IQ) yang tinggi, maka dianggap orang tersebut memiliki peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar dibanding orang lain.
Sejak kecil biasanya seorang anak diharapkan orang tuanya untuk mempunyai nilai yang bagus di sekolah. Setelah lulus sekolah, mereka diharapkan untuk mendapatkan pekerjaan yang dapat membantunya meraih "masa depan yang cerah" dan gaji yang tinggi. Banyak orang tua, bahkan para pendidik berpikir bahwa nilai tinggi dan lulus sekolah merupakan jaminan untuk mendapatkan pekerjaan dan kesuksesan. Disamping itu, jika seseorang memiliki tingkat kecerdasan intelektual (Pada kenyataannya, ada banyak kasus dimana seseorang yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi,tersisih dari orang lain yang tingkat kecerdasan intelektualnya lebih rendah. Ternyata IQ (Intelligence Quotient) yang tinggi tidak menjamin seseorang akan meraih kesuksesan. Akan tetapi, kenyataannya, dalam lapangan kerja yang semakin kompetitif dan spesialistis, membuat tidak seorang individu atau institusi manapun yang dapat mencapai tujuan mereka tanpa harus bekerja sama dalam tim, karenanya setiap orang dituntut untuk berkemampuan bekerja sama dengan orang lain.
Ada seorang anak yang sangat mampu dalam pelajaran logika atau menghitung khususnya matematika, namun ada juga seorang anak yang tidak memiliki kecerdasan dalam pelajaran tersebut, namun dia memiliki potensi misalnya dalam menggambar. Banyak orang berpandangan, bahwa jika seseorang memiliki kemampuan eksata atau berhubungan dengan pelajaran, maka masa depan anak itu akan sukses, karena mereka memiliki kemampuan untuk menghitung. Padahal setiap kemampuan orang masing-masing berbeda-beda. Orang yang sangat ahli matematika belum tentu ahli dalam seni,olahraga,musik,dan lain-lain. Bahkan orang yang sangat pandai dalam pelajaran belum tentu sukses seperti seniman terkenal yang belum tentu mereka memiliki pendidikan yang tinggi, bahkan mungkin malah putus sekolah.
Seorang psikolog dari Yale University, Peter Salovey menyatakan bahwa IQ menyebabkan seseorang mendapat suatu pekerjaan, sedangkan EQ menyebabkan seseorang mendapatkan promosi (kenaikan pangkat/jabatan) dalam pekerjaan itu. Beliau juga menyarankan pentingnya mendefinisikan, dalam dunia yang kompleks ini, apa sebenarnya arti menjadi cerdas.
Singkatnya, ketika seseorang akan memprediksi sukses yang akan datang, kekuatan otak sebagaimana diukur oleh IQ dari achievement test, sesungguhnya lebih kecil dibanding kekuatan karakter, atau EQ-nya. Definisi IQ (Intelligence Quotient) adalah seberapa cerdas seseorang, sedangkan definisi EQ (Emotional Quotient) adalah seberapa baik seseorang mempergunakan kecerdasan yang dimilikinya.
Selama lima generasi, para peneliti terus berdiskusi apakah memungkinkan meningkatkan IQ seseorang? Secara genetis jawabnya adalah tidak. Tapi ketika para peneliti kekuatan otak (brain power) masih berdebat mengenai hal ini, para peneliti ilmu sosial menyimpulkan bahwa EQ seseorang mungkin masih bisa ditingkatkan. Secara khusus, keterampilan seseorang, seperti: empati, keluwesan, kemampuan untuk membaca situasi sosial. Para ahli sosial secara kontinyu menekankan situasi dimana pengalaman telah mengubah EQ seseorang. Rasulullah Saw. bersabda :
... ( )
Artinya: "Sesungguhnya ilmu itu (didapatkan) dengan belajar, dan sesungguhnya kemurahan hati itu (didapatkan) dengan belajar (melatih diri) bermurah hati."
( )
Artinya: "Tidak ada orang yang bermurah hati kecuali orang yang memiliki (pengalaman dari) kesalahan, dan tidak ada juru hukum (yang sempurna) kecuali orang yang memiliki pengalaman (baik yang direncanakan maupun tidak).
Ahli sosial menyimpulkan bahwa dari penelitian EQ, hasilnya sangat cocok digunakan untuk mengategorikan mana orang-orang pesimistis dan mana orang-orang optimistis. Orang yang optimistis memiliki EQ yang tinggi dan melihat kendala sebagai hal yang minor (hal kecil). Sebaliknya bagi kelompok pesimistis dengan EQ rendah, kendala merupakan hal yang besar. Dalam lingkaran penelitian sosial,EQ tinggi menunjukkan kemampuan seseorang untuk bertahan, dan disini bisa terjadi persilangan di antara IQ (genetika) dan EQ (lingkungan). Seperti orang bisa memiliki: IQ tinggi-EQ tinggi;IQ tinggi-EQ rendah;IQ rendah-EQ tinggi;IQ rendah-EQ rendah.
Mengutip kata-kata Charlie Darwin: "The biggest, the smartest, and the strongest are not the survivors. Rather, the survivors are the most adaptable." (Orang yang bertahan hidup bukanlah yang terbesar, terpandai, dan terkuat. Melainkan orang yang paling mampu beradaptasi/menyesuaikan diri).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H