Bagaimana bisa manusia hanya ditimbang dari surat-surat resmi belaka, dan tidak dari wujudnya sebagai manusia? [Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia]
Setelah pengumuman kabinet pemerintahan Jokowi pada hari Minggu petang (26/10), publik digegerkan oleh ditunjuknya Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Jika menteri-menteri lain minimal bergelar sarjana dan ada yang doktor bahkan profesor, tidak demikian halnya dengan Susi. Ia hanya lulusan SMP karena ketika kelas 2 SMA memilih berhenti sekolah.
Selama ini, diakui atau tidak, budaya yang tumbuh dalam masyarakat kita adalah menilai seseorang dari gelar yang dimiliki; dari ijazah dan surat-surat resmi yang digenggamnya. Seseorang yang memangku jabatan publik di pemerintahan, sekalipun ia tidak membawa perubahan apapun, selama ia masih mempunyai gelar dan ijazah yang mentereng, masyarakat masih menganggap ia pantas menduduki jabatan tersebut karena ijazahnya.
Maka tidak heran bila masyarakat heboh atas pengangkatan Susi yang hanya tamatan SMP menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Sekalipun faktanya Susi telah berhasil membangun bisnisnya dari nol menjadi besar seperti sekarang dan mempekerjakan banyak sarjana, sebagian masyarakat masih mempersoalkan ke-SMP-annya. Fakta atas kemampuan dan kompetensi Susi yang berhasil membangun usaha dari nol hingga seperti sekarang punya sekitar 50 pesawat terbang itu merupakan prestasi yang luar biasa, dinafikkan. Sebagian masyarakat menilai tamatan SMP tidak layak menjadi menteri.
Pertimbangan secara Matang
Saya yakin, penunjukan Susi Pudjiastuti yang hanya tamatan SMP sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan sudah melalui pertimbangan yang matang. Jokowi melihat keberhasilan nyata Susi yang memulai bisnis dari nol hingga seperti sekarang; dari berdagang ikan hingga punya maskapai penerbangan. Pengalaman dan pengetahuan empirik Susi dipandang lebih saat ini lebih tepat untuk mengembangkan sektor kelautan dan perikanan.
Jokowi pasti menyadari bahwa banyak orang pandai dan mumpuni di bidang kelautan dan perikanan, namun kenyataannya selama ini sektor kelautan dan perikanan seperti jalan di tempat. Seorang sarjana, doktor dan profesor mungkin saja mempunyai banyak pengetahuan tentang kelautan dan perikanan, tetapi bila mereka tidak mempunyai pengalaman dan kemampuan tata kelola secara empirik, maka yang dihasilkan mungkin hanya regulasi dan kebijakan di atas kertas yang implementasinya kadangkala tidak berdampak positif signifikan terhadap kehidupan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor kelautan dan perikanan.
Ya, meminjam dari Pramoedya Ananta Toer, kehidupan lebih nyata dari pendapat siapapun tentang kenyataan. Dalam banyak kesempatan, sebelum menjadi Presiden RI, Jokowi berulang kali menyatakan bahwa banyak kebijakan, program kegiatan dan rencana pemerintah yang bagus, tapi sayangnya eksekusi dan implementasinya kurang berjalan baik sehingga tidak berdampak nyata pada masyarakat.
Pada konteks ini bisa dipahami pilihan Jokowi mengangkat Susi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan adalah agar Susi bisa menjadi “direktur perusahaan” di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Agar Susi bisa mengeksekusi dan mengimplementasikan kebijakan secara nyata dan berdampak riil terhadap kehidupan masyarakat sebagaimana yang telah ia lakukan ketika merintis dan menjalankan bisnis.
Bagian dari Revolusi Mental?
Saya percaya bahwa ilmu tidak berbanding lurus dengan tingkat pendidikan formal seseorang, tetapi ilmu berbanding lurus dengan kemauan belajar seseorang. Sekalipun tidak sekolah formal, selama seseorang itu mau belajar, ia akan mendapatkan ilmu. Seperti Susi Pudjiastuti. Sebaliknya, walaupun setiap hari berangkat ke kampus dan masuk kelas, tetapi jika tidak mempunyai kemauan belajar, tidak akan mendapatkan ilmu.