Banyak yang kurang setuju dengan gaya Ahok, gemar “mengadu” ke media. DPRD DKI yang baru saja ditelanjangi Ahok lewat ketuanya Prasetyo Marsudi, menyesalkan mengapa Ahok tak membuka komunikasi dengan pihak dewan terkait anggaran siluman tersebut. Bukan hanya dari orang-orang yang anti Ahok, tak sedikit pendukungnya yang menyesalkan itu.
Tapi jika kita lebih jeli, ini sebenarnya bisa dipahami, mengingat Ahok tak punya dukungan di dewan, sementara jalan komunikasi hanya akan membuka ruang kompromi yang bisa menjadi jebakan dan boomerang bagi Ahok. Ia tak berinisiatif merangkul yang ia sadari justru menjadi jalan para maling untuk mencekik lehernya. Haji Lulung misalnya, belakangan ini mencoba beramah tamah dan berusaha dekat dengan Ahok lewat statementnya yang mengatakan akan menjaga dan mendukung Ahok sampai akhir masa jabatannya. Ahok tak terjebak. Ia tetap menjaga jarak dan sembari melancarkan serangannya.
Demikian pula dengan sang Ketua DPRD Prasetyo Marsudi, ia mencoba merangkul Ahok dengan mendukung kebijakan-kebijakan Ahok, tapi nasibnya sama dengan Haji Lulung, Ahok tak tergoda.
Ahok punya strategi dengan mencari dukungan publik. Dia sadar dalam hal ini dirinya hanyalah “cicak” dan tak mungkin sendirian menghadapi kebuasan sang buaya. Ia lantas memanfaatkan psikologi masyarakat yang memang antipati dengan kinerja DPR yang sudah terlanjur distigma buruk, dan memang buruk. Masyarakat sudah gerah dengan koruptor yang menyengsarakan bangsa. Mungkin itulah sebabnya Ahok gemar menyerang lewat media.
Sampai saat ini jurus Ahok cukup mumpuni, ditandai dengan munculnya tagar #Save Ahok, yang sempat menjadi trendding topic di jagat twitter. Komentar-komentar pembaca di media online pun terlihat lebih banyak mendukung Ahok.
Tapi Ahok masih merasa belum cukup, ia mencari dukungan ke sohibnya, yang kini jadi presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Hasilnya Jokowi menyatakan mendukung langkah-langkah Ahok membongkar praktek korupsi berjemaah di DPR.
Jadi sementara ini Ahok cukup aman, jalannya dikawal oleh Jokowi dan publik yang bukan hanya dari masyarakat DKI tapi juga dari berbagai penjuru Indonesia.
Di sisi lain, DPR Jakarta seperti mati langkah menghadapi tekanan publik dan menggertak lewat hak angket adalah tindakan kalap tanpa didahului interpelasi.
Sekian analisis murah meriahnya... Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H