Mohon tunggu...
Muslimin Ma'aruf
Muslimin Ma'aruf Mohon Tunggu... wiraswasta -

Menjadi perantau dalam banyak tahun, tetap rindu tanah air

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kyaiku: Episode Puasa

27 April 2014   04:41 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:09 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Istilah kyai bisa berbeda makna. Dikalangan orang Jawa, Kyai bermakna sesuatu yang disakralkan. Tidak terbatas seseorang,  bisa juga benda. Seperti keris kyai Plèrèt atau kerbau kyai slamet. Tetapi yang saya tulis adalah kyai dalam istilah Islam yang sering disebut pemuka agama atau pewaris nabi. Perilaku, ucapan dan sikapnya selalu menjadi rujukan bagi orang banyak.
Yang ingin saya tulis ini adalah seorang kyai, sang panutan dalam lingkup kecil. Yang saya tulis bukankah kyai besar dengan murid ribuan atau yang fatwanya selalu dikutip oleh media massa. Yang saya tulis hanyalah seorang kyai yang mungkin namanya belum pernah ditulis di koran. Ini bukan kisah para pahlawan yang perbuatannya menjadi buah bibir dan buah pena.
Walaupun begitu saya, tetanggaku dan lingkungan kecil kami menjadikannya sebagai sumber inspirasi.
Dakwah,  sebuah istilah keren dan kami perlu memahami sebuah kata itu dalam banyak tahun. Namun pengertian sebenarnya justru kami dapatkan dari interaksi dengan beliau.
Dalam kesempatan ini saya juga menyampaikan sebuah pesan beliau untuk menjadi udara, berperan nyata tapi tidak pernah terlihat. Karena itu kami sengaja tidak menyebut nama, alamat atau identitas lainnya dengan sebuah harapan hanya Allah yang mengetahui.

Puasa dan tamu
Sebagai sebuah pesantren kecil kadang kadang ada tamu.  Tentu aja tamu yang datang tidaklah seramai pesantren pesantren besar. Namun paling tidak seminggu beberapa kali ada yang berkunjung.
Sudah menjadi kebiasaan pak kyai untuk mendahulukan teladan daripada ajakan. Termasuk diantaranya puasa senin kamis. Dari pergaulan kami dan interaksi dengan pak kyai, kami hafal bahwa setiap senin dan kamis beliau selalu berpuasa.
Tamu, tentu saja datang dan pergi sesuai dengan waktu yg dimiliki. Dan tidak luput juga, senin atau kamis kadang ada tamu. Berbagai keperluan dan hajat yang disampaikan. Mulai undangan ceramah, minta didoakan, minta nasehat atau saran,  minta dipimpin berdoa, yasinan, tahlilan sampai kelahiran bayi.
Hari senin itu,  seorang tamu dengan dandanan necis, naik sebuah mobil datang minta saran. Dan biasa juga pak kyai minta tolong disediakan dua kopi dan tentu saja sebungkus rokok dan korek api.
Awalnya kami heran, ada tamu satu orang mengapa dua gelas kopi? Apakah pak kyai akan membatalkan puasa karena menghormati tamu? Itupun tidak salah. Toh dalam islam diperbolehkan. Kami benar benar ingin tahu. Makanya dengan melanggar adat kami mengintip apa yang akan dilakukan oleh kyai kami.
Sambil berbincang bincang kyai kami mengangkat gelas sambil mempersilakan sang tamu untuk minum. Pak kyai mengangkat gelas mendekatkan ke mulut. Sang tamu buru buru mengiringi minum. Namun gelas yang sudah hampir menyentuh bibir itu diletakkan kembali sambil berbincang mengenai suatu topik yang kelihatannya sangat menarik.
Begitu juga rokok, sambil mengambil sebatang rokok, terus menyodorkan bungkus rokok ke tamu menyalakan rokok tamu kemudian menyalakan rokok sendiri. Namun sekali lagi,  rokok itu tidak terbakar karena memang kali ini menekan korek dengan tidak penuh. Sambil tetap memegang rokok yg tidak terbakar pak kyai asik berbincang sehingga sang tamu tetap tidak menyadari bahwa dia merokok dan minum sendirian. Sampai tamu itu pulang, pak kyai tetap dalam keadaan puasa.
Hari itu kyai kami berhasil tetap puasa sambil melayani tamu minum dan merokok.  Pak kyai tetap menjaga sunnah tanpa perlu minta dimaklumi bahwa dia puasa, dan membuat tamu merasa tidak enak hati.  Tetap taat kepada Allah tanpa membuat orang lain merasa bersalah.
Satu pelajaran yang sangat berharga bagi kami,  bagaimana menghormati orang yang tidak berpuasa. Tetap bergaul tanpa orang lain merasa dibedakan.  Tetap bergaul tanpa orang lain merasa lebih rendah ketaatannya.
Sebuah pendidikan yang sangat menancap kuat di sanubari kami. Bahwa tidak mudah untuk berbuat baik tanpa orang lain merasa jatuh nama. Bahkan berbuat baik tanpa orang lain tahu bahwa kita sudah berbuat baik.

#yang Menunggu verifikasi admin

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun