Sekolah dan belajar adalah dua hal yang berbeda. Namun sayangnya sebagian masyarakat masih belum menyadarinya. Seolah-olah dengan bersekolah, maka otomatis akan mempunyai ilmu. Seolah-olah seorang doktor pasti lebih ahli daripada sarjana. Seolah-olah dengan selembar ijazah bisa menyelesaikan persoalan riil. Padahal suatu persoalan itu bisa diatasi bukan atas dasar ijazah, melainkan atas dasar ilmu yang termanifestasikan secara empirik.
Pemahaman yang [hampir] menjadi budaya dalam masyarakat yang lebih melihat dan mengutamakan strata pendidikan formal daripada kemampuan yang lebih substansial, menurut saya adalah sesuatu yang perlu diubah. Mental yang lebih mengutamakan ijazah daripada ilmu dan kemampuan, sudah sepatutnya ditanggalkan dan ditinggalkan. Kita mahfum peradaban yang maju dan kemajuan itu sendiri mempunyai prasyarat bahwa ilmu dan kemampuan harus ditempatkan sebagaimana mestinya.
Ketika menjadi Gubernur DKI, Jokowi telah melakukan terobosan lelang jabatan untuk mendapatkan pejabat yang berkompeten atas dasar ilmu dan kemampuan. Jokowi menyadari bahwa untuk mewujudkan pemerintahan yang berorientasi pada kebijakan dan pelayanan yang berdampak positif nyata pada masyarakat, ilmu dan kemampuan pejabat maupun aparat birokrasinya menjadi parameter utama.
Ketika masih menjadi calon presiden, Jokowi menawarkan Revolusi Mental sebagai kata kunci untuk membawa Indonesia menjadi lebih maju dan lebih baik. Kini, sejak 20 Oktober 2014, Jokowi telah resmi menjabat sebagai Presiden RI. Maka terkait penunjukan Susi Pudjiastuti yang hanya tamatan SMP sebagai menteri—yang sepertinya mencerminkan Jokowi lebih memandang ilmu, kemampuan dan pengalaman daripada gelar dan ijazah—apakah hal tersebut merupakan bagian dari agenda Revolusi Mental? Mungkin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H