Mohon tunggu...
Emir Harahap
Emir Harahap Mohon Tunggu... -

Profesi sebagai pendidik membuat saya terdorong untuk selalu 'bermanfaat' bagi orang lain.Saling berbagi,saling mengasihi,dan dengan dua hal tersebut dunia akan semakin nyaman untuk dditempati.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Qou Vadis Pendidikan Indonesia, Ujian Nasional Banyak Masalah?

26 April 2018   00:45 Diperbarui: 26 April 2018   01:17 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Quo vadis (Classical Latin: [ko wadis], Ecclesiastical Latin: [ko vadis]) adalah sebuah kalimat dalam bahasa Latin yang terjemahannya secara harafiah berarti: "Ke mana engkau pergi?" 

Melalui pemberitaan diberbagai media terkait dengan kebijakan pemerintah dalam hal ini Kemendikbud terkait dengan UNBK untuk tingkat SMTA maupun SMTP menimbulkan banyak polemik diberbagai daerah yang melaksanakan UNBK. Polemik tersebut terkait dengan pengadaan sarana prasarananya terutama pengadaan perangkat komputer , ketidakmampuan servernya, sampai dengan kualitas soalnya yang dinilai terlalu tinggi dan tidak sesuai dengan pembelajaran yang mereka dapatkan dibangku sekolah.

Keinginan pemerintah dalam hal ini Kemendikbud untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia terkait dengan program Nawacita Kabinet Kerja Presiden Jokowi patut didukung dan diberi apresiasi positif oleh seluruh rakyat Indonesia, karena bagaimanapun dengan pendidikan yang berkualitaslah Bangsa Indonesia dapat bersaing dengan bangsa lain dalam persaingan global saat ini. 

Sudah sejak lama kita menyadari kualitas pendidikan Indonesia jauh tertinggal dengan negara-negara lain didunia ini. Untuk negara di ASEAN sendiri pendidikan Indonesia menempati urutan kelima peringkat pendidikan negara-negara ASEAN seperti dilansir Deutsche Welle terbaru dibawah Singapura, Brunei Darussalam, Thailand dan Malaysia. Untuk dunia kita berada diperingkat 62 dari 72 negara menurut laporan PISA terbaru. 

Atas kesadaran itulah Indonesia sudah sejak lama berupaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia agar dapat sejajar dengan negara-negara lainnya didunia. Berbagai upaya dilakukan termasuk melalui amandemen UUD-1945 dengan menetapkan anggaran pendidikan sebesar 20 % dari dana APBN/APBD , dan juga berbagai upaya kebijakan pendidikan termasuk didalamnya gonta ganti kurikulum, namun semua usha yang dilakukan ternyata belum dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. 

Bahkan beberapa waktu yang lalu Bapak Wakil Presiden H.M.Jusuf Kalla memberikan kritikan bhw anggaran pendidikan dinegara Vietnam jauh lebih kecil dari anggaran pendidikan di Indonesia tetapi mampu meningkatkan kualitas pendidikannya bahkan sudah lebih maju dari Indonesia.

Tentunya banyak yang bertanya mengapa demikian? Apa yang salah dengan pendidikan di Indonesia sehingga kita tidak dapat meningkatkan kualitas pendidikan dibandingkan dengan negara Vietnam misalnya.

Jawabannya sederhana saja Kawan...,karena kebijakan pendidikan di Indonesia dibuat oleh mereka yang MERASA bijak dan bukan BIJAK merasa, sehingga kebijakan pendidikan yang diambil akhirnya justru membuat pendidikan di Indonesia semakin terpijak-pijak dan tidak jelas bentuknya. Kebijakan yang diambil tidak melalui proses yang benar-benar didasarkan kepada analisa yang dalam tentang kemampuan dan kebutuhan tapi lebih kepada kebijakan yang bersifat instan yang mengabaikan proses tapi hanya melihat hasil. Pelaksanaan Ujian berbasis komputer dengan alasan lebih efektif dan efisien tanpa mempertimbangkan kemampuan dan kesanggupan sekolah dalam pengadaannya

justru membebani sekolah dan peserta didik. Karena untuk pengadaan komputer sampai puluhan unit juga membutuhkan anggaran yang cukup besar belum lagi servernya dan pengadaan listriknya dan ironisnya pemerintah tidak mampu mengadakannya dan sekolah dilarang untuk mengupayakannya melalui bantuan dari orang tua berupa pemungutan iuran komite, dan sekolah akhirnya mendesak peserta didik untuk mengupayakan disertai dengan ancaman halus 'jika tidak' maka akan menumpang ujian disekolah lain yang memiliki fasilitas komputer. 

Belum lagi keluhan siswa yang termuat diinstgram kemendikbud yg mengeluhkan tentang tingkat kesulitan soal, yang dengan entengnya dijawab oleh Pak Mentri bahwa soal sengaja dibuat sulit sesuai dengan kriteria soal HOTS (Higher Order Thinking Skills) sesuai dengan standart intertnasiona. Sementara kebijakan tentang soal HOTS ini sendiri baru saja disosialisasikan oleh kemendikbud dan para pengajar dilapangan juga belum semua memahami tentang soal dgn kriteria HOTS ini. Berstandart Internasional? pertanyaannya sudahkah kurikulum dan Kegiatan Belajar Mengajar disekolah sudah mengadopsi dan beradaptasi dengan standart internasional tsb?  Pak Mentri ada adigium bijak, "kota Roma tidak dibangun dalam waktu semalam" dan  "hasrat hati ingin memeluk gunung, tapi apa daya tangan tak sampai". Saya rasa Bapak mengerti maksudnya.Trim's.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun