"Loyalitas Berujung Petaka", demikian judul Nota Pembelaan I Nyoman Darmanta, salah satu terdakwa dugaan tindak pidana korupsi pengadaan sistem proteksi TKI tahun 2012, yang dibacakan dalam persidangan dan diberitakan oleh beberapa media massa elektronik. Bagi saya, isi Nota Pembelaan pribadi I Nyoman Darmanta tersebut cukup menyentuh hati dan membuat terenyuh. Kebetulan saya terus mengikuti dan menyimak kasus dugaan tindak pidana korupsi tersebut dari awal ramai diberitakan oleh media massa menjelang Pemilu Presiden dan Legislatif 2024.
Bagi saya, dugaan tindak pidana korupsi pengadaan tahun 2012 yang baru diangkat pada tahun 2023 saat menjelang pemilu, cukup berbau politis dan menarik untuk disimak. Mengapa kasus tersebut baru diproses pada tahun 2023 setelah 11 tahun berlalu? Dibandingkan dengan kasus korupsi BTS yang diduga melibatkan mantan Menkominfo Johnny Gerard Plate, nilai dugaan kerugian keuangan negara dalam kasus pengadaan sistem proteksi TKI, bagaikan bumi dan langit. Apalagi dibandingkan dengan dugaan kasus korupsi timah. Jauh sekali. Bukan berarti saya berpandangan kasus korupsi kecil tidak perlu diproses hukum. Terlepas besar kecilnya, korupsi tetaplah korupsi yang harus diproses hukum.
Wajar saja jika saya mencurigai motif politik dalam proses hukum terhadap kasus Kemnaker tersebut. Dugaan korupsi pada tahun 2012 yang baru diangkat pada tahun 2023 menjelang pelaksanaan Pemilu dapat diduga sebagai alat politik untuk menekan Cak Imin, mengingat pada tahun 2012 yang menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi ialah Cak Imin dan pada Pemilu 2024 ini posisi politik Cak Imin berbeda dengan pilihan politik rezim yang berkuasa. Apalagi kasus ini juga menyeret RU, mantan direktur jenderal yang setelah pensiun aktif menjadi pengurus partai politik yang dipimpin Cak Imin, sebagai terdakwa.
Terlepas benar atau tidaknya ada motif politik, yang jelas KPK tidak main-main dalam melakukan proses hukum hingga dibawa ke persidangan. Toh, tidak penting juga membuktikan benar atau tidaknya keberadaan motif politik dalam suatu proses hukum sepanjang KPK dapat membuktikan dakwaannya di persidangan sesuai hukum yang berlaku. Selama perkara yang diproses KPK didukung bukti-bukti yang kuat, dan bukan bentuk kriminalisasi yang tidak berdasar, maka isu politik harus dikesampingkan dari proses hukum yang berjalan. Namun demikian, sebagai warga negara, saya tentu berharap penggunaan wewenang KPK dilakukan secara jeli dan teliti agar orang-orang yang tidak ikut--karena memang tidak mau--menikmati uang haram hasil korupsi tidak perlu diseret dan menjadi korban dari proses penegakan hukum.
Kembali ke I Nyoman Darmanta, yang menjadi terdakwa karena kapasitasnya sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada pengadaan sistem proteksi TKI tahun 2012, menurut saya merupakan "korban" dari permainan kuasa dan kekuasaan segelintir orang yang serakah di tubuh birokrasi yang kental dengan budaya paternalistik. Saya sebut "korban" karena Jaksa KPK sendiri mengakui bahwa I Nyoman Darmanta tidak (mau) menerima uang atau barang yang tidak sah dari PT AIM selaku vendor pemenang lelang. Walaupun tidak mau menerima uang atau barang haram hasil korupsi, tetapi tetap melaksanakan perintah dari atasan, itu bukan berarti bentuk pengorbanan atas dasar loyalitas mutlak tanpa pamrih secara sukarela. Rasanya tidak ada satu pun orang yang waras pikirannya melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada dan membahayakan dirinya sendiri atas dasar loyalitas tanpa pamrih dan secara sukarela.
Dalam kasus tipikor pengadaan sistem proteksi TKI ini, dari hasil persidangan, vendor sudah mengenal RU di tahun 2010, sedangkan RU sendiri diangkat sebagai direktur jenderal di Kemnaker tahun 2011. Sebelum proses pra-lelang pengadaan sistem proteksi TKI, RU yang saat itu sudah menjabat sebagai dirjen menawarkan kepada PT AIM untuk menjadi vendor pelaksana pekerjaan tersebut. Artinya, dapat diduga RU sudah mempunyai niat untuk memenangkan PT AIM sebagai vendor pelaksana pekerjaan sistem proteksi TKI yang berada di lingkungan direktorat jenderal yang dipimpinnya. Kemudian untuk memuluskan niatnya memenangkan PT AIM sebagai vendor pelaksana pekerjaan sistem proteksi TKI, RU diduga menekan anak buahnya yang ditunjuk sebagai PPK, yaitu I Nyoman Darmanta.
Dalam hukum pidana, terdapat asas yang fundamental selain asas legalitas, yaitu asas "tidak ada pidana tanpa kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld)". Berdasarkan asas hukum tersebut, untuk dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang, maka hakim wajib memiliki keyakinan bahwa terdakwa telah terbukti berbuat kesalahan, sebab "seseorang tidak dijatuhi pidana tanpa kesalahan". Kesalahan merupakan salah satu unsur yang fundamental di samping sifat melawan hukum dari perbuatan, dan harus dipenuhi agar suatu subyek hukum dapat dijatuhi pidana.
Sehingga, meskipun perbuatannya (actus reus) memenuhi rumusan delik dalam peraturan perundang-undangan dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision) namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Hal ini karena harus dilihat sikap batin (niat atau maksud tujuan--mens rea) pelaku perbuatan pada saat melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum tersebut. Berbeda dengan actus reus yang menyangkut perbuatan yang melawan hukum (unlawful act), mens rea mencakup sikap batin yang disebut unsur subyektif suatu tindak pidana atau keadaan psikis pelaku perbuatan.
Jika seorang pejabat yang terlibat pengadaan barang dan jasa pemerintah tidak mau menikmati uang haram hasil korupsi, tetapi di sisi lain ia melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada, tentu secara sederhana dapat dipahami bahwa ia melakukan itu semua karena adanya paksaan dan tekanan. Jika ia memang punya niat untuk melakukan persekongkolan jahat tindak pidana korupsi, tentunya ia akan mau menerima, atau bahkan meminta bagian dari uang haram hasil korupsi.
Relevansi Perspektif Kultural dalam Penegakan Hukum
Sebuah realitas yang tidak dapat dipungkiri tentang budaya dominan yang ada di lingkungan birokrasi di Indonesia adalah budaya paternalistik. Dalam budaya paternalistik, tidak bersedia melaksanakan kebijakan pimpinannya adalah hal yang tabu bagi bawahan karena dianggap sebagai pembangkangan, terlebih jika dilakukan secara terbuka. Seringkali melawan perintah atasan berujung pada penurunan jabatan, hambatan karir ataupun pemecatan karena dianggap tidak loyal terhadap pimpinan. Budaya yang berasal dari zaman feodal (kerajaan) tersebut sampai saat ini masih lekat dan sulit dihilangkan dari tubuh birokrasi. Budaya paternalistik dalam birokrasi menunjuk pada hubungan antara pimpinan sebagai patron, dengan bawahan sebagai client. Relasi keduanya cenderung menggambarkan hubungan superior-inferior (powerfull-powerless). Pada konteks ini dapat dipahami bagaimana I Nyoman Darmanta tidak berdaya untuk menolak, alih-alih melawan, perintah yang datang dari RU selaku dirjen yang merupakan atasannya.