Permusyawaratan ini, bukan pula menentukan pilihan yang tidak melibatkan rakyat. Sebab rakyat sudah mendelegasikan kehendaknya melalui perwakilan. Persoalannya perwakilan itu mampu tidak mengimplementasikan kedaulatan rakyat secara hakiki.
Perlu dipahami juga oleh Resmon Siagian, kedaulatan rakyat. Rakyat berdaulatan atas keputusan-keputusan wakilnya dalam bentuk legislasi yang mengakomodir dua kepentingan. Kepentingan rakyat dan petugas rakyat yaitu negara. Perundang-undangan harus saling mengikat antara dua elemen itu, jika tidak saling mengikat maka undang-undang sudah ke luar dari daulat rakyat.
Seharusnya wakil rakyat (mereka duduk menjadi wakil karena suara rakyat dan celakanya KPU sendiri mendistribusikan suara sisa diberikan kepada orang atau calon legislatif yang tidak memenuhi kuaot perolehan suara. Sehingga mereka ketika dilantik, padahal suara perolehannya tidak memenuhi kuota tapi mendapat limpahan dari partai lain seolah-olah mendapat dukungan rakyat sesuai jumlah suara perolehan).
Mengedepankan kepentingan-kepentingan daulat rakyat dengan cara mengomunikasikan keinginan pemerintah kepada rakyatnya. Pemerintah harus diingat, mereka hanya petugas rakyat bukan kekuasaan absolut atas rakyat. Namanya petugas, tentu memiliki dua sisi mata uang yang berbeda yaitu ingin berkuasa secara penuh dan menapikan rakyat pemilihnya dan mengayomi untuk kesejahteraan rakyatnya.
Dikarenakan ada dua sisi, tentulah wakil rakyat seharusnya mampu memilah mana kepentingan rakyat dan mana kepentingan kekuasaan. Bukan sebaliknya, mengklaim suaranya adalah bentuk kedaulatan rakyat yang diembannya.
Rasmon, tidak memiliki hak untuk mengatur kehendak rakyat apalagi memutuskan sebuah perkara yang hanya berdasarkan imajinernya semata dalam perkara Pilkada langsung.(***)