Pelaksanaan Ujian Nasional tahun 2015 kali ini nyaris sepi dari hingar bingar tentang pro atau kontra terhadappelaksanaannya, karena memang kali ini hasil Ujian Nasional tidak lagi dipakai sebagai penentu kelulusan siswa. Berbeda dengan pelaksanaan ujian nasional tahun sebelumnya dimana hasil ujian nasional tersebut sangat menentukan seorang siswa lulus atau tidak lulus dari jenjang pendidikan yang diikutinya. Karena hasil ujian nasional tersebut sangat menentukan kelulusan, maka kemudian banyak pihak yang berupaya dengan cara-cara curang agar kemudian para sisanya dapat lulus. Usaha tersebut dilakukan dengan melakukan pembocoran soal-soal ujian nasional dengan memberikan kunci jawaban kepada para siswa, dan lebih parahnya lagi dengan adanya kesepakatan diantara para pengawas yang pada umumnya berasal dari satu sub rayon untuk melakukan proses pembiaran, sehingga kemudian proses kecurangan tersebut berjalan mulus. Dan hal ini pernah diungkapkan oleh berbagai media massa baik cetak maupun elektronik, termasuk apa yang pernah diungkapkan oleh LSM 'Air Mata Guru' di Kota Medan, bahkan ada beberapa pelaku yang membocorkan soal dari tempat penggandaan soal yang terbukti membocorkan soal terpaksa harus menjalani proses persidangan dipengadilan. Meskipun demikian terang benderangnya permasalahan kecurangan ini namun menteri pendidikan pada masa itu tetap membantah bahwa telah terjadi kebocoran soal dengan dalih 'tidak dapat dibuktikan'. Sebagian orang berpendapat bahwa terjadinya kasus 'kebocoran' tersebut adalah sebagai dampak dari upaya yang didorong dari rasa takut tidak lulus. Nah...sekarang ketika kemudian ada kebijakan oleh Kementrian yang tidak menjadikan ujian nasional sebagai syarat kelulusan, apakah serta merta 'kebocoran soal' itu tidak terjadi? ternyata berdasarkan pemberitaan media bahwa kebocoran-kebocoran itu ditenggarai masih terjadi, salah satunya ditemukannya kunci jawaban soal ujian nasional oleh Komisi Ombusdman di Padang dari salah seorang siswa ketika hendak memfoto copy kunci jawaban tersebut. Bahkan melalui running teks tv swasta nasional mentri pendidikan menyatakan bahwa tingkat kebocoran soal berada dibawah 5 %. Berapa persenpun tingkat kebocoran tersebut, yang jelas telah terjadi kebocoran soal. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa ketika hasil ujian nasional tidak lagi menentukan kelulusan, mengapa masih ada saja oknum-oknum yang melakukan pembocoran soal? Tentunya ini perlu dilakukan kajian dan penelitian yang lebih mendalam. Namun apapun ceritanya menurut hemat penulis adalah bahwa sesungguhnya didunia pendidikan kita masih banyak terdapat 'para begal', yang ingin mendapatkan keuntungan-keuntungan untuk tujuan-tujuan tertentu dengan cara instan. Masih banyak pihak yang lebih mementingkan hasil daripada proses. Tingkat indeks prestasi penilaian dalam kelulusan siswa yang rendah masih dianggap sebagai 'aib' tidak hanya bagi siswa itu sendiri, tetapi juga bagi sekolah, dan tentu bagi daerah itu sendiri. Meskipun Mentri Pendidikan Anies Baswedan berkali-kali dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa dengan tidak menjadikan ujian nasional sebagai syarat penentuan kelulusan akan mendorong siswa untuk tidak terbebani dan pada akhirnya dapat mengikuti ujian nasional secara rileks sesuai dengan kemampuannya secara maksimal yang pada akhirnya para siswa dapat menjauhi perilaku curang, dan selanjutnya mentri juga mengingatkan agar pihak sekolah tetap menjaga 'integritas sekolah' dengan baik, karena setinggi apapun nilai yang diperoleh para siswa amat sangat tergantung kepada penilaian integritas sekolahnya. Namun harapan tetap harapan, dan tidak selalu kebijakan yang baik untuk memajukan dunia pendidikan akan terlaksana dengan baik selama para begal masih saja ada diinstitusi pendidikan. Oleh karena itu menurut hemat kami Kementrian Pendidikan harus berupaya membuat kebijakan yang mampu membrangus para begal pendidikan itu antara lain dengan membuat kebijakan pendidikan yang mampu membangun karakter siswa untuk malu berbuat curang,melakukan rekrutmen kepala-kepala sekolah dengan mengedepankan faktor integritas serta manejerial yang mumpuni, sehingga mampu membangun karakter sekolah yang benar-benar siap secara mental untuk berlaku jujur, dan jauh lebih penting lagi Kementrian Pendidikan hendaknya juga mengusulkan kepada DPR RI agar segera membuat peraturan perundang-undangan untuk memberikan sanksi baik pidana maupun perdata kepada para begal pendidikan tersebut, sehingga kedepan mutu pendidikan kita benar-benar dapat diandalkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H