Namun, menurut saya Schopenhauer dan Nietzsche tidak sepenuhnya benar. Terlepas dari naluri alami seorang perempuan sebagai yang melahirkan keturunan, bukan berarti cinta itu tidak ada sama sekali. Saya masih percaya bahwa dalam beberapa kasus, cinta mendominasi perasaan wanita lebih dari naluri biologisnya. Namun, kecemasan (kegelisahan) dapat mengubah keputusan seorang wanita untuk memilih menikah dengan orang lain.
Di sinilah saya lebih setuju dengan Kierkegaard yang berpendapat bahwa kecemasan adalah inti dari semua filsafat. Keputusan kita lebih ditentukan oleh kecemasan yang menghantui kita. Berbeda dengan rasa takut yang memiliki objek untuk ditakuti, kecemasan tidak pernah mengandaikan apapun. Kegelisahan seringkali muncul dari ketidaktahuan kita akan segala kemungkinan yang akan terjadi. Kita tidak pernah tahu kemungkinan apa yang akan terjadi dari pilihan yang ada di depan kita, kemungkinan yang akan terjadi jika kita menikah dengan seseorang yang kita cintai, atau seseorang yang memiliki keamanan materi. Inilah mengapa Kierkegaard berkata:
"MENIKAH, DAN ANDA AKAN MENYESALNYA; JANGAN MENIKAH, ANDA JUGA AKAN MENYESALNYA; MENIKAH ATAU TIDAK MENIKAH, ANDA AKAN MENYESAL DENGAN CARA ... "
Menurut Kierkegaard, kami akan selalu menyesali keputusan apa pun yang kami buat. Jadi, menurut saya, tidak ada dasar ontologis yang cukup untuk mengatakan bahwa kita harus mempertimbangkan dengan cermat keputusan yang akan kita pilih. Karena mungkin, dengan pertimbangan yang berlebihan, rasa sesal akan semakin besar.
Kesimpulan
Berkaca pada Kierkegaard, pada akhirnya keputusan kita untuk menikah atau tidak, tidaklah begitu penting, meski kita harus memilih salah satunya. Setidaknya kita sudah tahu bahwa apapun keputusan yang kita buat, kita hanya akan menyesalinya. Namun, benarkah kehidupan setelah itu hanya menunggu penyesalan, sehingga kita tidak pernah bisa benar-benar bahagia?
Saya rasa tidak. Kata Nietzsche, kita masih bisa menikmati penyesalan dengan "mencintai takdir" (tak berbentuk). Kita harus menerima apapun konsekuensi dari keputusan yang kita buat, dan menjaminnya dengan sepenuh hati. Atau, paling tidak kita bisa memilih sesuatu yang sangat kita sukai, meski terkesan tidak memberi jaminan apa pun untuk masa depan. Lagipula, pada akhirnya kita juga menyesal, mengapa harus menerima kepahitan sebanyak dua kali?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H