[caption id="attachment_38408" align="alignleft" width="225" caption="Sophie's world / by google"][/caption] Dunia kecil sederhana Sophie Amundsen - gadis remaja tanggung Norwegia berusia empat belas tahun - tiba-tiba menjadi lebih berdetak sesaat setelah ia menerima dua pucuk surat misterius berisi pertanyaan ( "Siapakah kamu?"..."Dari mana dunia ini berasal?") dan sebuah kartu pos yang seharusnya ditujukan kepada Hilde Møller Knag.
Paket berisi pelajaran filsafat kemudian secara teratur dikirimkan kepadanya. Ia pun kini; bukan hanya sekedar murid sekolah biasa tetapi juga menjadi anak didik dari seorang filsuf setengah abad yang nantinya diketahui bernama “Alberto Knox”. Alberto mengajarkan tentang sejarah filosofi dengan bahasa yang mudah dipahami dan selalu dimulai dengan pertanyaan. Filosofi menurutnya sangat relevan dengan kehidupan dan apabila kita tidak mempertanyakan dan merenungkan eksistensi manusia maka kita sebenarnya tidak “hidup”.
*
“The only thing we required to be a good philosophers is the faculty of wonder.”
Alberto menjelaskan sebenarnya pertanyaan filosofis itu tidaklah banyak, tetapi ada banyak cara untuk menjawabnya. Kehidupan itu seperti trik sulap, dan para filsuf selalu berusaha untuk mengamatinya dengan penuh keingintahuan, selayaknya bayi dan anak-anak yang memandang setiap kejadian sebagai sesuatu yang mengagumkan. Akan tetapi, kebanyakan orang seiring dengan berjalannya waktu, menganggap hidup adalah sesuatu yang biasa tak lebih dari sekedar “ Berapa harga tomat?” atau “ Berapa yang kita dapat dari saham yang naik hari ini?”.., yang lalu memilih merangkak lebih dalam menyelami zona kenyamanan lalu menjadi kehilangan kemampuan untuk bertanya tentang kehidupan.
The myths.
Sophie melanjutkan pelajaran ke permulaan filsafat barat. Manusia di-awalnya menjelaskan kehidupan melalui mitos-mitos, cerita tentang dewa-dewi; yang kemudian dipertanyakan oleh para filsuf yunani. Mereka mulai mencari penjelasan lain yang lebih alamiah -ketimbang gaib- mengapa kehidupan adalah seperti demikian?. Sophie memikirkannya dan menyadari bahwa membuat cerita untuk menjelaskan bagaimana alam bekerja tidaklah terlalu dibuat-buat, karena ia pun sendiri akan melakukan hal yang sama jika tidak memiliki penjelasan yang lain. Tetapi yang lebih penting adalah mencoba menjelaskan dengan nalar daripada mengarang cerita. Dengannya kita mungkin bisa lebih mengerti tentang dunia.
The Natural Philosphers – Pre Socratic
Alberto; di surat berikutnya menekankan pentingnya -ketika mempelajari setiap filsuf- apakah yang menjadi minatnya? – pertanyaan apa yang ingin dijawabnya? Karena yang satu mungkin berminat mengetahui bagaimana tumbuhan dan hewan bisa hidup dan yang lainnya mungkin bertanya-tanya apakah Tuhan itu ada atau benarkah manusia memiliki jiwa yang tidak bisa mati?.
