Pada 2001 hingga 2003 para penggemar film dan, khususnya, para penganut Tolkienisme di seluruh dunia telah dihebohkan dengan kehadiran trilogy Lord Of The Rings yang diangkat dari novel terkenal karangan J.R.R.Tolkien ke layar perfilman dunia dan berhasil mendapatkan berbagai macam penghargaan bergengsi. Kini sejak 2012 sang sutradara: Peter Jackson menghadirkan sebuah kisah prekuel dari petualangan para pembawa cincin tersebut yang kembali_dengan berani, kalau saya boleh menambahkan_dipecah menjadi tiga bagian. Dan pada Desember 2013 tahun ini, sekaligus memperingati natal dan tahun baru, sutradara asal New Zealand ini ‘menghadiahkan’ seri kedua dari rangkaian trilogy The Hobbit berjudul The Desolation Of Smaug.
Masih menceritakan kisah mengenai seorang Hobbit bernama Bilbo Baggins (Martin Freeman), film kedua ini melanjutkan kisah dari film pertamanya: An Unexpected Journey, di mana film pertama berakhir saat Bilbo dan ketiga belas Dwarves yang dipimpin oleh Thorin Oakenshield (Richard Armitage) dan didampingi oleh Gandalf The Grey (Ian McKellen) diselamatkan oleh sekelompok elang besar dari serangan kelompok Orc penunggang Wargs yang dipimpin oleh seorang Orc albino bernama Azog (Manu Bennett).
Kali ini rombongan yang sedang dalam misi merebut kembali Lonely Mountain dari kekuasaan sang naga Smaug (Benedict Cumberbatch) ini masih harus lari dari kejaran para Orc yang kali ini dikepalai oleh anak Azog: Bolg (Lawrence Makoare) dan tangan kanannya yang kejam dan tanpa ampun: Narzug (Ben Mitchell). Dalam keadaan terdesak, rombongan ini berlindung di sebuah rumah milik seorang skin-charger bernama Beorn (Mikael Persbrandt) yang bisa berubah menjadi seekor beruang besar. Walaupun Beorn tidak terlalu menyukai Dwarves, tapi Beorn lebih tidak menyukai Orc sehingga dia mau membantu rombongan melarikan diri dengan memberikan perbekalan dan kuda. Tapi begitu sampai di pinggir hutan Mirkwood, hutan para Elves, Gandalf harus meninggalkan mereka untuk melakukan sesuatu yang penting di Dol Gundur bersama Radagast The Brown (Sylvester McCoy). Akhirnya para Dwarves dan Bilbo pun masuk ke dalam Mirkwood tanpa kehadiran Gandalf.
Sialnya, instruksi Gandalf yang meminta mereka untuk tidak meninggalkan jalan setapak tidak bisa dilaksanakan dengan mudah. Mereka pun tersesat dan hampir saja menjadi makan malam para Laba-laba raksasa penghuni Mirkwood. Untung saja mereka dibantu oleh kehadiran para Elves yang dipimpin oleh Legolas (Orlando Bloom) dan Tauriel (Evangeline Lily). Rombongan itu menjadi tawanan para Elves dan dibawa untuk menemui raja Thranduil (Craig Hall). Dengan bantuan Bilbo yang kembali mengenakan cincin yang ditemukannya, para Dwarves berhasil kabur dengan cara masuk ke dalam tong-tong anggur kosong dan sampai di kota Esgaroth. Di sana mereka mendapat bantuan dari seorang penduduk bernama Bard (Luke Evans) yang menyelundupkan mereka masuk ke dalam kota.
Dari sana petualangan mereka masih terus berlanjut, masih didominasi dengan usaha mereka untuk melarikan diri dan bersembunyi dari sebuah bayangan hitam yang terus mengikuti mereka. Tujuan mereka juga masih sama: merebut kembali Lonely Mountain dan semua harta yang dijadikan naga Smaug sebagai tempat tidurnya. Dan bagaimana usaha Thorin untuk mencari pusaka keluarganya: Arkenstone yang juga dikuasai Smaug?
Saya sudah pernah menyinggung bahwa untuk membuat sebuah film kedua adalah bukan pekerjaan yang mudah. Ekspektasi penonton menjadi berkali-kali lipat setelah menonton film pertama. Belum lagi sudah terbentuk kelompok penonton yang sudah ‘kadung’ terlalu jatuh cinta dengan film pertamanya sehingga belum apa-apa mereka sudah menetapkan standart mereka sendiri untuk sebuah film kedua. Nah, menurut kalian bagaimana dengan film kedua The Hobbit ini?
Menurut saya sih, film kedua ini benar-benar diluar dugaan saya. Jujur saja, saya termasuk kelompok penonton yang meragukan keputusan Peter Jackson untuk memecah kisah The Hobbit ini menjadi tiga bagian. Saya sendiri pecinta The Hobbit, jauh lebih suka dari pada kisah Lord Of The Rings. Jika dibandingkan dengan novelnya yang tidak terlalu tebal (hanya 348 halaman, terbitan Gramedia tahun 2002) rasanya memecah filmnya menjadi tiga bagian terlalu berlebihan. Dua bagian saya rasa sudah lebih dari cukup.
Memang kisah yang ditawarkan masih sama menariknya seperti kisah pada film pertama. Hadirnya beberapa tokoh baru, termasuk tokoh-tokoh yang sebelumnya telah lebih dulu tampil dalam Lord Of The Rings juga memberikan penyegaran. Sinematografi, animasi dan semua special effect sudah tidak perlu diragukan lagi, apa lagi dengan menggunakan teknologi yang semakin canggih sehingga semua terasa sempurna untuk dilihat. Tapiiiii…… saya tetap tidak bisa mengenyahkan kenyataan bahwa alur film ini terasa sengaja dilambat-lambatkan, seperti karet gelang yang ditarik jauh lebih lebar dari pada yang diperlukan.
Untungnya, Peter Jackson dengan lihai menyiasati kelemahan ini dengan cara menceritakan beberapa cerita yang sebelumnya tidak diceritakan di versi novelnya dan menambahkan beberapa karakter baru yang masih terkait dalam kisah ini. Peter Jackson juga memberikan porsi aksi yang lebih banyak dalam beberapa scene (terutama dalam scene saat para Dwarves melarikan diri dari Mirkwood melalui sungai deras dengan mengendarai tong anggur kosong) yang sebenarnya tidak ada dalam versi novelnya. Dan Peter Jackson juga sengaja menggunakan alur yang meloncat-loncat dari satu kisah ke kisah yang lain agar gereget yang dirasakan penonton tetap terjaga.
Well, walaupun saya tidak terlalu mendukung pembagian kisah The Hobbit ini menjadi tiga bagian, tapi saya bukan termasuk dalam golongan hatters sehingga saya masih bisa menikmati kisah ini dengan sepenuh hati. Tiga setengah dari lima bintang untuk film ini akan saya berikan dengan senang hati. Dan saya dengan sangat tidak sabar akan menunggu kisah pamungkasnya yang direncanakan akan dirilis pada 2014 mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H