Kisruh UU Minerba rupanya telah menemukan titik temu dengan kesepakatan kedua pihak untuk bersedia mengolah konsentrat di dalam negeri dan akan membangun smelter dengan cara menjalin kerjasama dengan pihak ketiga. Namun tidak demikian dengan polemik Bea Keluar (BK), pasalnya niat pemerintah untuk menarik keuntungan dari situasi ini dengan membayar BK hanya sekedar untuk memastikan keseriusan pelaku tambang untuk membangun smelter, sebelum bangun smelter bayar dulu, nanti kalau smelter sudah jadi ya tidak perlu bayar lagi, … seperti yang disampaikan pada media.
Menurut saya, keseriusan niat pelaku tambang untuk membangun smelter cukup dipantau dari waktu ke waktu terhadap perkembangan pembangunan smelter, pastikan smelter itu dibangun untuk memenuhi UU tapi tidak dengan menawarkan keringanan BK, boleh ekspor asal bayar BK, didiskon pula.
Cara yang paling ampuh untuk menjamin keseriusan pelaku tambang membangun smelter bukan dengan cara menarik pungutan baru di luar kontrak, ini yang membuat pelaku tambang berkeras hati tidak menyanggupi membayar BK, karena tidak sesuai dengan kontrak.
Saya mengusulkan; cabut ijin operasional mereka jika tidak serius membangun smelter. Jangan mengeluarkan kebijakan yang ujung-ujungnya duit (UUD).
Berapapun besarnya BK yang ditawarkan tidak akan merubah keputusan pelaku tambang untuk memenuhinya, lagi-lagi masalah kesepakatan pada kontrak. Jika mereka bayar maka mereka mengingkari kontrak yang mereka sepakati dan dipastikan akan bermunculan pungutan-pungutan lainnya dari departemen lainnya, provinsi, kabupaten dll. yang berlindung di bawah peraturan dan keputusan resmi. Pungutan-pungutan seperti itu akan membuat mereka kesulitan menjalankan usahanya dan sangat tidak menguntungkan dari sisi finansial mereka.
Saat ini, sesuai rencana PTNNT akan memberlakukan rencana darurat paling lambat awal Mei yang meliputi pengurangan kegiatan penambangan dan penggilingan, pengurangan pengeluaran biaya modal, pengurangan penggunaan jasa kontrak dan pembelian barang, penyesuaian jadwal kerja, dan pengurangan kerja lembur. Kalau begini, siapa yang dirugikan; karyawan, perusahaan, kontraktor, penduduk sekitar, daerah juga negara.
Kondisi seperti ini akan berujung pada dirumahkannya karyawan dan produksi dihentikan, situasi ini bukan sekedar ancaman yang dibuat-buat, tapi keadaan ini benar-benar akan terjadi. Menurut saya keadaan ini juga penting agar pemerintah benar-benar mengetahui akibat diterapkannya kebijakan tersebut sehingga menjadi dasar/alasan kebijakan itu diteruskan, direvisi atau dibatalkan.
BO
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H