Sophie belajar bahwa para filsuf yunani kuno (natural philosphers) percaya bahwa dunia adalah abadi. Mereka percaya bahwa ada satu zat (substance) yang menjadi dasar dari segala sesuatu. Ada yang berpendapat itu air (Thales), atau udara (Anaximenes – c.570-526 B.C), tetapi semua tetap meninggalkan pertanyaan yang tak terjawab: bagaimana perubahan itu terjadi?. Parmenides (c.540-480 B.C) yang adalah rationalist pertama[orang yang percaya bahwa nalar manusia adalah sumber utama pengetahuan dunia] percaya bahwa tidak ada yang berubah, tetap berpegang pada nalar walaupun kenyataannya berbeda dengan yang dirasakan panca inderanya. Berkebalikan dengannya, Heraclitus (c.549-480 BC) percaya pada sense-nya dan menurutnya tidak ada yang tidak berubah. Adalah Empedocles (c.490-430 BC) yang kemudian menjawabnya dengan teori bahwa ada empat zat dasar (udara, api, air, tanah) dan perubahan itu terjadi akibat dari pembauran keempatnya. Dia pula yang melakukan pembedaan antara “ zat” (substance) dan “force”. Anaxagoras dari Athena percaya bahwa alam terbentuk dari partikel-partikel yang kecil sekali tetapi setiapnya adalah bagian dari segalanya. Diakhirnya, Sophie lalu berfikir bahwa seseorang tidak bisa mempelajari filsafat, tetapi seseorang hanya bisa belajar untuk berfikir layaknya seorang filsuf.
Democritus
[caption id="attachment_38409" align="alignright" width="300" caption="un-cuttable / by daruma"][/caption]
“Kenapa lego adalah permainan paling cerdas di dunia?”
Untuk membantu menjawabnya, Alberto kali ini menuliskan tentang Democritus (c 460-370 B.C), seorang materialist - mereka yang hanya percaya pada hal-hal yang bersifat material. Menurutnya tidak ada bentuk “force” atau “soul” apapun yang bisa mencampuri proses alam. Ia percaya bahwa segalanya terjadi secara mekanis sesuai hukum “necessity” dan terbuat dari partikel yang sangat kecil, tidak terlihat dan abadi yang kemudian dikenal sebagai “a-tom” ( “un-cuttable”). Mirip dengan mainan lego yang memiliki banyak bentuk dan ukuran, solid dan masing-masingnya memiliki kaitan sehingga bisa digabungkan menjadi bentuk-bentuk. Koneksi ini nantinya bisa dipecah untuk kemudian menjadi bentuk yang baru. Para ilmuwan jaman sekarang telah berhasil menemukan bahwa atom bisa dibagi menjadi partikel dasar (proton, neutron dan electron) dan ada kemungkinan untuk terpecah menjadi partikel yang lebih kecil lagi. Tetapi mereka juga percaya bahwa harus ada -pada suatu titik- limitasi pada apa yang membentuk alam itu sendiri.
Fate
“Apakah kamu percaya pada takdir?”
“Apakah sakit adalah hukuman dari Tuhan?”
“Kekuatan apa yang mengatur aliran sejarah?”
Sophie lalu mengetahui bahwa para filsuf yunani kuno adalah penganut berat fatalism (bahwa segala sesuatu yang terjadi telah ditetapkan). Akan tetapi, ahli sejarah Herodotus (484-424 B.C.)dan Thucydides (460-400 B.C) dan founder pengobatan Yunani/dokter – Hippocrates mulai mencari penjelasan alamiah tentangnya. Karena; percaya bahwa ada penjelasan alamiah pada apa yang terjadi dengan alam tetapi tidak untuk kehidupan manusia, akan menjadi tidak konsisten. Menurut Hippocrates misalnya, kesehatan adalah sebuah kondisi yang alami. Jika sakit terjadi, berarti yang alami telah pergi akibat adanya ketidakseimbangan fisik dan mental. Untuk menjadi sehat, setiap manusia haruslah hidup dengan tidak berlebihan, dalam harmoni dan dengan “sound mind in a sound body”. Sophie belajar bahwa filsafat terbentuk dari dirinya sendiri, bahwa setiap filsuf mencari kesimpulan dari apa yang telah dijelaskan sebelumnya.Tetapi seraya berubah dan berjalan, tidak ada jaminan bahwa jawaban filsuf-filsuf itu adalah benar, sehingga untuk itu haruslah secara terus menerus dipertanyakan?..
**
Sebuah ringkasan kecil bersambung dari buku "Sophie's World: The History of Philosophy" - Jostein Gaarder
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H