Kabar tentang retaknya hubungan Megawati dan Basuki Tjahaya Purnama adalah sesuatu yang ditunggu para penantang Ahok demi kursi DKI 1. Padahal, Ahok itu digambarkan sangat dekat dengan Megawati, orang nomor satu di tubuh partai penguasa di republic ini. Dalam suatu kesempatan, tak lama setelah Ahok dilantik sebagai gubernur menggantikan Jokowi yang naik tahta RI 1, kader Demokrat Ruhut Sitompul menyebut Megawati sangat sayang Ahok. Sebagai bukti yang memperkuat itu, PDIP berdiri paling depan mencabut Hak Angket atas Ahok tahun lalu.
Di DPRD DKI, PDIP ibarat bemper Ahok yang secara resmi tak punya bekingan parpol. Hal lain, Ahok sering diberitakan sering makan bersama dengan Mega. Saat Natal, Mega sempat bertamu ke rumah Ahok. Lalu sewaktu Rakernas PDIP, Ahok disambut hangat peserta raker, di mana hal sebaliknya diterima oleh pentolan Gerindra Fadli Zon.
Tentang Megawati, di tengah kontroversi atasnya, saya masih percaya, ia sosok yang sangat mencintai Indonesia Raya. Ia telah teruji, mengalami fase-fase tersulit di dunia politik, yang tak semua tokoh yang masih eksis di masa kini mengalaminya. Hampir tak ada yang sepadan dengannya. Hal prestisius terakhir yang ditunjukkannya adalah dengan mendaulat Joko Widodo, wong ndeso yang bukan dari trah Sukarno, untuk maju dalam pemilihan presiden. Lepas dari hal lain di balik itu, ini adalah wujud bahwa ia masih mendengarkan suara rakyat, ia dengan legowo meninggalkan ego dan menjauh dari kemaruk kekuasaan. Orang bilang dia tetap di balik layar? Mungkin saja. Uraian di atas menjadi landasan untuk menjelaskan bagaimana kemungkinan berikut ini bisa terjadi.
Kembali ke arena pilgub. Tiada angin tiada hujan, tiba-tiba Ahok memutuskan untuk bertarung di jalur independen. Dari fakta-fakta itu, muncul pertanyaan, mungkinkah Ahok benar-benar meninggalkan Megawati? Bahkan sama sekali tak meminta restu (baca: membicarakannya) dari Megawati. Sebegitu berani itukah Ahok dengan Mega?.
Itu sangat mungkin, kalau melihat bagaimana Ahok hengkang dari Gerindra; tanpa basa-basi, tanpa duluan permisi di Prabowo. Lihat juga sebelumnya, bagaimana Ahok dengan gampangnya meninggalkan Golkar setelah dipinang Gerindra. Itu ditopang lagi dengan pernyataan Mega yang bernada marah seusai Ahok memutuskan maju independen. “PDIP akan melawan calon Independen,” katanya. Konon ia langsung memanggil Edi Marsudi dan Djarot, mungkin masih melanjutkan murkanya.
Walaupun sudah jelas demikian, saya sendiri melihat sebuah kemungkinan ada drama yang sedang dimainkan Mega dan Ahok. Ini seperti Sang Maestro Lionel Messi yang tiba-tiba mengoper tendangan pinalti yang sukses dieksekusi Suarez. Padahal, tanpa dioper pun, Messi bisa melakukannya.
Ada satu hal yang menjadi pengganjal hubungan keduanya. Teman Ahok (TA). Kelompok relawan-entah bentukan siapa-ini ibarat buah simalakama bagi Ahok.
Dia ikut PDIP dengan peluang besar menang, namun juga takut ditinggalkan fans setianya, dianggap tidak konsisten non parpol, mengkhianati dan tidak menghargai perjuangan TA.
Di sisi lain, jika harus ikut TA, maka peluang menang lebih kecil. Mesin parpol jelas lebih baik daripada relawan, tak hanya pengalaman tapi bekal massa fanatic di akar rumput.
Ada satu pernyataan Ahok sebelum mengumumkan pencalonannya, saya duga akibat tekanan dari TA. Lewat running text Metro TV, Ahok bilang; “Teman Ahok sudah berjasa, jadi boleh ngomong apa saja”.
Kelihatan Ahok cukup gerah dengan manuver TA. Mereka yang sebelumnya bertekad mengusung Ahok kembali sebagai gubernur jika tak dilirik parpol, mengubah misi. Sepertinya tak rela jika perjuangan mereka sia-sia; mau-tak mau Ahok harus independen.
Bagian dari kemungkinan itu, Ahok pun mengadu dengan Mega. Begini dialog imajiner keduanya.
“Bagaimana nih Bu? TA desak terus.”
