[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="bp20/kompasiana (kompas.com)"][/caption]
"Brazilian football doesn't deserve to be run by a gang which already showed itself incompetent... Which rakes in money and does it as it sees fit but not for the good of our football." (Romario)
Jengah, barangkali itu yang ada dibenak legenda sepakbola Brasil Romario de Souza Faria. Pencetak gol terbanyak piala dunia '94 itu mengatakan federasi sepakbola Brasil (CBF) harus segera melakukan aksi bersih-bersih di jajaran kepengurusannya.
Romario yang kini menjadi legislator di negeri samba itu mengkritik secara gamblang bila federasi sepakbola Brazil dalam beberapa tahun belakangan telah mengalami kemunduran. Menurutnya, gagalnya Brazil menjuarai piala dunia di kandang sendiri merupakan momentum yang tepat bagi CBF untuk berintrospeksi diri. "Sepakbola kami telah memburuk selama bertahun-tahun, itu disebabkan oleh para pemimpin yang bahkan tidak punya kemampuan untuk melakukan juggling bola," ungkapnya.
Romario pun menyinggung mundurnya prestasi Timnas secara khusus tidak dapat dipandang sebagai kesalahan pemain dan pelatih, terlebih hal tersebutmerupakan tanggungjawab dari persepakbolaan Brasil secara umum yang telah digerogoti oleh korupsi yang merajalela. Romario memaparkan salah satu contoh yaitu, klub-klub memilih pemimpin yang sama bertahun-tahun. Parahnya, pemimpin yang dipilih adalah --yang menurut Romario-- hanya berpatokan pada orientasi bisnis alias keuntungan finansial.
"Sepakbola Brasil tidak dapat dipimpin oleh sejumlah orang yang hanya berpatokan pada keuntungan finansial semata. Perhatian berlebihan terhadap upaya mencari uang, justru berdampak negatif pada sepakbola kita,"
"Mereka duduk di kursi mewahnya, menikmati jutaan uang yang mengalir ke rekeningnya," singgung Romario
Menyimak apa yang dikemukakan oleh legenda Brasil di atas, barangkali sebagian kawan-kawan akan bertanya seperti apa sepakbola yang ideal di era persepakbolaan modern yang berkembang saat ini. Mungkin tak berlebihan bila saya mengatakan sepakbola modern berhasil diterapkan oleh juara piala dunia 2014 yakni Timnas Jerman.
Raihan juara dunia tahun ini bukanlah raihan kebetulan melainkan telah melewati proses panjang yang melibatkan banyak pihak di Jerman. Berawal dari Piala Dunia 1998, Jerman gagal ke semifinal karena harus mengakui keunggulan Davor Suker dkk. yang mencukur Jerman dengan skor yang cukup memalukan 3-0.
Dengan sisa pemain yang telah dimakan usia kala itu, kekalahan memang menjadi sebuah risiko yang bisa ditoleransi. Namun malapetakan selanjutnya berlanjut ketika pada gelaran Piala Eropa tahun 2000 saat Jerman harus pulang cepat tanpa meraih kemenangan sekali pun.
Mulai saat itu Jerman memulai revolusi sepakbolanya. Federasi Sepakbola Jerman (DFB) mengambil segala tanggungjawab. Belajar dari kegagalan, DFB kemudian mengevaluasi segala kemungkinan yang menyebabkan gagalnya Timnas Jerman sebagai representasi dari wajah persepakbolaan Jerman saat itu.
Brilian, DFB tidak hanya mengundang para pakar yang menganggap sepakbola hanya permainan di atas lapangan saja melainkan juga mengundang beberapa pihak yang dianggap dapat memajukan persepakbolaan Jerman secara umum termasuk di dalamnya yakni pakar ekonomi, Matematika, Sport Science, Manajemen, ahli Gizi, sampai pada para ahli ilmu terapan. Dari hasil tersebut terciptalah Blueprint pembenahan sepakbola Jerman.
Blueprint tersebut meliputi pembinaan pemain usia dini, pembangunan infrastruktur, memperketat regulasi susunan pemain dalam liga, sampai pada pengajuan perubahan Undang-Undang Imigrasi untuk menampung imigran yang berusia anak-anak yang kemungkinan memiliki bakat sepakbola dan dapat diberdayakan untuk kepentingan sepakbola Jerman.
Alhasil, sepakbola Jerman membaik, dan menemui puncaknya pada piala dunia 2014, di mana mereka berhasil mencukur sang pemenang piala dunia lima kali Brasil di kandangnya dengan skor 7-1, yang kemudian membuat Romario berang pada kepengurusan sepakbola negerinya. Dan yang utama adalah Jerman berhasil menggondol Piala Dunia setelah mengalahkan Argentina dengan gol semata wayang Mario Goetze, seorang anak muda yang merupakan hasil dari revolusi sepakbola Jerman.
Harapan Romario, Harapan Indonesia juga
Korupsi nampaknya tidak akrab di Jerman. Barangkali memang tidak subur di sana, mengingat kepentingan persepakbolaan masih dianggap sebagai kepentingan bersama. Toh, hal tersebut tidak berarti merugikan. Dari hasil investasi DFB dalam sistem regulasi maupun pembinaan anak muda yang lebih dari 100 juta euro permusim ternyata dapat menghasilkan pendapatan total liga mencapai 2 milyar euro.
Maka, apa yang dipaparkan oleh Romario, sebagai bentuk kekecewaannya pada federasi sepakbola Brasil, barangkali juga dirasakan oleh sebagian orang yang berkecimpung di dunia sepakbola termasuk di Indonesia.
Seperti Brasil, korupsi memang masih menjadi momok bagi Indonesia. Tak dapat dipungkiri korupsi telah menyebar ke seluruh lapisan kehidupan masyarakat, tak terkecuali sepakbola. Mungkin ada baiknya juga kita mendengarkan nasihat dari Romario yang berang atas ulah segelintir orang yang memonopoli kepemimpinan pada federasi sepakbola, parahnya mereka merupakan orang-orang yang sama sekali tidak paham dan --mungkin-- tidak peduli pada kemajuannya melainkan uang, uang, dan uang.
Bukankah Indonesia juga pernah (atau mungkin masih?) mengalami carutmarut kepemimpinan dalam sepakbola?
Saya ingat dengan artikel Bambang Pamungkas "Saya Adalah Generasi yang Gagal", saat itu Bambang Pamungkas bergabung dengan Timnas Indonesia dalam piala AFF 2012 dan mengambil langkah melanggar ketentuan klubnya yakni Persija karena Timnas yang dipakai adalah TImnas yang dikelola oleh pihak lain (persetan siapa).
Ia pun harus menerima kenyataan pahit bahwa selama karirnya di Timnas tak satu pun Trophy kejuaran ia persembahkan untuk rakyat Indonesia. Bambang justru disuguhkan aksi ketidakdewasaan beberapa elite di pengurusan sepakbola Indonesia yang berebut kekuasaan.
Beberapa pihak menyatakan bila dualisme kepemimpinan yang terjadi di Indonesia bukan sekedar struktur jajaran organisasi yang bertarung program kemajuan, melainkan orientasinya adalah keuntungan finansial. Dari hasil itu semua, seperti yang diungkapkan oleh Bambang dalam artikelnya itu mengenai penyatuan kembali kepengurusan PSSI yang ia duga ada negosiasi-negosiasi tertentu. Terbukti, sampai saat ini pun kepengurusan PSSI masih diisi oleh orang yang itu-itu juga.
Secara tak langsung, saat ini Romario membela Bambang. Karena kegagalan sebuah Timnas tidak hanya melulu soal permainan di lapangan. Ia merupakan kegagalan kolektif buah dari sistem pengelolaan sepakbola itu sendiri.
Kini, Romario dan Bambang setidaknya tidak harus mencari ke arah mana seharusnya sepakbola di negaranya berjalan. Karena Jerman telah menyediakan beragam contoh untuk dapat ditiru, karena telah terbukti, sistem pembinaan yang dilakukan secara serius dan konsisten dapat membuahkan prestasi yang cemerlang, dan juga uang.
Bak sebuah agama, Jerman kini telah menjadi kiblat sepakbola, sudah sepatutnya Brasil dan Indonesia berkiblat padanya. Tapi di alam bebas nan penuh ragam ini, pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah Brasil dan Indonesia mau mengakui keberhasilan Jerman sebagai keberhasilan membenahi peradaban sepakbola, atau malah merasa benar sendiri atas pembinaan-pembinaan yang telah mereka (Brasil & Indonesia) jalankan?
Faktanya, 14 pemain Jerman yang mengangkat trophy piala dunia adalah para anak muda berusia di bawah 25 tahun, dan pemain timnas Jerman yaitu Mesut Ozil, Thomas Mueller, Mario Goetze, Mat Hummels, Manuel Neuer, Per Martesacker dan Toni Kroos merupakan produk akademi sepakbola lokal, mereka telah memetik keberhasilan revolusi sepakbola Jerman ketika Neymar dkk. gagal membawa Brasil juara dunia di kandangnya --justru mencatat sejarah kelam-- dan Indonesia, entah sampai kapan akan berhasil mengangkat piala.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H