Seorang tua -yang jalan saja sudah sulit- berkeinginan untuk pergi ke tanah suci. Dengan hasil uang tabungan selama bekerja dan tambahan dari anaknya, akhirnya dengan penuh tawadu' seorang tua itu menanti tanpa pernah putus berdzikir. Di dalam kamar yang harum dengan wangi-wangian khas Arab pemberian tetangga-tetangga yang sudah melihat Ka'bah duluan, seorang tua itu menanti :Dipanggil untuk haji, atau dipanggil sang Ilahi.
Sepuluh tahun bukan waktu yang lama bagi seorang remaja yang tumbuh enerjik dengan segala cita dalam dada. Namun sepuluh tahun bisa jadi waktu yang membuat gelisah seorang renta di dalam penantiannya untuk melaksanakan rukun islam kelima. Detik demi detik yang terhitung selalu berharga, di dalamnya ada hembus pahala, ia menanti dalam do'a.
*
Kerumunan orang --bangsa-bangsa yang tak terhitung jumlahnya-- hitam, kuning, cokelat dan putih semuanya mengenakan sepotong kain dengan para laki-laki yang plontos kepalanya. Matahari menusuk-nusuk ujung kepala. 'Labbaikallahumma Hajja,'
Di atas alas marmer nan sejuk, ia melihat langkah cepat orang-orang yang bergerombolan bergerak mengelilingi Kubus yang ditutup kain hitam bernohtakan emas. Dengan takjub ia melihat ummat Islam dalam jumlah yang amat besar hari ini, "Inilah Masjidil Harram, Baitullah, Baitullah," ujarnya dalam hati diikuti riak kecil air hangat dari kedua bola matanya.
Kemdian ia pun berdo'a:
"Ya Allah, tambahkanlah kemuliaan, keagungan, kehormatan, dan wibawa pada Bait (Ka'bah) ini. Dan tambahkan pula pada orang-orang yang memuliakan, mengagungkan, dan menghormatinya di antara mereka yang berhaji atau yang berumrah dengan kemuliaan, keagungan, kehormatan, dan kebaikan,"
Ia berdiri kurang lebih 100 meter dari si batu dari surga sekarang, Patokan awal untuk memulai putaran, orang-orang menyebutnya 'Tawaf'. Putaran demi putaran ia lalui dengan susah payah, hanya niat yang teguh dan kecintaannya pada sang Ilahi yang membuat langkahnya terus menjejak. Air mata seolah ingin ikut menjadi saksi kebesaran Islam, tanpa bisa dibendung air itu terus berjejal keluar dari kedua bola mata yang terus menatap ke arah Ka'bah.
Putaran ke-7 pun tunai. Tanpa memiliki ambisi untuk mencium langsung si Batu dari Surga, seorang tua itu memilih mengamati keagungan rumah Tuhan dari kejauhan. Dengan air mata yang tak juga terhenti, ia masih tak percaya: Ini Makkah, Ini Masjidil Harram.
Selang beberapa lama, ia rasakan teramat haus setelah berjalan tujuh putaran mengitari Ka'bah. Ia pun meluruskan niatnya untuk merasakan air abadi yang tersedia di masjid ini. Kemudian datang seorang berperawakan tinggi dengan wajah bercahaya mendekatinya, ia menyodorkan sebuah gelas plastik putih berisi air zamzam untuk menghilangkan dahaga.
Dengan minum sekali habis nyaris tak ada lagi dahaga yang tersisa, kemudian ia menatap orang tinggi besar itu kembali. Si orang tinggi besar kemudian terpecah dalam bentuk cahaya yang menyilaukan mata. Sayup-sayup terdengar suara : Setelah ini kita berlari kecil bersama.
*
Kerumunan orang duduk bersila sambil membaca buku kecil ditangan masing-masing. Beberapa wanita terlihat menunduk dengan penutup kepala yang menutupi sebagian wajahnya, menangis tersedu-sedu tak peduli dengan keadaan sekitar. Beberapa hanya menganga menyaksikan tubuh yang terbujur kaku di atas kasur di ruang tamu.
Wajah pemilik tubuh itu tersenyum dengan mata yang tertutup. Linangan air mata dari seorang anak bungsu yang sudah beranak tiga, serta anak laki-laki sulung yang hanya menatap nanar jasad ayahnya menjadi pemandangan yang menyesakkan bagi para tetangga. Tentang cerita, tentang kabar yang terdengar : Tendang sebuah niat yang sudah keluar jendela.
Di depan gerbang rumah terdengar suara bisik pelayat yang pulang : Padahal tahun depan bakal berangkat...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI