Banyak tokoh mengajari kita untuk menulis. Banyak artikel dan buku tentang cara menulis telah dihasilkan, tetapi tidak semuanya benar-benar bisa membangkitkan semangat untuk menulis. Mungkin saja semangat dan keinginan untuk menulis sudah muncul, namun hanya sebatas angan belum memicu kita untuk bertindak. Apa yang menjadi penyebabnya?
Saya pernah punya pengalaman yang tidak enak terkait dengan menulis ini. Ketika kuliah di Jogja dulu, saya termasuk mahasiswa yang tidak bisa menjalani masa-masa kuliah dengan lancar. Ada saja hambatan yang muncul. Untuk keperluan menulis, idealnya seorang mahasiswa memiliki mesin ketik. Saya tidak punya. Ketika ada tugas membuat makalah, saya kelabakan harus pinjam sana, pinjam sini. Butuh rai gedhek (tahan malu) untuk melakoni semua itu.
Suatu ketika, teman kos saya bermain ke rumah teman dan melihat sebuah mesin ketik yang teronggok di dekat tumpukan sepatu kotor. Teringat bahwa di rumah kos tidak ada mesin ketik, teman saya punya ide untuk meminta mesin ketik tersebut. Mesin ketik itu pun diberikan dan dibawa pulang oleh teman saya. Sampai di rumah kos, dia bilang, “Blas, aku entuk mesin ketik iki.” (“Blas, aku dapat mesin ketik nih.”) Aku amati mesin ketik tersebut. Kotor, berdebu, dan tidak bisa digunakan karena saat tut-nya dipencet ujung hurufnya yang harusnya sampai di kertas justru saling terkait satu sama lain.
Namun saya tidak menyerah. Satu per satu ujung huruf itu saya luruskan. Sambil terus mencoba satu per satu dari huruf a sampai z, dari angka 1 sampai dengan 0. Setelah saya perbaiki sekitar dua jam akhirnya mesin ketik bisa digunakan. Hasil tulisannya sudah lurus. Alangkah girangnya ketika itu. Tanpa keluar modal, saya dan teman satu kos punya mesin ketik.
Kami mulai bisa mengerjakan beberapa tugas dengan menggunakan mesin ketik tersebut. Tapi kegembiraan itu tidak berlangsung lama karena selang dua minggu kemudian mesin ketik itu rusak lagi. Kali ini lebih parah. Gandaran yang seharusnya bisa bergeser ke kiri ketika kita mengetik dan memungkinkan terbentuknya tulisan tidak bisa jalan. Setelah saya lihat ternyata per (pegas)-nya putus. Akhirnya muncul ide. Saya ikat gandaran itu dengan karet pentil. Ujung karet tersebut saya ikat dengan paku yang saya tancapkan di tembok. Dengan cara itu, gandaran bisa berjalan normal. Mesin ketik dengan ditarik karet pentil itu menjadi satu-satunya fasilitas menulis yang kami andalkan di kos kami. Lumayan membantu untuk anak-anak satu kos.
Sebelum punya mesin ketik itu, pernah suatu ketika saya harus meminjam mesin ketik ke daerah Umbulharjo Yogyakarta (terminal). Teman saya yang bernama Suparman yang berbaik hati meminjami saya. Daerah Umbulharjo itu jaraknya kira-kira 10 kmdari tempat kos saya di daerah Mrican. Meskipun jauh, sepulang kuliah saya tetap mengambil mesin ketik tersebut karena keesokan harinya adalah batas akhir pengumpulan makalah. Dengan mengayuh sepeda onthel, saya mengambil mesin ketik tersebut dan sesampainya di kos saya langsung bekerja.
Seolah tanpa merasa lelah, mulai siang itu hingga larut malam saya bekerja tanpa henti. Makan pun saya titip teman untuk membelikannya. Akhirnya selepas pukul 12 malam tulisan pun selesai. Dua puluh satu halaman saya hasilkan. Sudah termasuk daftar pustakanya. Itu adalah makalah untuk mata kuliah Sosiologi Sastra yang diampu oleh Bapak Suminto A. Sayuti. Ada perasaan lega bisa menyelesaikan makalah itu. Paling tidak, ada harapan lulus, meskipun tidak mendapat nilai sempurna.
Ketika saya ingat kembali peristiwa itu, ternyata dalam kondisi kepepet(terdesak), saya bisa menghasilkan tulisan yang banyak dalam waktu yang relatif singkat. Untuk saat ini, agar bisa menulis, barangkali kita perlu menciptakan kondisi kepepet tersebut. Kalau saat kita sekolah yang mendesak kita adalah guru atau dosen, sekarang kondisi itu harus kita ciptakan sendiri. Mungkin dengan target.
Kadang kita tidak segera menulis karena terlalu banyak pertimbangan. Jangan-jangan tulisan saya tidak mutu. Jangan-jangan tulisan saya akan diejek dan dicemooh orang. Atau bisa juga karena terlalu berkutat dengan berbagai kaidah yang njelimet. Saya kira itulah salah satu hal yang menjadi penghambat mengapa kita tidak bisa segera menulis. Oleh karena itu, untuk bisa menulis jangan terlalu banyak pertimbangan. Langsung tulis saja. Toh sekarang kita tidak perlu khawatir akan kehabisan kertas untuk menulis draf karena kita menulis dengan komputer. Untungnya lagi, kalau ada ide yang terlewat bisa disisipkan kemudian.
Saya pribadi akhir-akhir ini tergerak menulis karena terinspirasi oleh Bapak Much. Khoiri, penulis buku yang dosen Universitas Negeri Surabaya. Beliau bilang menulis itu untuk warisan. Warisan yang tak akan habis. Dalam sebuah workshop di Tamansiswa Mojokerto, beliau bilang, “Betapa bangganya cucu kita, kalau kakek atau neneknya punya karya berupa buku atau tulisan.” Dalam bahasa Jawa beliau berkata, “Iki lho bukune simbahku.”(“Ini lho buku karya kakekku,” seolah-olah Pak Khoiri menirukan si cucu tadi).
Saya jadi tersentak. Muncul keinginan kuat untuk secara disiplin menulis. Malu juga rasanya seorang pendidik tidak punya karya. Pak Khoiri memberikan contoh-contoh sederhana dalam menulis. Tulisan-tulisan saya ini sedikit banyak terpengaruh gaya Pak Khoiri ketika menulis. Terima kasih Pak atas inspirasinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H