh publik, termasuk seorang ilmuwan bersih bergelar profesor.
Pada pertemuan kala itu, beberapa pengusaha besar dan dikenal bersih juga turut hadir dan sudah menyatakan dukungan moral dan finansial untuk Pak Jokowi. Tapi, mereka agak kecewa karena Pak Jokowi tidak hadir. Ia bertutur, lima pengusaha yang hadir saat itu marah-marah, dan menyatakan tak hendak mendukung Jokowi.
Saya tertegun. Hingga muncul tulisan ini, saya masih percaya teman saya itu masih mati-matian membela pasangan Jokowi/Basuki untuk memimpin DKI. Ia punya jejaring lembaga riset, yang rajin melakukan penelitian dengan metode wawancara secara tatap muka, dan menyerahkan hasil penelitian dan analisinya ke Pak Jokowi, secara sukarela.
Tapi terhadap lima pengusaha yang kecewa tadi, saya hanya bisa menggeleng. Sejujurnya, ada kecurigaan dukungan mereka tidak tulus. Andai tulus, pengusaha itu tak usah marah-marah, namun bisa mengalokasikan dana yang hendak dia sumbangkan untuk biaya penelitian, memproduksi media untuk kampanye, atau menyumbang ke sejumlah kelompok relawan.
Satu lagi usulan sang teman, yang sempat diutarakan kepada saya, dalam obrolan malam itu. Katanya, “Mas, sebetulnya banyak pengusaha, tokoh dan individu-individu lain yang mau bertemu dan membantu. Andai dalam pertemuan nanti, Pak Jokowi mau membuat pernyataan supaya dia dibantu, pasti orang-orang itu akan membantu.
Intinya, beberapa dari mereka juga ingin diwongke, diakui keberadaanya. Kalau Pak Jokowi mau menyampaikan permintaan, pasti mereka bantu. Mereka kan juga senang, merasa berarti jika dimintai.”
Terhadap pernyataan itu, saya hanya terdiam. Saya hanya bisa menjawab diplomatis: “Pak Jokowi tak akan pernah meminta, Mas...”
Sang teman menjawab: “Apa susahnya menyatakan permintaan to, Mas? Itu kan cuma basa-basi saja, pemanis obrolan semata.”
Saya kembali terdiam. Hingga beberapa menit, suasana di atas meja kami hening, sebelum akhirnya saya kembali membuat pernyataan, bahwa Pak Jokowi bukan tipe peminta-minta. Diberi pun, ia akan menimbang jumlah pemberian dan siapa si pemberi. Pak Jokowi tak mau jika pada sebuah pemberian tersembunyi pamrih. Meski, Pak Jokowi sudah punya mekanisme ‘pencatatan’ sendiri, siapa melakukan apa, siapa berkonstribusi apa, dan seterusnya. Kelak, ia akan melakukan sesuatu, sebagai pertanggungjawaban atas sebuah bantuan/pemberian. Yang jelas, ia tak pernah mau ada sebuah hubungan transaksional.
***
Jokowi yang saya pahami adalah sosok manusia Jawa yang kaffah dan istiqomah. Bagi orang Jawa, meminta demi kepentingan pribadi itu pantang. Ora ilok,kata orang Solo. Orang dalam posisi peminta itu asor atau rendah, subordinat terhadap yang lain. Ada istilah praja, kehormatan yang harus dijunjung manusia Jawa.
Bagaimana praja sebagai nilai moral masih hidup, silakan simak sendiri. Orang Jawa cenderung tidak akan menjawab langsung jika ditawari makan, menginap, dan sejenisnya. Bukan sekadar malu-malu tapi mau atau jaim seperti orang sering salah sangka. Selapar apapun ketika ditawari hingga setengah dipaksa makan, orang yang teguh pada nilai Jawa akan merespon dengan makan cuma sedikit, seolah hanya untuk syarat, basa-basi. Ya begitulah kenyataannya.
Silakan bertanya kepada pengayuh becak, berapa seseorang harus membayar atas jasa kayuhannya? Para penarik becak yang masih nJawani, ia akan bilang sumangga kersa, terserah. Ia akan mengembalikan si calon penumpang dengan ukuran kepantasan. Bagi tukang becak yang istiqomah dengan kejawaannya, akan diam saja tapi tetap bilang matur nuwun ketika pemberiannya kurang sepadan. Jika berlebih, pun ia akan mengucap terima kasih dengan lebih takzim.
Pada peristiwa demikian, yang bisa kita petik adalah, bahwa kita, setiap manusia sejatinya punya ukuran kepantasan. Orang yang kebangetan akan cerewet menawar, tapi bagi yang berkepribadian matang dan bijak mampu menakar. Kalau perlu, memberi lebih dari yang diukur dari kepantasan. Bahwa itu tak gampang dipahami, memang iya.
Tapi, menakar seberapa dalam kerendahhatian Jokowi, bisa kita lihat dalam berbagai peristiwa. Ketika disebut sebagai “walikota bodoh” oleh Gubernur Bibit Waluyo, ia lebih memilih jawaban singkat, “ya, saya memang bodoh.” Tak perlu melawan dengan reaksioner atau marah. Toh, semua orang akan mampu menakar dan menilai, mana yang pantas, baik atau sebaliknya.
Begitu pun ketika di Pilkada Jakarta, Jokowi dan keluarga diragukan keislamannya, ia pun memilih diam, tak bereaksi melawan apalagi berlebihan. Baik Bibit Waluyo, Fauzi Bowo, Rhoma Irama atau siapa saja yang meremehkan dirinya, percayalah, Pak Jokowi tak akan melawannya. Ia lebih suka meresponnya dengan diplomasi budaya (Jawa). Saya yakin, Pak Jokowi, kita semua, termasuk saya, sudah paham dan bisa membedakan, mana baik mana buruk. Sesederhana itu.
Terhadap semua pengorbanan dan jerih payah relawan, saya yakin, itu dicatatnya sebagai “hutang budi” yang kelak akan dibayarnya secara tunai. Bentuknya, bisa macam-macam. Salah satunya, ya bekerja dengan baik, transparan pada anggaran, dan seterusnya. Sebab ia tahu, banyak orang rela membantu kemenangannya lantaran punya harapan terhadapnya. Dan itu, sejatinya justru membuat Pak Jokowi kian bertanggung jawab.
Saweran uang warga di Jakarta Utara sebesar Rp 1.333.000 yang diberikan kepada Pak Jokowi saat kampanye, saya yakin akan diganti dengan mengupayakan perbaikan lingkunngan dan kualitas hidup mereka, lewat program dan kebijakan pembangunan yang mendukung mereka. Begitulah cara Jokowi membayar hutang budi.
Seberapa besar bantuan seseorang, selama itu terkandung maksud/pamrih pribadi, pasti akan ditolaknya. Namun, uniknya, cara Pak Jokowi menolak pemberian pun selalu halus, tak pernah mempermalukan si calon pemberi. Tapi, cara yang paling lazim adalah dengan cara menghindari pertemuannya. Begitu yang saya pahami dari Pak Jokowi, ketika harus merespon sebuah situasi.
Percaya atau tidak, silakan buktikan sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H