Saya merasa terganggu dengan twit seperti terpampang di postingan ini. Mau disebut membela Pak Jokowi atau apa, terserah saja. Saya tak peduli soal begituan. Concern saya hanya pada potensi fitnah, atau setidaknya bisa mendiskreditkan Pak Jokowi, yang selama ini dikenal memiliki kepedulian pada pengembangan budaya dan pemberdayaan warga melalui sejumlah kebijakannya selama menjabat Walikota Surakarta.
[caption id="attachment_108850" align="aligncenter" width="600" caption="Ini lho, bekas gedung bioskop, yang diberi label Gedung Kesenian Solo itu..."][/caption]
Kalau merunut twit dan retweet, saya kok menduga Swastika hanya melemparkan wacana untuk mencari bukti konsistensi seorang Jokowi. Saya yakin tak ada tendensi negatif pada diri Swastika. Masih dengan modal dugaan, mungkin Swastika mendapat informasi sepihak dari teman-teman yang selama ini memanfaatkan bangunan mangkrak yang kini dinamai Gedung Kesenian Solo, bahwa di tempat tersebut akan dibangun mall, atau setidaknya berubah peruntukan.
Kata ‘kesenian’ memang seksi, apalagi jika dilekatkan dengan kata ‘gedung’ dan sebagainya. Sebagai manusia setengah seniman, yang separuh lebih dari usia saya, banyak bersinggungan dengan seni, seniman dan pusat kesenian, maka saya ingin memberi gambaran sekadarnya, sepanjang yang saya ketahui.
Gedung kesenian di Solo, dalam arti tempat dilangsungkannya beragam aktivitas kesenian, yang saya kenal adalah Taman Budaya Jawa Tengah atau dikenal dengan Taman Budaya Surakarta (TBS). Sebelum era otonomi daerah, TBS berada di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan alias pemerintah pusat. Hampir semua provinsi memiliki taman budaya. Kebetulan, untuk Jawa Tengah terletak di Solo.
Sebelum terpusat di Kentingan, dulu ‘markas’ seniman berada di Kamandungan, kompleks Kraton Surakarta dan kampus Mesen, dengan nama Pusat Kesenian Jawa Tengah. Baru pada awal 1980an (kalau tak salah) PKJT dipecah menjadi dua, yang bergerak di pendidikan kesenian bernama Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) lantas berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) dan kini bernama Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Untuk ‘showroom’ produk seni, ya di TBS itu.
Selain itu, ada Taman Balekambang yang pernah jadi markas Srimulat dan grup kesenian ketoprak. Kini, setelah penataan kawasan, gedung ketoprak dipindah dan dibuatkan bangunan baru yang dikelola Dinas Pariwisata Kota Solo, dengan penampilan rutin grup Kelompok Ketoprak Seniman Muda Surakarta.
Di kawasan Sriwedari, ada gedung Wayang Orang Sriwedari yang masih beroperasi hingga kini. Sekadar mengingatkan, Sriwedari dulu dikenal sebagai Kebon Raja, yakni taman milik Kraton Surakarta. Dulu, kebun binatang juga di situ sebelum dipindah di Jurug, pinggir Bengawan Solo.
Di kompleks Sriwedari ada Museum Radya Pustaka yang beberapa tahun silam ketahuan kehilangan banyak asetnya. Ada juga THR alias Taman Hiburan Rakyat. Orang luar sering rancu, menyebut Taman Sriwedari sebagai Taman Budaya Surakarta. Padahal, jelas beda. Sriwedari, tentu saja masuk kawasan cagar budaya karena peran sejarahnya. Di THR, kini rutin untuk pentas musik dangdut, lagu-lagu Koes Plus dan tembang kenangan, selain ada aneka permainan anak-anak seperti bom-bom car dan sejenisnya.
Di antara Museum Radyapustaka dan THR ada gedung pertemuan bernama Graha Wisata Niaga. Dan tepat di belakang gedung pertemuan itulah, dulu terdapat Solo Theatre, yakni gedung film yang masuk jaringan Cineplex 21-nya Sudwikatmono. Kalau tak salah ingat, dulu manajemen usaha bioskop itu dimiliki keluarga SJS, Solo Jasa Sarana, sebuah biro iklan di Solo.
Sejak awal 2000an, gedung Solo Theatre mangkrak karena usaha bioskop tak sekinclong dulu. Soal kepemilikan tanah, saya kurang tahu persisnya. Yang pasti, beberapatahun silam disengketakan para ahli waris (kerabat Kraton Surakarta) dengan Pemerintah Kota Surakarta. Bisa jadi, manajemen bioskop hanya menyewa atau memiliki hak guna saja.
Karena mangkrak itulah, tempat itu pernah digunakan untuk aneka kegiatan, termasuk sebuah komunitas (pembuat dan apresian) film MataKaca membersihkan dan memanfaatkan tempat itu sepengetahuan Kepala Dinas Pariwisata setempat. Beberapa kali digunakan untuk pemutaaran film alternatif, juga beberapa kegiatan seni lainnya. Yang pasti, tidak ada kegiatan seni rutin atau periodik. Jangan membayangkan ada ruang pertunjukan teater, musik dan sebagainya dengan fasilitas tata cahaya dan tata suara memadai layaknya gedung-gedung kesenian seperti yang diketahui umum.
Selengkapnya, baca di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H