Dia dipecat, dia digugat sebagai calon Presiden yang pernahmelanggar Hak Azasi Manusia (HAM). Suara-suara itu, beberapa waktu lalu, hanya milik aktivis dan Komnas HAM. Namun kini suara itu terdengar dari mulut para jenderal. Mereka adalah Jenderal (Purn) Agum Gumelar, Jenderal (Purn) Fachrul Razi, dan Mayjend (Purn) Syamsu Djalal, ketiganya mengungkap pendapatnya tentang pemberhentian 'dia' yang kini maju sebagai calon presiden Republik Indonesia.
"Kalau seperti ini jadi pemipin, bahaya. Kalau tingkat yang lebih rendah saja sudah melakukan hal-hal seperti itu, bagaimana dengan tingkat yang lebih tinggi atau sangat tinggi." begitu pernyataan Fachrul Razi yang dicetak besar-besar di bawah Judul Headline pada surat kabar nasional.
Sementara itu, Agum Gumelar --juga lewat surat kabar yang sama--mengungkapkan pemberntian 'dia' merupakan akibat kesalahan utama terkait tindakan yang tidak pantas dilakukan perwira tinggi. Setali tiga uang, Syamsu Djalal pun mengutarakan pernyataan yang menguatkan peryataan dua jenderal sebelumnya, Syamsu menegaskan bila 'dia' harus ditindaklanjuti ke pengadilan militer.
Berawal dari bocornya surat Dewan Kehormatan Prajurit (DKP) kepada publik, isu alasan pemberhentian 'dia' jadi semakin berkobar. Setelah sempat dianggap basi oleh beberapa kalangan, namun dokumen rahasia negara yang bocor itu seolah menjadi penghangat suasana, dan tak bisa ditanggapi dengan dingin lagi. Dia memang berutang penjelasan, baik pada pihak yang berwenang maupun rakyat yangbarangkali kebanyakan dari mereka tidak tahu menahu duduk persoalan.
Dalam debat Capres dan Cawapres yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umun tempo hari sedikit memberi jawab. Prabowo mengatakan tindakannya kala itu (1998) karena mendapat arahan dari atasan. Baru belakangan baru diketahui oleh Agum bahwa 'dia' mengaku mendapat arahan dari presiden Soeharto. Hal yang agak mengagetkan bagi Agum, karena kenyataan yang belakangan ia ketahui itu tidak pernah terungkap dan tidak pernah dikatakan oleh 'dia' yang diperiksa oleh DKP.
Barangkali, 'dia' tak pernah menginginkan nama bapak mertuanya bertambah jelek, atau bisa juga ia enggan membuat DKP bekerja setengah hati. Karena nyatanya, tanpa ia sebut pengakuan mendapat arahan dari Soeharto, DKP mengambil keputusan pemberhentian dari dinas militer tanpa merekomendasikan kasus ditindaklanjuti ke Mahkamah Militer karena masih sungkan kepada bapak mertuanya itu.
Maka, kenyataan sudah dipaparkan oleh pelaku sejarah, kebenaran harus diungkap. Belum juga menyelesaikan segala persoalan yang ada di negeri ini, 'dia' harus menyelesaikan segala persoalan yang menyangkut dirinya sendiri. Pertanyaannya, apakah ini adalah persoalan yang harus diselesaikan atau persoalan ini adalah persoalan yang sudah selesai?
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) berpendapat bila persoalan dugaan pelanggaran HAM yang membelit 'dia' tidak bisa dianggap sebagai persoalan yang sudah selesai. Bahkan menurut hemat mereka, persoalan tersebut haruslah diselesaikan lewat jalur hukum. Untuk itu, saya setuju, dulu aktivis HAM Munir juga berpendapat begitu. Bahwa, dengan membuka kasus ini ke pengadilan, ada proses yang dilalui dan hasil yang berkekuatan hukum tetap, ada kontestasi ketetapan hukum yang akan menguntungkan kedua belah pihak, Komnas HAM dan 'dia' sendiri.
Tapi kabar sekedar kabar, laporan Komnas HAM ditolak oleh Kejaksaan dua Minggu silam dengan alasan investigasi yang dilakukan tidak lengkap. Barangkali seandainya 'dia' mau untuk bersaksi, dan bukan mengutus tim suksesnya untuk menjelaskan hal tersebut, bisa jadi kontestasi ketetapan hukum akan berjalan di negeri ini. Tapi apa boleh dikata, Prabowo tak penuhi panggilan Komnas HAM, investigasi jadi tidak lengkap, dan fakta sidang tak bisa diungkap.
Barangkali 'dia' memang sudah menganggap segala sesuatu tentang HAM itu telah tuntas, suara para Jenderal tersebut bukanlah persoalan. Barangkali suaa tersebut hanyalah percobaan pengungkapan kebenaran belaka, yang bernuansa politis. Tapi harga sebuah kebenaran -baik politis atau tidak-- tetaplah sebuah kebenaran, yangharus diungkap ke publik, dan bisa jadi 'dia' akan sependapat dengan yang dikatakan Fachrul Razi,
"Menurut saya, itu harus diungkap ke publik. Masalah publik kemudian tetap memilih atau tidak (Capres), itu urusan publik."
Setidaknya saat ini 'dia' masih memiliki para pendukung fanatik. Pendukung yang bisa saja tidak peduli atau tidak mengerti dugaan tindakan dirinya, atau juga para pendukung yang sudah menerima maaf atas tindakan dirinya sebagaipengemban perintah atasan. Setidaknya masih ada sekurangnya satu juta suara yang berteriak untuk dia: Hidup Prabowo!
Meski bisa jadi jumlah suara yang tersisa lari ke lawannya...
Source: Media Indonesia Rabu, 11 Juni 2014/No. 12099/tahun XLV/28 halaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H