CLIFF
Pengakuan Clara akan kehamilannya tak pelak membuatku terkejut. Sebab sepengetahuanku selama kebersamaan pada masa kuliah kehidupan asmara gadis itu selalu diwarnai kehadiran pria demi pria silih berganti. Mungkinkah benihku yang bersemayam di rahimnya? Atau pria lain yang melakukannya? Aku tak yakin benar-benar mengingat kejadian malam itu. Dalam keadaan mabuk mungkin secara tak sadar aku telah bercinta dengannya. Namun semuanya telah terjadi, aku tak dapat mengelakkannya. Jika saja pusaran waktu dapat kuputar kembali mungkin aku dapat mencegahnya. Clara memintaku untuk menikahinya dan aku harus bertanggung jawab atas kesalahanku sebelum kedua orangtuaku mengetahui aib yang kulakukan. Aborsi juga bukanlah sebuah solusi karena aku tak ingin menambahkan dosaku dengan dosa lainnya. Mungkinkah aku harus melupakan Arintha? Sejujurnya kuakui hal itu terasa sangat berat karena hari-hariku kini selalu dipenuhi akan bayangnya.
********
CLARA
Jika aku merenung kembali dan mengenang saat-saat bersama Cliff maka hanya akan ada kenangan indah terpampang. Aku mencintainya setengah mati dan sepenuh hati sejak pertama mengenalnya. Kalaupun aku menjalin hubungan asmara berpindah-pindah dari pria satu ke pria lainnya itu hanyalah semata untuk membuatnya cemburu. Tapi tak pernah sekali pun kulihat rasa itu dalam pancaran matanya. Hanya dianggap sahabat semata aku baginya. Cliff my dear, bagaimana caranya membuatmu mencintaiku? Beribu pria di luar sana mendamba cintaku namun hanya dirimu yang ada di hatiku. Sejak lahir aku selalu dimanja sebagai putri tunggal dalam keluargaku. Apapun yang kuinginkan dan kupinta harus kudapat dan selalu kudapat, dan kini aku menginginkan Cliff lebih dari apapun dalam hidupku. Dan seperti biasa setiap keinginanku selalu terpenuhi apapun caranya. Cliff dan aku akan bersatu dalam mahligai pernikahan. Membayangkannya membuatku batinku tersaput kebahagiaan luar biasa. Pendar senyum tak ayal hadir menghiasi benakku, memberi semangat berlipat ganda untuk mempersiapkan pernikahanku, tak sabar menunggu hari bahagia itu kan menjelang.
********
ARINTHA
Ada sejumput rasa aneh menggelayuti sanubariku. Akhir-akhir ini kurasakan Cliff menghindar dariku, dia tak bisa kuhubungi via telepon dan kami tak lagi dapat bertemu dengan mudah seperti biasanya. Padahal aku baru mulai membuka hatiku untuk mencintainya. Kebersamaan kami selama 3 bulan terakhir ini sungguh penuh warna. Adakah hatinya telah tertambat pada hati wanita lain? Yah dengan pesona ragawinya yang luar biasa, tak sulit baginya untuk melakukan hal itu. Walaupun sulit untuk menerimanya, namun aku tak bisa berbuat apa-apa. Tak ada hakku untuk melarangnya jika dia ingin berbagi cinta dari satu wanita ke wanita lainnya karena aku bukanlah kekasihnya. Menyadari hal ini kalbuku kembali tersaput perih. Apakah aku harus menerima perjodohanku dengan Philip? Sungguhpun mulanya aku berharap dapat memperkenalkan Cliff sebagai kekasihku di hadapan kedua orangtuaku agar mereka tak lagi menjodohkanku dengan Philip. Mungkinkah aku harus melupakan Cliff? Sejujurnya kuakui hal itu terasa sangat berat karena hari-hariku kini selalu dipenuhi akan bayangnya.
********
Disaat pergulatan hatiku yang berat untuk melupakan Cliff tiba-tiba suatu hari pria itu meneleponku dan mengajakku bertemu. Dia berkata bahwa dia akan menyampaikan suatu hal yang penting dan ketika mendengarnya sontak membuat hatiku gembira. Mungkinkah pria itu akan mengungkapkan isi hatinya? Hatiku berdebar kencang dan darahku berdesir seketika mendapati kemungkinan itu. Kupersiapkan penampilanku yang terbaik demi pertemuanku kembali dengan pria itu.
********
“Malam Cliff, apa kabar? Sekian lama kita tak bertemu”, ujarku ceria ketika memasuki mobil Cliff. Kutatap wajahnya yang menurutku terlihat makin tampan setelah sekian lama tak bertemu. Namun entah mengapa seperti kurasakan sedikit ada kegalauan menyelimuti wajahnya.
“Malam Arintha, kabarku baik saja”, ucapnya datar. Sejenak keheningan meliputi perjalanan kami menuju restoran favorit kami. Pertanyaanku hanya dijawab sepatah demi sepatah kata atau senyum hambar. Kami menyantap hidangan dalam diam dan ketika kami menyelesaikan makan malam kami dia pun berkata,
“Ada yang ingin kusampaikan padamu Arintha. Aku tak tahu apakah ini kabar baik atau buruk”, dia terdiam sejenak sebelum sejurus kemudian menarik nafas panjang dan berkata lagi,
“Sejujurnya aku mencintaimu Arintha, sejak pertama kali melihatmu dan mengenalmu. Hari-hari yang kita jalani bersama di Jepang maupun Indonesia selalu penuh keceriaan”
“Aku juga mencintaimu Cliff. Namun mengapa kamu berkata ada kabar buruk? Apa hal buruknya?”
“Kita tak bisa lagi bertemu. Aku akan menikah”, perlahan suaranya terdengar seperti begitu berat untuk mengatakannya.
“Kamu mencintaiku tapi kamu akan menikah dengan wanita lain. Katakan padaku Cliff apa aku sedang bermimpi? Atau kamu sedang bercanda?”, ujarku sedikit tergelak.
“Aku tak sedang bercanda Arintha”, ujarnya sambil menceritakan kejadian yang dialaminya.
“Lalu mengapa kamu mengungkapkan perasaanmu padaku?”, tanyaku masih bingung.
“Aku ingin kamu mengetahui bahwa aku selalu mencintaimu. Aku tak pernah mencintai Clara, kumohon padamu tunggulah aku. Segera setelah bayi kami lahir aku akan menceraikannya”
Kurasakan kekecewaan dan kemarahan memenuhi batinku. Hanyalah barang semata kami kaum wanita dihadapannya. Begitu mudahnya berpindah hati. Nanti setelah Clara aku yang akan menjadi “korban” berikutnya? Tak mudah menghilangkan amarah yang bertahta di hatiku bahkan semenjak perjalanan pulang kami yang diliputi kebisuan. Malamku yang seharusnya penuh harapan nan indah telah berubah kini.
(Bersambung)
[caption id="attachment_303552" align="aligncenter" width="300" caption="picture taken from google"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H