Kedua kalinya nonton Sang Pencerah, semakin saya terpukau dengan gambar-gambarnya. Angle yang beragam, padu dengan pilihan artistik yang menunjukkan keseriusan riset. Tapi soal bahasa, terasa sangat mengganggu, terutama bagi orang-orang Mataraman seperti saya. Menyimak dialog-dialog Achmad Dachlan, misalnya, ingatan saya tertuju kepada Saifullah Yusuf, keponakan Gus Dur yang kini jadi wakil gubernur.
Dalam hal dialek, misalnya, Achmad Dachlan sangat jauh dari Yogya. Bahwa ia pernah hidup di Surabaya untuk sementara waktu, rasanya sulit periode itu mampu mengubah dialek asli, yang digunakannya sehari-hari, sejak kecil hingga dewasanya.
Beberapa yang mengganggu saya antara lain penyebutan ‘Anda’ oleh seorang kiai (asal Magelang) yang ditujukan kepada Dachlan, saat berada di ruang kelas yang baru dibangun. Pertama, kiai itu lebih tua, sehingga akan lebih pas kalau menggunakan kata sampeyan.
Kedua, jika menyimak kiai tua itu jauh-jauh datang hanya untuk mempertanyakan ketidaklaziman metode pengajaran Achmad Dachlan, bisa dipastikan keduanya memiliki kedekatan hubungan. Dalam hal kedekatan, maka kata ganti ‘Anda’ itu membalik relasi: menjadi berjarak.
Seperti masih dijumpai kini, antara kiai sealiran/seorganisasi saja selalu menunjukkan kesantunan, betapapun sedang berbeda pendapat, apalagi terhadap tokoh dari institusi, organisasi atau aliran lain. Baik kiai tua maupun Achmad Dachlan, dalam adegan itu, ditunjukkan keduanya sama-sama tidak memiliki adab, tata krama yang pantas diteladani. Keduanya sama-sama emosional, gampang marah.
Yang lain, cara bertutur dan intonasi anak-anak di film itu terasa betul ‘Jakarta’-nya, seperti ditunjukkan dalam kelas sekolah bangsawan, ketika Achmad Dachlan memperkenalkan pelajaran agama Islam. Juga, cara bertutur Walidah remaja, sebelum dinikahi Darwis.
Di kelas sekolah bangsawan pun, terasa ada kejanggalan ketika para siswa tiba-tiba bisa fasih dan kompak mengucapkan alhamdulillah tanpa dituntun. Padahal, hanya berselang beberapa ‘menit’ sebelumnya, anak-anak itu bingung membalas sapaan salam sang kiai muda. Ya, dari tak tahu merespon kalimat Assalamu’alaikum... tiba-tiba bisa meneriakkan alhamdulillah, sementara yang diajarkan (maaf) ‘hanya’ aspek kesehatan dari sebuah kentut.
Ada lagi yang mengganggu saya: soal penempelan kata ‘Pak’ pada ‘kiai’. Setahu saya, seorang santri cukup menyebut gurunya dengan kiai saja, tanpa embel-embel Pak, Mas, dan seterusnya. Belum lagi soal cium tangan, yang menurut hemat saya kurang lazim di kalangan komunitas Islam pembaru.
Cium tangan hanya pas, menurut saya, dilakukan santri/pengikut ulama tradisional seperti di kalangan pondok-pondok di bawah naungan Nahdlatul Ulama. Tradisi di Muhammadiyah, sebagai organisasi pembaruan Islam, mungkin lebih mirip dengan tradisi di Pondok Ngruki, Pondok Modern Gontor, yang menolak pengkhultusan guru agama. Dan cium tangan merupakan salah satu parameter (proses) pengkhultusan.
Dialog yang kian menunjukkan sutradara masih sangat berjarak dengan dunia Jawa adalah monolog kakak (ipar?) perempuan Achmad Dachlan gemremeng saat menyaksikan puing-puing Langgar Kidur yang diruntuhkan kaum tradisionalis. Perempuan itu menggunakan diksi nglakokké untuk kata yang berpadanan dengan melakukan. Padahal, kata yang lebih tepat adalah tumindaké (perbuatan) atau pokalé (ulah).Kata nglakokké lebih tepat untuk menjalankan kereta, sepeda, organisasi, dan lain-lain...
Hmm... Apa lagi, ya? Sepertinya masih ada beberapa, sih... Penyebutan mesjid gedhé sepertinya lebih enak didengar bila diganti dengan mesjid agung, seperti yang terjadi hingga kini untuk menunjuk masjid-masjid utama yang terkait dengan kraton, seperti Masjid Agung Surakarta atau Masjid Agung Kauman, Yogyakarta.
Oh, ya. Adegan sorak-sorai ‘pendemo’ yang meneriakkan Allahu Akbar... Allahu Akbar saat berbondong-bondong akan merubuhkan langgar Achmad Dachlan, kok terasa FPI banget, ya? Maksud saya, terasa ‘sangat kini’, kontemporer banget, gitu lho.... :p
Dan, kalau menyimak awal-awal adegan, sepertinya ada yang terlewat. Terutama dari mana Darwis memperoleh ‘pencerahan’ sehingga dia menolak hal-hal yang berbau bid’ah dan takhayul seperti ditunjukkan pada adegan Darwis mengambil sesaji di bawah pohon beringin.
Yang saya pahami, perubahan besar pada diri Darwis atau Achmad Dachlan justru pada periode haji pertamanya dan keberangkatan hajinya yang kedua, yang diniatkan untuk lebih banyak menimba ilmu pembaruan Islam sebagaimana diilhami oleh pemikiran-pemikiran Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan sebagainya itu.
Tulisan terkait, silakan baca di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H