“Sudah, kasih tinggal saja, you saya jamin (di PDIP), sudah ada Nasdem, masih kurang? teman yang lain gampang. Tapi belum sekarang, kita di injuri time. Sambil tunggu ular-ularnya muncul duluan.”
“Ya, saya nggak enak juga sama mereka (TA), bagaimanapun sudah berjuang begitu, ntar kalau balik lawan saya, gawat juga. Itu kan anak-anak muda yang gampang sakit hati.”
“Gampang Dek. You jalan saja dengan mereka dulu. Jangan kepala batu, Yusril itu ada benarnya lho, waktu kan kian mepet, you tahulah jalan keluarnya. Paham kan, kebangetan kalau nggak.”
“Baik Bu. Saya ngerti, saya pikir itu juga, hanya minta restu.”
De javu. Kejadiannya mengulang legenda terjadinya candi roro jongrang. Ahok memberi TA tugas maha berat, mengumpulkan kembali KTP dengan persetujuan warga akan pasangan Basuki-Heru. Kalau Roro Jonggrang ingin mission imposible itu selesai dalam satu malam, maka Ahok ingin kelar dalam dua bulan. “Saya juga sudah berkorban, kalau tidak dapat maka saya sampai Oktober saja,” kata Ahok setengah mengancam. Dan Bandung Bondowoso pun (baca: TA) pun menyanggupi. Mengumpulkan KTP 500 ribu dalam tiga bulan tidak gampang lho. Coba hitung sendiri kalau dirata-rata, perhari harus berapa? Minimal lima ribuan.
Bayangkan, untuk mengumpulkan KTP 700 ribu saja dibutuhkan setahun. Secara matematis, relawan Ahok akan gagal mengumpulkan KTP 500 dalam tiga bulan. Dalam kisah Candi Roro Jongrang, Bandung Bondowoso sampai mengerahkan jin lho, tapi akhirnya gagal lewat muslihat sang putri. Apakah Ahok akan bertindak seperti Roro Jonggrang? Entahlah, tapi endingnya mungkin sama: gagal. Lalu jangan lupa, DPR RI juga berencana merevisi UU Pilkada dengan memperberat syarat bagi calon Independen sama dengan syarat bagi partai politik. Jika rencana berjalan, bisa dipastikan tamat riwayat Ahok.
Nah, setelah dipastikan Ahok gagal lewat jalur independen, waktunya Mega bermain. Di kala para penantang sudah bersukaria, Ahok gagal maju, seperti biasa, di “last minutes” Megawati akan mengeluarkan titah saktinya. “Panggil Ahok, panggil Djarot”, dan SK keduanya pun terbit dari Teuku Umar.
Pertanyaan berikutnya, Heru Hartono dikorbankan? Jawabannya tidak. Ia sudah tahu semuanya dari awal. Ahok dan Heru adalah sahabat dekat, sehobby menembak.
Lagian, Ahok tak pernah menyinggung calon lain sampai nama Heru muncul. Setelah gagal maju jadi wagub, Heru kembali dengan karir birokrasinya yang kinclong, dengan sukaria. Dia kan belum mengundurkan diri.
Nasdem yang sejak awal menyatakan dukungan tanpa syarat adalah bagian dari drama ini. Ingat, Megawati dan Surya Paloh adalah sahabat dekat. Sedikit flash back, Nasdem adalah partai pertama yang menyatakan berkoalisi dengan PDIP mengusung Jokowi, dengan kata yang sama; tanpa syarat
Lalu bagaimana dengan TA? Mereka tetap akan dalam barisan. PDIP akan memegang kendali, dan TA jadi relawan kampanye. Ujung dari scenario ini adalah win-win solution. Mega senang, Ahok s(m)enang, TA tak kecewa (berat).
Tapi ini belum selesai. Ada kemungkinan lain. Bagaimana jika tugas TA itu terlaksana dan Ahok tak bisa menghindar dari jalur independen?
Ini situasi sulit, namun selalu ada rencana cadangan, B, C dan D. Pertama PDIP dan gerbong koalisinya akan bergabung dengan Nasdem menyokong Ahok-Heru yang tetap dijalur independen. Ramai-ramai akan mengurangi rasa rendah diri. Dengan begitu, mereka bisa menuai simpati rakyat.
Yang kedua mengusung pasangan untuk memecah suara pasangan dari lawan Ahok-Heru. Dan terakhir adalah mengusung pasangan yang benar-benar dijagokan menang, itu jika pasangan lawan dianggap sangat kuat dari Ahok-Heru. Siapa itu, kemungkinan Ganjar-Djarot, ini demi gengsi dan KIH. Ahok? Itu urusan Jokowi.
Politik adalah kemungkinan dan semua mungkin terjadi, termasuk juga kemungkinan skenario di atas, mungkin meleset total. asalnulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H