Mohon tunggu...
Blandinna Octaviany Aya
Blandinna Octaviany Aya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswi Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemikiran Filsafat Aguste Comte "Positivisme" dan "Hukum Tiga Tahap"

10 Januari 2024   13:52 Diperbarui: 10 Januari 2024   14:55 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Aguste Comte yang lahir pada 19 Januari di Montpellier Prancis bagian selatan tahun 1798 dan meninggal dunia di kota Paris pada 5 September 1857. Ayah Comte seorang beragama Katolik yang saleh dan termaksud kaum "royalis" yang menentang revolusi. Pada usia 14 tahun Comte menytakan diri bahwa secara alamiah ia berhenti percaya pada Tuhan dan ia menjadi diri seorang "republikan". Comte menggeluti bidang Politeknik sejak tahun 1814-1816 di kota Paris dan menjadi sekretaris Saint-Simon pada tahun 1817.

Aguste Comte terkenal sebagai bapak pendiri aliran positivisme. Postivisme dijadikan sebagai basis filsafatnya kemudian ia terapkan dalam basis penelitian sosialnya. Comte memperkenalkan sendiri istilah "positivisme". Istilah tersebut berasal dari kata "positif" (F. Budi Hardiman 2007), pemakaian kata "filsafat positif" sering dikenakan oleh Comte dalam bukunya Cours de Philosophie Positive. Comte mengartikan filsafat sebagai "system umum tentang mansuia-manusia". Sedangkan istilah positif diartikan sebagai "teori yang bertujuan menyusun fakta-fakta yang teramati" (Arif Rachman 2013). Dengan demikian istilah positif dapat dimaknai kenyataan faktual atau berdasarkan fakta-fakta.

Bagi Aguste Comte sendiri dalam karyanya, secara eksplisit menerangkan bahwa yang dimaksud dengan penegrtian "positif" itu adalah: Pertama, sebagai lawan atau kebalikan sestau yang bersifat khayal, maka pengertian positif pertama-tama diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang nyata. Hal ini sesuaidengan ajarannya yang mneyatakan bahwa filsafat postivisme itu dalam menyeldidiki objek sasarannya didasarkan pada kemapuan akal. Kedua, sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang tidak bermanfaat. Maka pengertian positif diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang bermanfaat. Ketiga, sebagai lawan atau sesuatu kebalikan dari yang meragukan. Maka penegrtian positif diartikan sesuatu yang sudah pasti. Keempat, sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang sudah kabur, maka pebegrtian positif diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang jelas atau tepat. Kelima, sebagai lawan atau kebalikan seuatu yang negatif, maka pengertian postif dipergunakan untuk menujukan sifat-sifat pandangan filsafat yang selalu menuju ke arah pentaan dan penertiban (Koento Wibisono Siwomiharjo 1996).

Untuk memahami karateristik sejati filsafat positivisme kita harus mengetahui kerangka bangunan berpikir manusia secara progresif secara keseluruhan tanpa konsepsi apapun yang harus dipahami dengan berangkat dari sejarahnya. Filsafat positif tidak bias dipahami tanpa mengetahui pola pemikiran mansuia secara menyeluruh karena nanti akan kembali pada penggunaan kelimuan itu dalam suatu tatanan masyarakat yang nantinya akan disebut sebagai keilmuan sosial. Filsafat positivisme sering didakwa sebagai faham yang sama dengan materialisme, akan tetapi seperti halnya dengan paham spiritualisme yang merupakan lawan materialsme, keduanya mustahil disamakan dengan suatu paham yang secara fundamental berbeda dalam keyakinan ontologinya. Filsafat postivisme berpendapat bahwa dengan jalan apapun manusia tidak dapat mengetahui sebab-sebab timbulnya, serta cara-cara beradanya gejala-gejala itu.

Postivisme sangat mempengaruhi cara berpikir seseorang sangat erat hubungannya juga dengan timbulnya berbagai pendapat baru di lapangan masyarakat. Keteraturan masyarakat yang dicari dalam positivisme hanya dapat dicapai jika semua orang bisa menerima altruisme sebagai prinsip dalam tindakan mereka (Wahyu Murtiningsih 2014). Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah logis, ada bukti empirisnya, yang terukur (Ahmad Tafsir 2010). Yang terukur ini adalah suatu sumbanagn positivisme, segala sesuatu harus nampak dan wujud serta dapat terukur, jika sesuatu masih abstrak maka itu bukan ajaran dari positivisme, semua hal yang ada di dunia ini harus real, nyata ada wujudnya bukan hanya angan-angan semata atau metafisis. Positivisme sudah dapat disetujui untuk mengatur manusia dan mengatur alam.

Salah satu kontribusi besar Comte adalah teori evolusi sosialnya, yang dikenal sebagai "Hukum Tiga Tahap." Teori ini menyatakan bahwa perkembangan manusia dan pengetahuan manusia melalui tiga tahap historis. Tahap Teologis: Manusia memahami dunia melalui penjelasan religius atau teologis. Pengetahuan didasarkan pada kepercayaan kepada dewa-dewa dan makhluk gaib. Tahap Metafisik: Di tahap ini, pengetahuan bergeser dari penjelasan teologis ke penjelasan metafisik. Manusia mencari prinsip-prinsip abstrak yang mendasari alam semesta, meskipun tidak ada dasar empiris yang kuat. Tahap Positif: Ini adalah tahap di mana pengetahuan berdasarkan pada pengalaman langsung, fakta, dan metode ilmiah. Comte menyatakan bahwa masyarakat modern berada di tahap ini, di mana pengetahuan dan pemahaman ilmiah menggantikan penjelasan teologis dan metafisik.

Comte juga dianggap sebagai salah satu pendiri sosiologi. Dia memperkenalkan konsep sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari struktur dan dinamika sosial. Comte menekankan perlunya mengamati dan menganalisis fenomena sosial menggunakan metode ilmiah agar masyarakat dapat bergerak menuju keadaan yang lebih baik.

Pemikiran Comte, terutama tentang positivisme dan teori tiga tahap, memengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan dan disiplin ilmu sosial. Konsepnya tentang sosiologi memicu pengembangan ilmu ini sebagai disiplin akademis tersendiri. Namun, beberapa kritik terhadap pemikiran Comte termasuk penolakannya terhadap metode ilmiah yang tidak sesuai dengan positivisme serta pandangan bahwa tahap positif adalah tahap paling maju dalam evolusi sosial, yang dianggap terlalu eurosentris dan mengabaikan kontribusi budaya lainnya. Meskipun demikian, warisannya dalam pengembangan ilmu pengetahuan, sosiologi, dan pendekatan ilmiah tetap berpengaruh hingga saat ini.

Nama : Blandinna Octaviany Aya

NIM    : 1512300008

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun