Masih ingat berita tentang pembalikan syair lagu “Dari Sabang Sampai Merauke” berapa saat yang lalu? Para pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDI-P Provinsi Papua pada penutupan Konferensi Daerah IV PDI-P di Merauke, Papua meminta menyanyikan lagu tersebut dengan lirik pada bagian syair Dari Sabang Sampai Merauke dibalik menjadi Dari Merauke Sampai ke Sabang. Menurut Hasto Kristiyanto, Pelaksana Tugas Sekjen PDI-P saat itu (sekarang sudah menjadi Sekjen PDI-P), alasan pembalikan itu adalah kesesuaian dengan hukum alam bahwa matahari terbit dari timur. Oleh karena itu, Merauke harus disebut terlebih dahulu. (Silakan baca: Kader PDI-P di Papua Minta Ganti Lirik Lagu "Dari Merauke sampai Sabang" di http://regional.kompas.com)
Ketika mendengar berita itu saya tergelitik untuk memberikan komentar. Saya jadi teringat ketika saya duduk di kelas 5 SD dulu. Saat itu guru saya yang bernama Pak Mukidjo, mengajar saya mata pelajaran IPS. Berbeda dengan ketika di kelas 4, yang masih membahas peta pulau Jawa, di kelas 5 ini guru saya yang baru tersebut sudah membentangkan Peta Indonesia. Satu per satu nama-nama pulau besar yang terpampang di peta itu beliau sebut, dengan sesekali menanya ulang kepada beberapa teman saya. Beliau juga menyebut nama lain pulau-pulau tertentu. Misalnya, Kalimantan itu dulunya bernama Borneo. Sulawesi dulu lebih terkenal dengan sebutan Selebes. Selain itu, Pak Mukidjo juga menyebutkan pembanding kemiripan bentuk pulau-pulau tersebut dengan hal lain. Misalnya beliau menyebut Sulawesi itu bentuknya seperti huruf ‘k’, Halmahera juga seperti ‘k’ tetapi lebih kecil. Irian jaya itu pulau yang ujungnya seperti kepala burung.
Di akhir pembelajaran, Pak Mukidjo menutupnya dengan menyanyikan lagu Dari Sabang Sampai Merauke. Pertama, beliau memberi contoh terlebih dulu. Ketika memberi contoh itu, tangannya sambil memegang tuding (penunjuk yang terbuat dari bambu) dan menunjukkan posisi kota Sabang dan Merauke yang terdapat di peta. Ketika sampai pada lirik: berjajar pulau-pulau, beliau dengan cepat menunjuk rangkaian pulau pada peta dari sisi kiri ke kanan. Pada saat liriknya berbunyi sambung-menyambung menjadi satu, itulah Indonesia, Pak Mukidjo seolah membentuk gambar lingkaran besar dengan menggerakkan kedua tangannya. Setelah selesai memberi contoh, beliau kemudian mengajak para siswa untuk bernyanyi bersama sambil menirukan gerakan tadi. Saya merasa suasananya sangat seru dan meriah ketika itu.
Dari ingatan pengalaman itu, saya kemudian berpikir bahwa penyebutan Dari Sabang Sampai Merauke, dengan mendahulukan kata Sabang baru kemudian menyebut Merauke itu karena pengarang lagu sedang menghadapi atau paling tidak sedang membayangkan Peta Indonesia. Sesuai dengan kebiasaan orang Indonesia sebagai pembaca tulisan/huruf latin, maka kota Sabang yang berada di sebelah kiri disebut terlebih dahulu dan kota Merauke yang ada di ujung kanan disebut belakangan. Jadi saya yakin tidak ada niat diskriminatif sedikit pun di benak pengarang untuk mengabaikan Merauke. Mungkin kalau pengarang lagu ini seorang saudagar dari Arab, tentu yang akan disebut terlebih dulu adalah Merauke karena terbiasa membaca dari kanan.
Menurut hemat saya, syair lagu ini adalah murni sebagai karya seni. Sebagai sebuah karya, lagu tentunya memiliki HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) sehingga tidak bisa secara sembarangan diubah. Jika syair lagu ini dibalik tentu unsur keindahannya berkurang karena jumlah suku kata setiap bar-nya menjadi tidak cocok dengan lagunya. Untuk menampung aspirasi sebagian saudara kita yang menginginkan perubahan, para pencipta lagu bisa membuatkan lagu baru yang sama sekali berbeda, lebih inovatif, dan menarik.
Bandingkan dengan lagu anak-anak berikut ini.
Satu-satu, aku sayang ibu / Dua-dua, juga sayang ayah / Tiga-tiga, sayang adik kakak / Satu, Dua, Tiga, sayang semuanya
Bukankah para ayah di Indonesia juga rela ketika mereka disebut pada urutan kedua walaupun mereka adalah kepala keluarga atau imam di keluarga. Menurut saya, dalam syair lagu itu kata ibu disebutkan terlebih dahulu bukan karena ingin mengabaikan ayah, melainkan karena dari segi keindahannya kata satu-satu mempunyai rima atau persajakan yang sama dengan kata ibu. Sama-sama berakhir dengan bunyi ‘u’
Terkait dengan lagu Dari Sabang Sampai Merauke, saya sangat setuju bahwa tidak boleh ada wilayah atau daerah yang kurang diperhatikan dibanding wilayah lain. Namun demikian, intinya bukan hanya pada syair lagu, bukan hanya pada tataran permukaan. Bukan hanya simbol-simbol tanpa isi. Yang terpenting adalah pada tataran substansi. Untuk apa sebuah daerah disebut terlebih dahulu, menjadi bahan orasi, pemanis kalimat dalam kampanye, tetapi tidak mendapat bagian anggaran ketika pemerintah dan DPR merancang pembangunan.
Sudah selayaknya jika usulan perubahan syair lagu ini menjadi bahan introspeksi bagi pemerintah dan DPR. Mereka harus bekerja sama memperhatikan setiap jengkal wilayah Indonesia, bukan malah sibuk dengan urusan golongan, partai, atau bahkan pribadi. Makna di balik itu mungkin sebenarnya adalah seruan dari isi hati terdalam bahwa selama ini mereka kurang mendapat perhatian. Kini ketika negeri ini dipimpin oleh kader PDIP, sesama kader PDIP yang berasal dari tanah Papua ini seharusnya lebih mudah menyalurkan aspirasinya. Tetapi ingat, Indonesia bukan hanya Merauke melainkan membentang ke barat hingga Sabang. Indonesia bukan hanya Pulau Rote melainkan membentang ke Utara hingga ke Miangas. Semua butuh perhatian, semua butuh pemerataan pembangunan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H