Keempat
HPI sedang membina para penerjemah dengan pendidikan nonformal untuk meningkatkan kualitas.
Kelima
Peneliti dan kritisi terjemahan harus berperan sebagai pendorong peningkatan kualitas.
Keenam
Pengembangan karir penerjemah harus mendapat dorongan dari masyarakat pengguna. Penerjemah dalam birokrasi harus diberi jabatan fungsional agar karirnya terjamin (upaya ini sedang ditangani oleh Sekretariat Negara dan Kementerian PAN).
Ketujuh
Perlu ada standardisasi kualitas melalui ujian kualifikasi (sejak tahun 1968 sudah dilakukan oleh Universitas Indonesia). Itulah sketsa profesi penerjemah Indonesia. Semoga penerjemahan yang ngawur seperti dikeluhkan Alfons Taryadi bisa berkurang jumlahnya. Namun, kelihatannya kita masih harus bersabar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H