Mohon tunggu...
Gayuh Arya Hardika
Gayuh Arya Hardika Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat dan Praktisi Hukum

Simple, Humble and Warm | lurah.dargombes@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Merumuskan Arah Baru Gerakan Buruh Indonesia

29 April 2015   08:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:34 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasca tumbangnya kekuasaan rezim otoriter Orde Baru, kaum buruh Indonesia akhirnya bisa menikmati hak-hak sipil politik yang selama rezim Orde Baru dikebiri, seperti kebebasan berserikat dan merayakan Hari Buruh Sedunia pada tanggal 1 Mei. Namun demikian, dapat dinikmatinya hak-hak sipil politik buruh tersebut bukan berarti diiringi oleh nasib kaum buruh yang semakin baik. Hingga saat ini, nasib dan kondisi kaum buruh masih tetap terpuruk dan termarjinalkan. Terlebih sejak berlakunya labor market flexibility.

Berlakunya konsep labor market felxibility (LMF) di berbagai belahan dunia, "memaksa" pemerintah Indonesia untuk mengadopsi dan memberlakukan konsep tersebut dalam sistem hubungan industrial di Indonesia. Labor market flexibility adalah sebuah konsep di mana hubungan industrial dibangun se-fleksibel mungkin menyesuaikan dengan fluktuasi pasar dan fluktuasi produksi, serta beban labor cost yang rendah. Pengadopsian konsep labor market flexibility di Indonesia ditandai dengan pengakuan sistem kerja kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu--PKWT) dan sistem alih daya (outsourcing) dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Di tengah supply dan demand yang tidak seimbang dalam pasar tenaga kerja, tentu berlakunya konsep labor market felxibility sangat tidak menguntungkan buruh. Akhirnya, buruh yang bisa masuk dalam pasar tenaga kerja tidak mempunyai posisi tawar yang baik. Pilihannya hanya: bekerja dan menerima benefit sesuai yang ditawarkan pengusaha, atau menganggur--yang artinya tidak mendapatkan penghasilan. Organisasi buruh/serikat buruh/serikat pekerja yang merupakan manifestasi gerakan buruh, dan sejatinya dibangun sebagai alat untuk memperjuangkan hak-hak dan kepentingan buruh pun seakan tak berdaya dan takluk oleh keadaan. Keberadaan UU 21/2000 justru malah menyebabkan kekuatan buruh semakin terpolarisasi dan terfragmentasi secara tajam. Kekuatan buruh menjadi bersatu-satu; bukan bersatu.

Redefinisi Arah Perjuangan Gerakan Buruh dan Revitalisasi Organisasi Buruh

Tumbuh suburnya serikat buruh/serikat pekerja, ternyata tidak membuat posisi kekuatan buruh semakin meningkat. Justru sebaliknya, masing-masing organisasi buruh sibuk dengan agenda internal masing-masing. Bahkan celakanya, sebagian organisasi buruh malah terjebak dengan persoalan yang sifatnya elitis dan menjadi birokratis, jauh dari karakter egaliter dan demokratis yang menjadi penanda gerakan buruh progresif. Bahkan sebagian organisasi buruh justru menjadi sub-ordinat; terkooptasi oleh kekuatan politik praktis yang tidak memandang agenda dan kepentingan buruh. Sehingga, walaupun secara kuantitas besar, posisi kekuatan buruh tidak berubah. Karenanya, diperlukan redefinisi arah perjuangan gerakan buruh, dan juga revitalisasi organisasi buruh.

Harus disadari oleh semesta gerakan buruh Indonesia bahwa kaum buruh sejatinya adalah bagian tak terpisahkan dari rakyat secara umum dan keseluruhan. Kesadaran yang demikian ini menjadi penting untuk menemukan jalan keluar dari arah gerakan buruh yang terjebak pada "jalan buntu" alias gitu-gitu aja. Arah gerakan perjuangan buruh tidak boleh lagi sifatnya sektoral--dari, oleh dan untuk buruh semata--melainkan harus mulai membangun gerakan yang sifatnya multisektoral. Artinya, tujuan gerakan buruh tidak boleh lagi hanya berkutat pada persoalan yang sifatnya "ekonomis sempit"; tidak boleh lagi hanya berkutat pada permasalahan upah dan kesejahteraan dalam pabrik/perusahaan semata.

Memang permasalahan upah (murah) dan rendahnya kesejahteraan masih menjadi permasalahan utama kaum buruh hingga hari ini. Namun itu bukan berarti tuntutan perjuangan buruh harus melulu tentang upah dan kesejahteraan. Gerakan buruh harus mampu melihat makna kesejahteraan bukan hanya dinilai atau terkait nominal upah yang diterima. Percuma nominal upah tinggi, tapi inflasi dan harga barang-barang di pasar juga tinggi. Berangkat dari kesadaran ini, maka tuntutan gerakan buruh harus diarahkan pada terwujudnya kebijakan pemerintah yang pro rakyat miskin seperti kebijakan pembangunan perumahan yang layak dan terjangkau bagi buruh dan masyarakat marjinal lainnya, perbaikan akses dan fasilitas pendidikan serta kesehatan, pembangunan sistem transportasi massal yang aman, nyaman dan terjangkau, juga pengendalian harga barang dan jasa yang sifatnya primer agar tetap terjangkau.

Perubahan arah tuntutan perjuangan dan gerakan buruh Indonesia ini sangat penting untuk melindungi kepentingan buruh itu sendiri dan kepentingan masyarakat umum. Pada konteks ini, revitalisasi organisasi buruh yang independen, tidak terkooptasi dalam bentuk apapun oleh kekuatan politik praktis, adalah keharusan. Mengapa demikian? Jika organisasi buruh terkooptasi oleh kekuatan politik praktis, bisa dipastikan tidak akan sanggup berjuang secara obyektif sesuai kondisi material yang ada. Arah gerakannya akan bias dan disesuaikan dengan kekuatan politik yang mendominasinya. Padahal kepentingan politik yang dominan, tidak selalu sejalan--bahkan seringkali berbenturan dengan kepentingan buruh dan kelompok masyarakat marjinal lainnya.

Organisasi buruh harus dijaga keotentikannya. Baik sebagai alat yang sah untuk memperjuangkan hak dan kepentingan buruh maupun "alat politik" untuk memperjuangkan hak dan kepentingan buruh maupun masyarakat marjinal lainnya di tengah konfigurasi kekuatan sosial dan politik yang ada. Alasan organisasi buruh juga bisa menjadi "alat politik" buruh--bukan dalam definisi alat politik laiknya partai politik--karena secara faktual organisasi buruh mempunyai basis massa riil dan capable untuk mengorganisasikan pemogokan skala massif yang mana itu tentunya akan mempunyai implikasi politik termasuk tingkat negara. Mengingat kebijakan pemerintah tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam negeri, tetapi juga geopolitik kawasan maupun internasional, maka kemampuan yang sifatnya politis dari organisasi buruh ini harus dipahami dengan benar agar bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sebagai Tantangan Gerakan Buruh Indonesia

Situasi ke depan yang menjadi tantangan bagi gerakan buruh Indonesia adalah berlakunya MEA yang membawa konsekuensi masuknya pekerja migran dari negara lain semakin besar. Artinya, persaingan untuk mendapatkan pekerjaan akan semakin ketat. Buruh Indonesia harus berbagi "jatah" dengan buruh yang berasal dari negara-negara lain di ASEAN. Kondisi yang demikian ini akan semakin mengancam daya tawar buruh yang secara struktural memang lebih lemah dibanding pemilik modal dan bahkan potensial menyebabkan organisasi buruh yang ada saat ini semakin tak berdaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun