Penonton siaran berita televisi pasti mafhum dengan awalan kalimat “Dan memang...” dan “Seperti kita lihat...” yang kerap diucapkan seorang reporter atau presenter televisi. Tak ada yang mendominasi, baik pribadi maupun stasiun televisi. Kelatahan penggunaan dua frasa itu merata di hmpir semua stasiun televisi, meski harus diakui, TVRI masih tertib dalam pemilihan diksi dan intonasi.
Saya tak tahu persis, apakah dalam manajemen televisi swasta mempekerjakan staf redaksi yang mengurusi soal bahasa seperti halnya di media cetak, baik koran maupun majalah. Suka atau tidak, harus diakui persoalan tertib berbahasa kita masih payah. Penggunaan logika bahasa yang kacau dan pemahaman yang kurang memadai dalam hal rasa bahasa, misalnya, terlalu sering dipertontonkan oleh reporter, terutama ketika melakukan siaran langsung.
Yang mengherankan, hingga kini pun belum membaik. Pada 4 Oktober 2009, misalnya, saya dibuat terheran-heran ketika penyiar berita sebuah stasiun televisi melaporkan peristiwa evakuasi korban gempa di Sumatera Barat. Dituturkan penyiar itu, upaya penyelamatan korban dilakukan oleh “TNI dan marinir”. Boleh jadi, yang dimaksudpelaku evakuasi adalah anggota “TNI dan Polri” atau, misalnya, “..dilakukan oleh anggota marinir TNI.”
Kali lain, pada Pebruari 2010, stasiun televisi lainnya mewartakan kecelakaan sebuah taksi yang sedang melaju diseruduk bus hingga terdorong sejauh 25 meter. Taksi tanpa penumpang disebutkan ringsek pada bagian belakang. Narasi berita itu menyebutkan “....beruntung taksi tidak membawa penumpang sehingga tidak ada korban...”
Pada kasus kedua, ada kesesatan penalaran. Apapun keadaannya, karena taksi sedang melaju, bisa dipastikan ada sopirnya. Dalam konteks peristiwa celaka itu, mestinya sopirlah yang jadi korban serudukan oleh bis yang mengalami kerusakan rem (blong), terlepas dari berat atau ringan sebagai akibat. Kesesatan penalaran lainnya, kerusakan harta (material) berupa mobil tidak dianggap sebagai ‘kerugian’, seperti ditunjukkan melalui penggunaan kata ‘beruntung’.
Kini, saya sering risih dengan penggunaan frasa “Dan memang...” sebagai pembuka kalimat. Mestinya, frasa itu menghubungkan keterkaitan dengan kalimat sebelumnya, atau berguna untuk memberi gambaran situasi sesuai peristiwa, atau menjadi kesimpulan atas sebuah pokok bahasan. Dalam bahasa jurnalistik, kelatahan penggunaan frasa itu bisa berakibat fatal secara etika jurnalistik.
Sebagai contoh, jika frasa “dan memang”disambungkan dengan kalimat (misalnya) “ketiga terduga teroris merencanakan peledakan sejumlah lokasi strategis dengan bom-bom rakitan yang disiapkannya”, maka kesesatan akan menjadi bertambah parah. Pertama, jurnalis membuat kesimpulan dari sebuah petunjuk yang (bisa jadi) belum terkonfirmasikan. Dan kekeliruan kedua, menuduh sejumlah orang dari fakta yang masih belum jelas.
Kalimat pembuka “seperti kitalihat...” pun terasa janggal digunakan pada sebuah tayangan berita televisi. Kesan mendikte atau menggurui penonton (audiens) yang memiliki kemampuan menyerap informasi lebih terasa dibanding menempatkannya sebagai pihak yang sudah mampu mencerna atau mereaksi sebuah suguhan berita. Lebih tepat jika tayangan gambar diposisikan sebagai fakta atau obyek pendukung sebuah narasi pewartaan.
Televisi sebagai industri massal, mestinya memiliki tanggung jawab lebih besar dalam penyebarluasan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan tepat, dibanding media cetak. Selain murah, cakupan persebarannya pun jauh lebih luas dibanding media cetak yang tergantung kondisi geografis, dan serentak, seketika.
Namun yang terjadi, penyiar dan reporter televisi (terutama swasta) justru lebih mendominasi penyebaran bahasa yang salah. Seperti halnya radio swasta, yang turut berperan besar dalam ‘membudayakan’ penggunaan in, deh, dan dong ke seluruh penjuru Nusantara, meski secara kultur berbeda dengan komunitas budaya ‘gaul’ Jakarta.
Secara pribadi, saya bisa memaklumi, jika ada yang berdalih bahwa keragaman kata atau munculnya kata-kata baru (termasuk kata alay) itu wajar sebab bahasa terbentuk oleh kesepakatan penggunanya. Tapi dalam konteks berbangsa, identitas menjadi soal penting, sebagai pembeda dengan kelompok masyarakat yang berbeda-beda, budaya dan bahasa.
Padahal, dalam hemat saya, eksistensi kemanusiaan seseorang pun bisa diukur melalui praktek berbahasanya. Kita, tentu akan bingung ketika melihat seorang reporter televisi menyebut teroris sekaliber Noordin M Top yang ditembak polisi disebut dengan ‘wafat’, bukan ‘tewas’.
Tapi, ya begitulah bahasa. Kita terlalu sering abai terhadapnya. Dalih “yang penting komunikatif” atau “pokoknya bisa mewakilin perasaan gue” sering diajukan, semata-mata demi kepraktisan. Banyak orang tak peduli lagi berhadap bahasa kita, bahkan sering menganggap usil kepada orang yang menyoalkan ketertiban berbahasa.
Maka, tak usah kaget jika orang lebih suka menggunakan kata “merubah” dibanding “mengubah”, baik pada tulisan maupun secara lisan. Padahal, “merubah” itu bermakna “berlaku seperti rubah”. Bukankah demikian?
Dan memang, seperti kita lihat....
Eh, kapan ya, blogger ikut aktif menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan komunikatif pada tulisan-tulisannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H