Kita pasti sering melihat seseorang yang rajin beribadah, bahkan banyak memberi petuah tentang agama tapi berkelakuan bejat. Tentu saja, kelakuan bejat yang mereka lakukan sangat rahasia, tak diketahui umum. Mereka melakukan manipulasi, korupsi, atau lintah darat. Paling kejam, mereka jadi pembunuh sesama. Namun, dari luar mereka terlihat sebagai seorang yang sangat agamis sekali.
Di sisi lain ada seseorang yang jarang beribadah, bahkan hampir tidak pernah. Banyak orang menilainya ia kafir, layak masuk neraka. Di satu sisi, ia sangat menghormati sesama, tidak manipulatif seperti contoh pertama. Ia memegang teguh nilai-nilai humanisme, bukan serakah tapi bertopeng ”Tuhan”. Inilah kehidupan, penuh dengan drama seperti halnya yang disuguhkan beberapa orang ”pendusta” Tuhan.
Jika kita tengok pada realitas masyarakat, pembelaan justru banyak diberikan kepada ”pendusta” Tuhan tersebut. Pembohong janji kesetiaan utuh terhadap ajaran Ilahiah. Kita pasti banyak melihat fenomena tersebut, rajin ibadah tapi koruptor atau manipulator. Namun kenyataan seringkali membelanya, ”dosa besar itu bisa dihapus dengan bertobat”. Namun, bagi para ”kafir” tersebut, kata maaf seolah-olah tak pernah disampaikan. Hanya ada kata: layak untuk mati!
Para penjilat Tuhan ini malah sering tampil sebagai seorang yang penuh dengan ketaqwaan. Segala atribut keagaaman ia pasang. Dibalik itu semua, kejahatan ia lakukan dengan sadis, ”membunuh” Tuhan. Bukan membunuh dalam arti Nietszche, tapi benar-benar membunuh sifat-sifat Ketuhanan dengan perilaku bejat. Di sisi lain, mereka yang ”kafir” ini punya sikap. Mereka enggan melukai sesamanya meski ia hampir tak pernah beribadah. Ibadah mereka dalam bentuk humanisme.
Anda pilih jadi penjilat Tuhat atau si ”kafir” tersebut?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H