Salah satu sesi dalam Workshop Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia se-Jawa Timur 24-27 Mei 2015 adalah telaah atau analisis terhadap butir soal. Persoalan yang mengemuka dalam telaah tersebut salah satunya adalah tentang penggunaan tanda baca, yaitu tanda titik di akhir pokok soal. Dalam kelompok kecil tempat saya tergabung, ada seorang teman yang mengatakan sebagai berikut.
Jika pilihan jawaban dalam soal berupa kalimat, pokok soal cukup diakhiri dengan tiga tanda titik. Akan tetapi, jika pilihan jawaban berupa kata atau frasa, kita membutuhkan empat tanda titik di akhir pokok soal. Lebih konkretnya perhatikan contoh berikut.
(1) Berikut ini yang merupakan kalimat efektif adalah ...
a. Di SMP TNH akan mengadakan pentas seni.
b. SMP TNH akan diadakan pentas seni.
c. SMP TNH akan mengadakan pentas seni.
d. Di SMP TNH akan adakan pentas seni.
(2) Nilai yang terkandung dalam penggalan cerita tersebut adalah ....
a. nilai sosial
b. nilai pendidikan
c. nilai sosial budaya
d. nilai ketuhanan
Pernyataan teman saya itu tentu berbeda dengan pemahaman saya selama ini. Yang saya pahami, pokok soal seperti yang tertera di atas selalu diakhiri dengan empat tanda titik. Tiga tanda titik pertama merupakan tanda elipsis, sedangkan satu tanda titik terakhir merupakan tanda akhir kalimat (tanda titik). Namun demikian, agar tidak memperpanjang perdebatan yang tidak perlu, akhirnya saya mengikuti pemahaman teman saya tersebut. Meskipun, sebenarnya dalam hati saya masih berbeda pendapat.
Permasalahan tersebut saya anggap selesai. Namun ternyata, dalam sesi presentasi, persoalan tanda titik dan tanda elipsis tersebut muncul lagi. Permasalahan muncul bukan dari kelompok saya, melainkan dari kelompok lain. Kali ini pendapat tersebut justru dikuatkan oleh narasumber yang menyatakan bahwa memang ada pedoman penulisan soal yang menyatakan seperti itu. Karena keterbatasan waktu, pembahasan tidak dilanjutkan, tetapi ada imbauan dari narasumber untuk mencari bukti tertulis dan melakukan sharing melalui media yang ada. Tulisan ini saya buat sebagai salah satu upaya sharing dengan harapan yang terlibat mendiskusikan bisa lebih banyak.
Kalau kita membahas tentang pemakaian huruf, penulisan kata, pemakaian tanda baca, dan penulisan unsur serapan sebenarnya sudah tersedia satu pedoman yang valid tentang semua itu. Pedoman itu adalah Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Dokumen tentang pedoman itu yang terakhir adalah yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan Nasional dalam bentuk peraturan menteri, yaitu Permendiknas RI No. 46 Tahun 2009. Jadi pembahasan tentang perlu berapa tanda titik tersebut seharusnya kembali ke EYD. Kalau dibuat pedoman-pedoman lain, seharusnya selalu mengacu pada pedoman utama tersebut.
Aturan tentang jumlah tanda titik tersebut tidak masuk dalam penggunaan tanda titik, tetapi tentang penggunaan tanda elipsis (...). Berikut ini saya kutipkan secara lengkap aturan tersebut agar tidak menimbulkan salah tafsir.
Tanda Elipsis (...)
1. Tanda elipsis dipakai dalam kalimat yang terputus-putus.
Misalnya:
         Kalau begitu ..., marilah kita laksanakan.
         Jika Saudara setuju dengan harga itu ..., pembayarannya akan segera kami lakukan.
Â
2. Tanda elipsis dipakai untuk menunjukkan bahwa dalam suatu kalimat atau naskah ada bagian yang dihilangkan.
Misalnya:
Sebab-sebab kemerosotan ... akan diteliti lebih lanjut.
Pengetahuan dan pengalaman kita ... masih sangat terbatas.
Catatan:
(1) Tanda elipsis itu didahului dan diikuti dengan spasi.
(2) Jika bagian yang dihilangkan mengakhiri sebuah kalimat, perlu dipakai 4 tanda titik: 3 tanda titik untuk menandai penghilangan teks dan 1 tanda titik untuk menandai akhir kalimat.
(3) Tanda elipsis pada akhir kalimat tidak diikuti dengan spasi.
Misalnya:
Dalam tulisan, tanda baca harus digunakan dengan cermat ....
Pedoman tentang penggunaan tanda elipsis tersebut sebenarnya sudah jelas dan tegas. Jika bagian yang dihilangkan mengakhiri sebuah kalimat, perlu dipakai 4 tanda titik: 3 tanda titik untuk menandai penghilangan teks dan 1 tanda titik untuk menandai akhir kalimat. Tidak perlu ada penafsiran lain atas pedoman itu. Jadi kalau ada instansi yang membuat pedoman, seharusnya merujuk ke pedoman EYD tersebut. Yang lebih penting lagi adalah jangan sampai kita terlalu terjebak pada urusan teknis dan melupakan substansi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H